Jakarta, TheStanceID – Penyakit yang terkait dengan rokok mendominasi daftar penyakit katastropik yang dijamin Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bentuk keadilan sosial, ataukah solidaritas yang dipaksakan?

Selama ini pemerintah berupaya menekan konsumsi rokok rakyatnya dengan peringatan di bungkus rokok, penaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 10% dan cukai rokok elektrik sebesar 15%, hingga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Terbaru, ada wacana bahwa BPJS Kesehatan tak akan lagi menanggung penyakit yang muncul akibat merokok, agar perokok berhenti dan para calon perokok berpikir dua kali ketika ingin menghisap 80 zat kimia pemicu kanker di asap rokok tersebut.

Wacana itu muncul di akun X dengan narasi "BREAKING: penyakit akibat rokok diajukan untuk tidak ditanggung BPJS per tahun 2025 ini?" pada Minggu (5/1/2025). Sampai sekarang, posting tersebut telah dilihat 2 juta orang, dan di-repost 3.100 kali.

TheStanceID mengonfirmasi BPJS Kesehatan, dan diketahui bahwa hingga detik ini belum ada ketentuan baru yang mengecualikan penyakit akibat merokok dari daftar pertanggungan BPJS Kesehatan.

“Prinsipnya belum ada regulasi yang mengatur,” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah, pada Rabu (8/1/2025).

Dia mengakui bahwa konsumsi rokok memicu berbagai penyakit kronis, sebagaimana konsumsi minuman beralkohol, yang berujung pada peningkatan pembiayaan penyakit berbiaya katastropik atau ‘high cost.’

Penyakit berbiaya katastropik umumnya adalah penyakit yang tidak menular. Ia bersifat laten, seringkali tidak disadari, dan memerlukan waktu lama untuk menunjukkan gejala dan kemudian penyembuhannya juga membutuhkan waktu yang lama.

Sampai dengan November 2024, BPJS Kesehatan tercatat menggelontorkan Rp160 triliun untuk membiayai jaminan perawatan pesertanya di seluruh Indonesia, dengan total 615,8 juta kunjungan perawatan atau 1,7 juta kunjungan per hari kalender.

Delapan penyakit berbiaya katastropik mendominasi klaim pembiayaan dengan akumulasi nilai Rp33,99 triliun atau 21,23% dari total beban jaminan kesehatan.

Posisi pertama yaitu pengidap jantung senilai Rp17,5 triliun untuk 20,5 juta kasus. Posisi kedua pengidap kanker sebesar Rp5,9 triliun (3,9 juta kasus). Di posisi ketiga ada penyakit stroke dengan nilai Rp5,3 triliun (3,6 juta kasus).

”Namun hal ini juga membutuhkan penelitian dan kajian lebih mendalam, apakah murni karena rokok dan seberapa besar dampak pembiayaannya dalam Program JKN,” ujar Rizzky.

Mengacu pada penelitian berjudul “Bahan yang Mengandung Zat Adiktif pada Produk Rokok dan Dampaknya Terhadap Kesehatan” (2010) yang disusun peneliti Kemenkes Maria Holly Herawati, ketiga penyakit di atas terkait dengan efek rokok.

“Dari hasil pembakaran rokok diperoleh 4.000 zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif, tar yang bersifat karsinogenik.  Dampak negatif lainnya adalah kanker paru yang merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia, dan serangan jantung, impotensi, penyakit pembuluh darah, stroke, gangguan kehamilan dan janin,” paparnya.

Bisa Membatasi Hak Dasar Warga

Manajer Program Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Nina Samidi menekankan pentingnya kehati-hatian merespons usulan agar penyakit akibat rokok tidak lagi dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Pasalnya, implikasi kebijakan tersebut bakal mempengaruhi hak dasar setiap warga negara akan layanan akses kesehatan, sebagaimana diatur di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal 34 Ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa negara wajib memberi jaminan sosial bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya layanan kesehatan. Hal serupa ditegaskan dalam Pasal 28H Ayat 1 di mana setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan.

“Amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002 juga menegaskan pentingnya sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, termasuk masyarakat lemah dan tidak mampu,” ujar Nina saat dihubungi TheStanceID.

Merujuk pada Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), Nina menekankan bahwa program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan satu dari enam program jaminan sosial yang menjadi hak dasar setiap orang.

“BPJS adalah hak semua warga negara, termasuk perokok, yang sebenarnya adalah korban sistem dan faktor lain yang kompleks,” tuturnya.

Tantangan dalam Implementasi

Nina menilai usulan tersebut bakal sulit dan terganjal aspek teknis, yakni pembuktian bahwa suatu penyakit benar-benar dipicu oleh aktivitas merokok dan bukan lainnya. Belum lagi jika bicara mengenai perokok pasif, yang dalam hal ini adalah korban.

“Selain rokok, banyak faktor lain yang juga dapat menyebabkan penyakit serupa,” jelas Nina.

Dia mengakui wacana pengecualian penyakit akibat merokok dari daftar tanggungan BPJS Kesehatan bisa mendorong masyarakat untuk berhati-hati dan mengurangi konsumsi rokok.

Namun, kebijakan tersebut semestinya tidak melangkahi hukum yang berlaku, termasuk prinsip bahwa jaminan kesehatan adalah hak dasar setiap orang.

Sebaiknya Segera Direalisasikan

Di sisi yang berseberangan, epidemiolog dan peneliti Universitas Griffith, Australia Dicky Budiman menyambut positif wacana dikeluarkannya penyakit akibat rokok dari daftar penyakit yang ditanggung BPJS Kesehatan.

Menurut mantan Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan (2016–2018) ini, langkah tersebut dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi rokok, mengurangi konsumsi rokok dan mengurangi beban finansial sistem kesehatan.

“Penyakit terkait rokok, seperti kanker, jantung, stroke, dan penyakit paru obstruktif kronis, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Indonesia. Biaya pengobatan untuk penyakit-penyakit ini sangat tinggi, bahkan bisa mencapai miliaran rupiah per pasien dalam jangka panjang,” jelas Dicky saat dihubungi TheStanceID.

Tanpa pembatasan layanan terhadap penyakit akibat rokok, katanya, dana BPJS Kesehatan bisa terkuras sehingga tidak optimal melayani pasien dengan penyakit karena penyebab alami, infeksi, atau penyakit genetik.

Kebijakan ini, menurutnya, juga memberikan disinsentif finansial kepada masyarakat, khususnya di kalangan usia muda, ketika mengonsumsi rokok sehingga cenderung memilih berhenti merokok.

“Kebijakan ini memberi sinyal kuat bahwa merokok tidak hanya berbahaya bagi kesehatan pribadi, tetapi juga memiliki konsekuensi finansial. Dampaknya, prevalensi merokok diharapkan dapat berkurang, terutama di kalangan anak muda yang masih menganggap rokok sebagai bagian dari gaya hidup,” kata Dicky.

 

Antisipasi Dampak yang Timbul

Meski kebijakan ini akan berdampak positif, Dicky mengakui bahwa ada pula risiko yang perlu diantisipasi. Salah satunya adalah ketimpangan akses dan layanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat perokok yang terkategori miskin.

“Mereka yang tidak mampu membayar pengobatan secara mandiri akan kesulitan. Untuk itu, pemerintah daerah harus memikirkan mekanisme akses alternatif. Selain itu, kebijakan ini perlu disosialisasikan secara baik agar tidak menimbulkan stigma atau diskriminasi terhadap perokok,” ungkapnya.

Dicky memberikan contoh praktik di negara lain. Di Singapura, premi asuransi untuk perokok tarifnya lebih mahal, sementara Australia fokus pada pencegahan melalui pengenaan pajak rokok yang tinggi dan layanan gratis untuk berhenti merokok.

“Indonesia bisa mengadopsi pendekatan serupa, misalnya dengan meningkatkan pajak rokok dan menggunakan dananya untuk menutupi biaya pengobatan serta mendanai kampanye pencegahan merokok,” sarannya.

Dicky merekomendasikan pemerintah untuk fokus pada penguatan literasi dan strategi komunikasi risiko terkait bahaya rokok. Selain itu, ia menyarankan aturan khusus, seperti denda tambahan atau pembayaran bersama (co-payment) bagi perokok aktif.

“Kebijakan yang tepat dapat memberikan dampak positif yang besar, seperti efisiensi anggaran BPJS, pengurangan prevalensi merokok, serta penurunan angka penyakit terkait rokok dalam jangka panjang,” pungkasnya.

Jalan Tengah: Cukai Rokok untuk BPJS

Sebagai jalan tengah, Nina mendorong optimalisasi cukai rokok, peningkatan earmark pada cukai rokok untuk mendukung upaya preventif dan promotif kesehatan. Ia mengusulkan tambahan cukai khusus sebesar Rp200 per batang rokok.

“Dengan produksi rokok mencapai 320 miliar batang per tahun, dana sebesar Rp64 triliun dapat dialokasikan untuk mengatasi penyakit akibat rokok yang diklaim oleh BPJS,” jelasnya.

Selain itu, dia mengusulkan penerapan aturan pengendalian konsumsi rokok secara lebih ketat dan mendorong program Upaya Berhenti Merokok (UBM), yang selama ini dinilai belum berjalan efektif.

Jika merokok adalah hak, maka ia menjadi hak yang pemenuhannya paling destruktif dan egois dalam sistem jaminan kesehatan. Dampak buruknya memicu si perokok sakit, lalu beban perawatannya dipikul mereka yang tak merokok.

Oleh karenanya, usulan penaikan cukai rokok yang dananya dialokasikan khusus untuk BPJS Kesehatan menjadi terdengar adil, di mana perokok membayar "premi khusus" atas risiko kesehatan yang akan mereka hadapi. (par) 


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.