GWS

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.

Dalam sistem peradilan yang sehat, vonis dijatuhkan oleh hakim setelah proses pembuktian di pengadilan—bukan oleh media sebelum persidangan dimulai.

Namun dalam kasus PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), eksekusi reputasi terjadi jauh sebelum palu hakim diketuk.

Sejak pengumuman penahanan 13 Februari 2025, media membanjiri publik dengan headline sensasional: "Rugikan Negara Rp1,2 Triliun," "Eks Dirut ASDP Tersangka Korupsi," "Akuisisi Bermasalah."

Framing ini menciptakan narasi tunggal: mantan direksi ASDP adalah koruptor yang harus dihukum. Reputasi hancur, keluarga tersiksa, karier musnah—semua sebelum pengadilan memutuskan apapun.

Tulisan ini mengupas fenomena trial by media yang sistematis dalam kasus korupsi Indonesia, di mana pemberitaan berkelanjutan dengan angle penghakiman menciptakan tekanan publik yang menggerus independensi peradilan.

Bahkan jika akhirnya divonis bebas—yang sangat tidak mungkin mengingat conviction rate 100%—reputasi tidak akan pernah pulih.

Ini adalah hukuman ganda: hukuman sosial mendahului hukuman legal, dan vonis media lebih permanen daripada vonis pengadilan.

Kasus ASDP menunjukkan bagaimana media telah berubah dari pengawas kekuasaan menjadi eksekutor tanpa mahkota, dan bagaimana prinsip sub judice (tidak menghakimi kasus yang sedang diadili) telah runtuh total dalam praktik jurnalisme Indonesia.

Trial by The Press

Coba, bayangkan sebentar: Anda sedang diadili atas tuduhan pencurian. Sebelum persidangan dimulai, seluruh koran nasional sudah memasang headline: "Pencuri Tertangkap, Kerugian Miliaran!"

TV menayangkan wajah Anda dengan caption "Tersangka Korupsi" selama berminggu-minggu. Media sosial dibanjiri komentar: "Hukum mati!" "Kembalikan uang rakyat!" "Koruptor harus dibasmi!"

Lalu Anda masuk ruang sidang. Hakim yang akan mengadili Anda sudah membaca semua pemberitaan itu. Dia sudah tahu "opini publik" menganggap Anda bersalah. Keluarganya mungkin juga sudah bertanya: "Kok koruptor ini belum dihukum?"

Apakah Anda yakin hakim itu masih bisa objektif? Apakah Anda masih percaya akan mendapat fair trial?

Itulah yang terjadi pada mantan direksi ASDP. Sebelum sidang perdana 10 Juli 2025, media sudah mengeksekusi mereka selama lima bulan penuh. Vonis media sudah dijatuhkan—persidangan hanya tinggal formalitas.

Trial by media atau trial by the press adalah fenomena di mana media massa memberitakan kasus hukum dengan framing yang sudah menghakimi tersangka sebagai bersalah, sebelum proses peradilan selesai.

Ini melanggar prinsip fundamental sub judice—larangan untuk mempengaruhi opini publik tentang kasus yang sedang diadili.

Anatomi Trial by Media

wartawanDalam kasus ASDP, anatomi trial by media ini berjalan sistematis:

Fase 1: Pengumuman Penangkapan (13 Februari 2025) Headline media: "KPK Tahan Eks Dirut ASDP," "Dugaan Korupsi Rp893 Miliar," "Akuisisi Bermasalah Rugikan Negara."

Framing: Tersangka = koruptor. Akuisisi = kejahatan. Kerugian negara = fakta (padahal belum dibuktikan).

Fase 2: Eskalasi Narasi (Februari-Mei 2025) Media terus meng-update dengan angle yang semakin menghakimi: "Saldo PT Jembatan Nusantara Hanya Rp6 Juta," "Data Usia Kapal Dimanipulasi," "Komisaris Tidak Setuju Tapi Tetap Diteken."

Framing: Semakin banyak "bukti" kejahatan. Tersangka semakin "jelas" bersalah.

Fase 3: Klimaks Angka Fantastis (Mei-Juli 2025) "Kerugian Negara Rp1,25 Triliun," "98,5% dari Nilai Transaksi Adalah Kerugian," "Kasus Korupsi Terbesar di Sektor Transportasi."

Framing: Magnitude kejahatan sangat besar. Hukuman maksimal harus dijatuhkan.

Fase 4: Tuntutan dan Pleidoi (Oktober-November 2025) "Eks Dirut ASDP Dituntut 8,5 Tahun," "Menangis Baca Pleidoi," "Mengaku Tidak Korupsi Tapi Diframing."

Framing: Bahkan tangisan terdakwa dipandang sebagai drama, bukan genuine distress.

Dalam setiap fase, media tidak pernah menggunakan framing alternatif: "Diduga" sering hilang, "Menurut Dakwaan KPK" jarang ditambahkan, "Masih Dalam Proses Pembuktian" nyaris tidak ada.

Yang tersisa adalah narasi tunggal: ini korupsi, dan mereka koruptor.

Hukuman Sosial yang Permanen

Dampak trial by media bukan hanya pada proses peradilan, tapi pada kehidupan terdakwa dan keluarganya. Ini adalah hukuman sosial yang dijatuhkan sebelum—dan terlepas dari—vonis pengadilan.

Mantan direksi ASDP adalah profesional dengan track record cemerlang. Mereka membawa ASDP meraih laba tertinggi sepanjang sejarah: Rp326 miliar (2021), Rp585 miliar (2022), Rp637 miliar (2023).

ASDP meraih peringkat 7 BUMN terbaik versi Infobank 2024. Tapi setelah trial by media, siapa yang akan mengingat prestasi itu?

Yang tersisa di Google Search adalah: "Eks Dirut ASDP Tersangka Korupsi," "Rugikan Negara Rp1,25 Triliun," "Dituntut 8,5 Tahun Penjara." Karier yang dibangun puluhan tahun, musnah dalam lima bulan pemberitaan.

Anak-anak mantan direksi harus menghadapi pertanyaan teman sekolah: "Ayah kamu koruptor ya?" Pasangan harus mendengar bisik-bisik tetangga: "Itu istri pejabat yang korupsi."

Keluarga besar harus menanggung malu sosial meski mereka tidak terlibat apapun dalam kasus ini.

Bahkan jika akhirnya divonis bebas—yang hampir mustahil terjadi dengan conviction rate KPK 100%—stigma ini tidak akan hilang. Orang akan berkata: "Pasti ada main-main di belakang," "Koruptor punya uang bisa bebas," "Sistemnya yang busuk."

Setelah kasus ini, apakah ada perusahaan yang akan mempekerjakan mantan direksi ASDP? Apakah ada BUMN lain yang berani merekrut mereka? Bahkan jika divonis bebas, label "pernah tersangka korupsi" akan menempel seumur hidup.

Ini bukan hanya tentang kehilangan pekerjaan saat ini, tapi kehilangan semua peluang masa depan. Trial by media telah menjatuhkan vonis permanen: "Anda tidak layak lagi bekerja sebagai profesional."

Tekanan pada Independensi Hakim

sidangDampak paling berbahaya dari trial by media adalah tekanan luar biasa pada independensi hakim. Dalam teori, hakim harus memutuskan berdasarkan bukti yang diajukan di persidangan, bukan berdasarkan opini publik. Tapi dalam praktik?

Hakim adalah manusia. Mereka membaca koran, menonton TV, melihat media sosial. Mereka tahu bagaimana publik memandang kasus ini.

Mereka tahu bahwa membebaskan terdakwa akan mengundang kecaman massal: "Hakim dibayar!" "Koruptor dibebaskan!" "Pengadilan tidak adil!"

Penelitian tentang trial by media menunjukkan bahwa "pemberitaan yang terus menerus dapat mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan vonis dikarenakan tuntutan massa."

Hakim, sadar atau tidak, akan terpengaruh oleh narasi dominan yang sudah terbentuk di masyarakat.

Di Amerika Serikat, ada mekanisme change of venue (pemindahan lokasi persidangan) jika pretrial publicity sudah terlalu masif dan mempengaruhi jury pool.

Di Inggris, ada aturan ketat tentang contempt of court yang melarang media memberitakan detil kasus yang bisa mempengaruhi persidangan.

Di Jerman ada prinsip Öffentlichkeitsgrundsatz (keterbukaan sidang) yang diimbangi dengan Persönlichkeitsschutz (perlindungan kepribadian terdakwa).

Di Indonesia? Media bebas memberitakan apapun dengan framing apapun, tanpa pertimbangan dampaknya pada fair trial. Hakim diharapkan tetap independen meski dikelilingi oleh tsunami opini publik yang menuntut hukuman maksimal.

Media sebagai Eksekutor Tanpa Mahkota

kecantikanYang lebih problematik adalah peran media yang bergeser dari watchdog menjadi executioner. Media seharusnya mengawasi proses peradilan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas—bukan menggantikan peradilan dengan vonisnya sendiri.

Dalam kasus ASDP, media telah menjadi eksekutor tanpa mahkota:

  • Mereka sudah memutuskan: ini korupsi

  • Mereka sudah menetapkan: kerugian negara Rp1,25 triliun

  • Mereka sudah menghakimi: terdakwa bersalah

  • Mereka sudah menjatuhkan vonis: hukuman maksimal harus dijatuhkan

Persidangan menjadi ritual kosong. Pembuktian menjadi formalitas. Karena vonis sesungguhnya sudah dijatuhkan oleh court of public opinion yang dibentuk oleh media.

Kata orang Minang, "sakali aia gadang, sakali tapian barubah" (sekali air besar, sekali tepian berubah)—tsunami pemberitaan telah mengubah lanskap kasus ini selamanya, membuat fair trial hampir mustahil dicapai.

Salah satu masalah krusial dalam trial by media adalah ketidakseimbangan narasi. Media memberikan ruang sangat besar untuk narasi dakwaan, tapi sangat kecil untuk narasi pembelaan.

Bandingkan liputan media:

  1. Pengumuman penangkapan: Headline besar, prime time news, trending topic selama berhari-hari

  2. Kesaksian ahli yang membela: Berita kecil di halaman dalam, tidak trending, cepat tenggelam

  3. Tuntutan jaksa 8,5 tahun: Headline besar lagi, "Breaking News"

  4. Pleidoi terdakwa: Diliput, tapi dengan framing "Menangis Baca Pleidoi" yang mereduksi substansi argumen menjadi emosi

Fakta-fakta yang menguntungkan terdakwa hampir tidak mendapat perhatian:

  • Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah diminta menghitung kerugian negara? Tidak viral.

  • Saksi ahli Penilai Publik menyatakan ASDP untung Rp820 miliar? Berita kecil.

  • Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tidak menemukan aliran dana korupsi? Jarang disebut.

  • Prestasi ASDP meningkat drastis pasca-akuisisi? Nyaris tidak diberitakan.

Yang viral, yang trending, yang membentuk opini publik adalah narasi dakwaan. Narasi pembelaan tenggelam dalam noise informasi.

Double Jeopardy Reputasional

Dalam hukum pidana, ada prinsip double jeopardy—seseorang tidak boleh diadili dua kali untuk kejahatan yang sama. Tapi dalam trial by media, terjadi double jeopardy reputasional:

Jeopardy Pertama: Vonis media (bersalah) dijatuhkan sebelum persidangan. Reputasi hancur.

Jeopardy Kedua: Jika divonis bebas, publik tidak percaya. "Pasti ada konspirasi," "Koruptor lolos karena punya uang," "Sistemnya yang busuk."

Artinya: tidak ada jalan keluar. Sekali masuk trial by media, reputasi tidak akan pernah pulih—terlepas dari putusan pengadilan.

Di beberapa negara, ada mekanisme right to be forgotten atau rehabilitasi nama baik pasca-acquittal.

Di Indonesia? Bahkan jika divonis bebas (yang sangat tidak mungkin), berita "Eks Dirut ASDP Tersangka Korupsi" akan selamanya tersimpan di arsip digital, muncul setiap kali nama mereka di-Google.

Trial by media dalam kasus ASDP adalah manifestasi dari kegagalan sistemik kita dalam menyeimbangkan kebebasan pers dengan hak atas fair trial.

Media telah mengeksekusi mantan direksi ASDP sebelum pengadilan memutuskan apapun. Vonis media—bersalah—sudah final dan tidak bisa direvisi.

Baca Juga: Jatah Preman untuk Gubernur Riau dan Tebang Pilih KPK

Bahkan jika hakim kelak memutuskan bahwa ini adalah business judgment yang salah, bukan korupsi, bahkan jika divonis bebas—yang hampir mustahil—reputasi tidak akan pernah pulih.

Keluarga akan terus menanggung stigma. Karier tidak akan pernah bangkit. Karena vonis media lebih permanen daripada vonis pengadilan.

Kita tunggu: apakah pengadilan akan punya keberanian untuk melawan tsunami opini publik yang sudah terbentuk? Atau hakim menyerah pada tekanan trial by media dan menjatuhkan vonis yang diharapkan publik, terlepas dari bukti yang sebenarnya?

Dan dalam sistem di mana media lebih powerful daripada pengadilan, keadilan sejati mungkin sudah menjadi barang antik yang punah. Di negeri tempat headline mengalahkan bukti, dan trending topic lebih berkuasa dari palu hakim.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance