Jakarta, TheStance – Menyusul kebijakan China yang mewajibkan para influencer di media sosial mengantongi sertifikasi kepakaran, Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Kemenkomdigi) menjajaki kebijakan 'lisensi ekspresi'.
Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenkomdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengonfirmasi bahwa gagasan sertifikasi influencer ini dalam tahap kajian awal.
Dia membingkai wacana ini sebagai upaya "memperkuat tata kelola" dan menciptakan "standar kompetensi" di tengah pesatnya industri konten digital.
Pemerintah mengeklaim langkah ini dapat meningkatkan tanggung jawab kreator, menekan hoaks, dan membuat ekosistem digital lebih 'sehat' dan 'profesional'.
Namun, di balik narasi 'profesionalisme' tersebut, sejumlah pihak melihat ancaman yang lebih besar. Wacana ini dikhawatirkan menjadi 'pasal karet' baru yang membatasi hak berekpresi dan bersuara di dunia digital.
Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab adalah: siapa yang menentukan 'kualifikasi' membahas politik atau hukum? Apakah sertifikasi jadi alat baru untuk memfilter siapa yang berhak suara--sekaligus membungkam mereka yang kritis pada pemerintah?
Selain itu, sistem sertifikasi yang kaku justru akan menghambat inovasi dan memberangus jurnalisme warga (citizen journalism).
Para aktivis dan pengamat independen yang seringkali memviralkan konten dengan pendekatan informal dan eksperimental berisiko menjadi korban pertama regulasi ini.
Ide Komunisme Yang Tak Perlu Ditiru

Penolakan keras datang dari Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai wacana tersebut tidak perlu dan berbahaya bagi demokrasi.
Jika mekanisme, biaya, dan pengawasan sertifikasi dirancang terlalu rumit atau membebani, skema ini hanya akan menguntungkan kreator besar atau yang terafiliasi dengan agensi tertentu, sekaligus mematikan kreator kecil.
Skenario terburuknya adalah monopoli informasi, di mana diskusi publik didominasi oleh suara-suara yang telah 'disetujui' atau terafiliasi dengan kekuasaan.
"Ini bisa dikualifikasi sebagai pembatasan orang berpendapat dan bertentangan dengan demokrasi, serta hak atas kebebasan berpendapat. Ide komunis kok ditiru," tegas Fickar kepada TheStance.
Menurutnya, instrumen hukum yang ada saat ini sudah lebih dari cukup. Ia menjelaskan, siapapun yang mencemarkan nama baik, menghina, atau menyebar ujaran kebencian melalui konten sudah bisa diproses hukum pidana.
"Jika Komdigi ingin menyelenggarakan pendidikan atau penyuluhan agar masyarakat tidak menyebar hoaks, silakan. Tetapi bukan keharusan apalagi mewajibkan bukti kualifikasi, ini jelas bertentangan dengan demokrasi," tambahnya.
Fickar bahkan menyebut langkah itu "mengada-ngada" dan "sikap otoriter" yang tidak memiliki dasar pasal. "Pasti akan dipersoalkan masyarakat ke pengadilan. Kalau China, pantaslah karena negara komunis," pungkasnya.
Antara Hak Bicara dan Tanggung Jawab
Pengamat media sosial dan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, membedah kekhawatiran utama di balik wacana ini. Baginya, kuncinya ada pada definisi "sertifikasi".
"Yang dikhawatirkan itu, apakah sertifikasi menjadi 'hak berbicara'? Kalau sertifikasi dimaksudkan seperti hak boleh berbicara, ini yang dikhawatirkan memang bisa menimbulkan supresi kebebasan berbicara. Pasti itu akan ditolak masyarakat," ujarnya kepada TheStance.
Ia menduga model China cenderung ke arah pembatasan hak bicara. Jika pun Kominfo bersikeras menertibkan dunia influencer di digital maya audiens Indonesia, maka arahnya harus diubah total dan bukan dalam rangka pembungkaman.
"Kalau sertifikasi arahnya bukan untuk pembungkaman, tapi membangun rasa tanggung jawab di influencers, saya setuju," katanya.
Fahmi mencontohkan, sertifikasi seharusnya bertujuan untuk edukasi dan peningkatan kualitas. "Misalnya dia ketika membuat konten, datanya ada, referensinya ada. Orang yang certified itu kita lihat kontennya, oh ya betul, podcastnya bagus, ada dasarnya, tidak membuat hoaks."
Ismail mengakui bahwa kondisi di Indonesia saat ini sangat bebas, di mana banyak orang tak ahli bicara kesehatan tapi memberi saran seputar kesehatan yang berpotensi menyebar disinformasi.
Namun, solusi dari masalah itu bukan berarti mengadopsi cara China mentah-mentah. "Kita harus lihat kondisi sosial kita. Di sana China terpimpin, kita kan bukan negara terpimpin seperti China. Kalau itu dilakukan, malah berdampak negatif nanti."
Profesionalisme versus Kritik Politik

Wacana ini juga menimbulkan kekhawatiran spesifik di kalangan kreator konten politik. Influencer Politik, Ramond Dony Adam (DJ Donny), menyetujui sertifikasi dengan satu syarat mutlak: jangan sentuh ranah kritik.
"Saya setuju sertifikasi untuk topik teknis seperti kesehatan, hukum, atau keuangan. Itu menyangkut keahlian dan kita butuh jaminan informasi itu benar dan bisa dipertanggungjawabkan," katanya pada TheStance.
Namun jika sertifikasi itu diberlakukan bagi mereka yang mengritik kebijakan pemerintah, ia menolak keras, sebab kritik adalah hak rakyat. "Pemerintah itu pelayan publik, wajar dikritisi. Kalau kritik harus disertifikasi dulu, artinya negara takut dikritik.”
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menuntut adanya batas yang jelas antara aturan profesionalisme dan upaya membungkam kebebasan berekspresi. Ia juga mendesak agar publik dilibatkan penuh dalam perumusan regulasi.
"Kalo nanti ada kebijakan yang mulai nyerempet ke pembungkaman, ya jangan diem aja. Kita harus sama-sama speak up, karena hari ini yang dibungkam bisa orang lain, besok bisa giliran kita,” tandasnya.
Baca Juga: China Wajibkan Influencer Punya Sertifikasi (1): Bagaimana di Negara Lain?
Wacana sertifikasi influencer ala China menempatkan Indonesia dalam dilema besar antara profesionalisme dan kebebasan berekspresi.
Di satu sisi, negara memiliki tanggung jawab menjaga ruang digital agar tidak menjadi sarang disinformasi, namun di sisi lain pembatasan yang terlalu ketat berpotensi melahirkan bentuk baru dari sensor terselubung.
Jika regulasi ini dirancang tanpa transparansi dan partisipasi publik, maka “upaya memperkuat profesionalisme influencer” berisiko menjadi upaya mengontrol kritik dan suara publik.
Padahal, kebebasan berbicara di alam demokrasi bukanlah ancaman yang harus dibungkam, melainkan fondasi yang harus dijaga agar ruang digital tetap menjadi tempat di mana kritik, kreativitas, dan kebenaran bisa tumbuh bersama.
Indonesia kini berada di persimpangan jalan: memilih antara ekosistem digital yang tertib namun terkontrol, atau yang terbuka dengan segala risikonya. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance