Jakarta, TheStance – Cape Verde atau Tanjung Verde, sebuah negara kepulauan kecil di Samudera Atlantik, Afrika Barat, dengan populasi sekitar 525 riibu jiwa, berhasil mencatatkan sejarah dengan lolos ke Piala Dunia 2026.
Negara bernama resmi Republik Cabo Verde itu mendapatkan tiket setelah mengalahkan Eswatini 3-0 di pertandingan Grup D Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Afrika, 13 Oktober lalu.
Mereka jadi tim debutan ketiga di Piala Dunia 2026 setelah Uzbekistan dan Yordania.
Capaian ini mengikuti jejak Islandia yang lolos di Piala Dunia 2018. Saat itu, penduduk Islandia cuma sekitar 350 ribu jiwa.
Ini membuktikan bahwa negara kecil atau jumlah penduduk tidak berkorelasi dengan kemampuan lolos di Piala Dunia.
Lantas, bagaimana caranya Tanjung Verde berhasil menciptakan tim level Piala Dunia dengan jumlah penduduk sedikit itu?.
Jawabannya dengan memanfaatkan pemain diaspora.
Andalkan Keturunan Diaspora
Federasi Sepak Bola Cape Verde (FCF) jeli melihat potensi yang belum tergarap dalam keturunan diaspora.
Banyak warga Cape Verde menikah dengan orang Eropa dan beranak pinak di sana, terutama di Belanda dan Portugal. Keturunan mereka kemudian menjadi pemain bola di klub Eropa.
Fenomena ini sudah ada sebelum proyek diaspora resmi diluncurkan oleh FCF.
Beberapa nama besar keturunan diaspora itu misalnya: Patrick Viera, legenda Arsenal dan anggota timnas Perancis, Lalu Henrik Larsson, mantan striker Barcelona dan Manchester United asal Swedia.
Sedangkan dari generasi terbaru, ada Nuno Mendez, yang saat ini menjadi bintang Paris Saint-Germain (PSG) dan anggota timnas Portugal.
Pada 2002, FCF akhirnya mulai sistematis merekrut pemain kewarganegaraan ganda yang merupakan keturunan diaspora.
Pada Piala Dunia 2026, sebanyak 14 pemain direkrut dan semuanya berstatus dispora. Mereka berasal dari Portugal, Amerika Serikat, Irlandia, Uni Emirat Arab, Romania, Rusia, Belanda, Turki, dan Siprus.
Skuad ini mencerminkan keragaman dan luasnya jaringan yang berhasil dikelola FCF.
Manfaatkan LinkedIn Untuk Melacak Pemain Potensial
Saking gencarnya berburu pemain diaspora, Tanjung Verde sampai menggunakan situs jejaring profesional LinkedIn untuk melacak pemain potensial.
Salah satu yang direkrut dari situs itu adalah bek Roberto "Pico" Lopes yang lahir di Dublin, Irlandia. Dia kapten Shamrock Rovers FC, klub liga premier irlandia.
Pico lahir dari ayah berkebangsaan Cape Verde dan ibu berkebangsaan Irlandia.
Meskipun belum pernah mengunjungi Cape Verde dan menghabiskan seluruh kariernya di Liga Irlandia, Pico akhirnya masuk timas Cape Verde untuk kali pertama pada 2019.
Lucunya, pihak Cape Verde awalnya menghubungi Pico lewat aplikasi Linkedin.
Pico mengaku sempat mengabaikan pesan timnas Cape Verde tersebut dan menganggapnya sebagai spam. Dia membiarkan pesan itu kotak masuknya selama sembilan bulan.
Pasalnya jalur komunikasi yang digunakan tidak lazim. Biasanya federasi menghubungi lewat negara atau klub. Selain itu, penawaran yang disampaikan federasi Cape Verde juga dalam bahasa Portugis, yang tidak dikuasai Pico.
Baru setelah pihak federasi menindaklanjuti dalam bahasa Inggris, Pico akhirnya setuju membela negeri kelahirnya ayahnya tersebut.
Pico saat ini merupakan pemain reguler timnas Cape Verde. Dia awalnya tampil di Piala Afrika 2021. Dia juga bermain ketika mereka mengalahkan Eswatini 3-0 dan lolos ke Piala Dunia 2026.
Percaya Proses dan Kekuatan Sosok Pelatih
Sosok penting di balik keberhasilan Cape Verde lolos ke Piala Dunia 2026 adalah pelatih Leitão Brito, sering dipanggil Bubista, yang juga merupakan mantan pemain timnas Cape Verde.
Dia membangun tim nasional Cape Verde perlahan-lahan sejak Januari 2020.
Di bawahnya, tim ini mengadopsi taktik bermain pragmatis: yaitu pertahanan keyay dan mengandalkan serangan balik (counter) untuk mencetak gol.
Gaya permainan seperti itu karena menyesuaikan dengan sumber daya pemain yang terbatas.
Bubista sadar mereka tidak bisa bersaing dalam penguasaan bola (ball posession) bila melawan tim kuat Afrika lain seperti Senegal atau Kamerun. Maka itu digunakan taktik defense and counter.
Dailon Rocha Livramento, pemain dari Liga Portugal, bertugas sebagai mesin gol utama.
Sedang untuk pertahanan, Cape Verde mengandalkan Roberto Lopes, bek tengah yang bermain di Shamrock Rovers, Logan Costa yang bermain di LaLiga Villarreal, Spanyol, dan Bebe, mantan penyerang Manchester United, yang kini bermain di Ibiza, klub Divisi Tiga Spanyol.
Taktik ini terbukti efektif. Mereka berhasil mengalahkan Kamerun 1-0 dalam pertandingan kualifikasi bulan September.
Cape Verde akhirnya bertengger di posisi puncak kualifikasi grup D zona Afrika, dan Kamerun di posisi kedua. Keduanya lolos Piala Dunia 2026.
Tantangan Budaya
Tantangan lain bagi timnas yang pemainnya datang dari berbagai belahan dunia tentu saja adalah soal budaya. Di sinilah peran sang pelatih menjadi penentu.
Bubista menerapkan langkah krusial, menjadikan bahasa Kreol (Creole) sebagai bahasa resmi Tim Nasional.
“Saya tidak mengizinkan berbicara bahasa lain di antara mereka untuk menjaga identitas Cape Verdean kami tetap utuh,” katanya.
Bahasa ini menjadi perekat budaya bagi pemain diaspora yang lahir di luar negeri dan memperkuat rasa persatuan di bawah bendera yang sama.
Dukungan Penuh Federasi
Satu hal catatan penting dari lolosnya Cape Verde ke Piala Dunia adalah dukungan dan kepercayaan penuh yang diberikan Federasi kepada tim kepelatihan.
Bubista tetap dipercaya oleh federasi walaupun timnya tidak lolos ke Piala Afrika 2025.
“Meskipun gagal saat Mesir dan Botswana melaju, para pejabat tetap percaya pada pelatih lama mereka, Pedro Leitao Brito,” tulis The Guardian.
Federasi mampu melihat gambaran lebih besar soal potensi skuad ke depan. Tim itu dinilai sudah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk memuncaki grup yang diisi Ghana dan Mesir di Piala Afrika 2023.
Alih-alih bereaksi gegabah dengan merekrut pelatih baru, federasi justru mempertahankan Bubista untuk kualifikasi Piala Dunia.
Hasilnya pun sempurna. Dia bisa menuntaskan sendiri pekerjaannya yang dimulai hampir enam tahun lalu, dan kepercayaan federasi ia bayar lunas.
Kisah Tanjung Verde bisa menjadi pelajaran untuk negara-negara lain, termasuk PSSI, yang bahkan tidak bisa konsisten dengan visi jangka panjang dan cenderung menomorsatukan target jangka pendek.
Berulang kali ganti pelatih hanya karena ingin meraih target jangka pendek secara instan.
Hasilnya bukan saja target tidak tercapai, kualitas timnas pun makin kedodoran. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance