
Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), pernah menjadi Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional, dan kini aktif sebagai Chairman Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC).
Sepuluh tahun era Joko Widodo (Jokowi) layaknya konser rock n' roll infrastruktur—gemuruh, penuh energi, dan spektakuler.
Dari tol trans Jawa hingga bendungan raksasa, dari smelter hingga kereta cepat dan IKN, panggung pembangunan dipenuhi gebyar groundbreaking bak gitar listrik yang menggila.
Keberanian ini pantas diapresiasi. Namun, setelah pesta usai dan euforia mereda, kini tiba saatnya untuk memeriksa kenyataan: apakah kita sedang membangun warisan kemakmuran atau sekadar menumpuk liabilitas masa depan?
Bent Flyvbjerg, profesor Oxford yang menganalisis 16.000 proyek global, menyebutnya "Hukum Besi Mega Proyek": sembilan dari sepuluh proyek raksasa akan gagal.
Gagal tepat waktu, gagal tepat anggaran, dan yang paling tragis—gagal memberi manfaat. Statistiknya mengerikan: hanya 0,5% yang berhasil memenuhi tiga kriteria dasar tersebut.
Dalam konser rock n' roll infrastruktur kita, apakah kita termasuk dalam minoritas yang beruntung itu?
KCJB: Solo Guitar yang Fals

Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) adalah solo guitar yang paling ditunggu dalam konser infrastruktur kita. Namun, di balik gemuruh applause, ada nada-nada fals yang tak terbantahkan.
Proyek ini meleset jadwal dan meledakkan anggaran dalam pola yang begitu klise hingga seharusnya bisa diprediksi oleh mahasiswa manajemen proyek semester pertama.
Menutupi kewajiban lewat kantong kiri (off state budget) Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, juga memberi insentif lewat kantong kanan (fiskal negara), bukankah sama baiknya?
Flyvbjerg telah memperingatkan: ketika politik dan gengsi berbenturan dengan realitas teknis, yang kalah selalu rakyat yang harus menanggung beban biaya yang membengkak.
Yang lebih berbahaya, KCJB menjadi preseden buruk—sebuah "license to fail" bagi mega proyek berikutnya. Jika proyek sebesar ini boleh melanggar Iron Law (Hukum Besi), mengapa yang lain tidak?
Ekspansi ke Surabaya: Encore yang Berisiko

Kini, rencana memperpanjang kereta cepat hingga Surabaya seperti permintaan encore dalam konser yang belum siap. Kita memaksa tampil lagi, meski suara sudah serak dan alat musik mulai aus.
Rencana ekspansi ini menghadapi tantangan yang bahkan lebih kompleks:
Geologi yang Lebih Rumit: Rute Jawa Timur memiliki kondisi geologi yang lebih kompleks dengan lebih banyak zona patahan dan tantangan teknis
Biaya yang Eksponensial: Estimasi biaya harus memperhitungkan tidak hanya konstruksi, tetapi juga mitigasi risiko geologi dan akuisisi lahan yang lebih luas
Permintaan yang Dipertanyakan: Apakah volume penumpang benar-benar dapat menutup investasi yang jauh lebih besar?
PSEL atau PLTSa: Panggung Belakang yang Berantakan

Sementara panggung depan masih gemuruh dengan proyek-proyek megah, backstage-nya berantakan.
Proyek Waste-to-Energy (PLTSa) dengan akronim baru PSEL (Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik) yang sedang digarap BPI Danantara mengungkap realitas pahit: kita terjebak dalam mentalitas instan.
Kita tergoda membangun plant grande di hilir, sambil menutup mata terhadap kekacauan sekaligus berupa potensi di hulu dan tengah.
Baca Juga: Peringatan bagi BPI Danantara dalam Investasi Mega Proyek Waste to Energy
Bagaimana mungkin kita berinvestasi triliunan rupiah untuk mengolah sampah, tanpa pernah benar-benar memahami kuantitas dan kualitas pasokannya? Ini seperti memainkan lagu rock tanpa tuning gitar terlebih dahulu.
Lima Patahan Struktural:
Ilusi Kuantitas: Janji pasokan sampah atau penumpang yang tak pernah terpenuhi
Fiksi Kualitas: Asumsi yang tak sesuai realita lapangan
Phantom Technology: Teknologi canggih yang tak cocok dengan kondisi lokal
Mitosis Birokrasi: Koordinasi antar instansi yang terfragmentasi
Amnesia Kelembagaan: Ketidakmampuan belajar dari kegagalan proyek sejenis
Think Slow, Act Fast: Soundcheck yang Benar

Konsep Flyvbjerg 'Think Slow, Act Fast' adalah soundcheck yang benar sebelum konser dimulai. Untuk ekspansi kereta cepat Surabaya, 'Think Slow' berarti:
24 bulan studi kelayakan mendalam yang independen
Analisis komparatif dengan proyek serupa di negara lain
Pemetaan seluruh risiko teknis dan non-teknis
Desain modular dengan fase-fase yang jelas, termasuk mencicil pembebasan ROW (row of way) lewat Forum Gubernur di Pulau Jawa
'Act Fast' berarti eksekusi bertahap berdasarkan pembelajaran dari fase sebelumnya, dengan kontrak yang melindungi kepentingan publik.
IKN: Konser Kelas Dunia atau Panggung Runtuh?
Ibu Kota Nusantara adalah konser kelas dunia yang urung digelar. Ranpa persiapan matang, kelanjutannya bisa berubah menjadi panggung runtuh.
Pembangunan IKN harus menjadi laboratorium penerapan prinsip-prinsip Flyvbjerg:
Modular design yang memungkinkan pembelajaran bertahap
Reference class forecasting berbasis data proyek sejenis
Sunk cost avoidance yang melindungi dari jebakan investasi berkelanjutan
Maka, siapkan daftar yang harus diperbaiki:
Stop Political Prestige Projects: Proyek untuk kebutuhan, bukan pencitraan
Embrace Failure Early: Kegagalan kecil lebih murah daripada bencana besar
Kill Zombie Projects: Berani menghentikan proyek yang jelas gagal
Professional Independence: Otoritas profesional bebas dari intervensi politik, saatnya membentuk Komite Infrastruktur Nasional (KIN).
Epilog: dari Rock Star ke Konduktor Handal
Konser rock n' roll infrastruktur mungkin menyenangkan untuk sesaat, tetapi bangsa membutuhkan konduktor handal, bukan rock star. Kita membutuhkan pendekatan yang low-profile namun high-impact, bukan high-profile tetapi low-impact.
Ekspansi kereta cepat ke Surabaya, BPI Danantara, dan IKN adalah ujian: mampukah kita beralih dari mentalitas "asal gebrak" menuju pendekatan 'think slow, act fast'?
Masa depan tidak membutuhkan pahlawan pencitraan, tetapi perlu profesional yang rendah hati—yang berani mengatakan "tidak" pada proyek gagal, meski itu berarti melawan arus euforia politik.
Waktunya beranjak dari panggung rock n' roll menuju meja perencanaan yang serius.
Karena, warisan sejati bukan hanya sekedar legacy dan keprokan keras, tetapi keberlanjutan pembangunan untuk generasi mendatang, dengan menyiapkan standard dan pedoman teknokrasi proses perencanaan yang lebih seksama..***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.