Bredel Gaya Baru di Era Prabowo: Retas, Deface Jadi Judol, Lalu Blokir?

Tak ada satupun peretas yang dijerat. Justru korban peretasan lah yang ditindak, seperti Ravio Patra dan YLBHI.

By
in Now You Know on
Bredel Gaya Baru di Era Prabowo: Retas, Deface Jadi Judol, Lalu Blokir?
Tampilan situs Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang diblokir pemerintah, setelah diretas dan di-deface menjadi situs judi online. (Sumber: YLBHI)

Jakarta, TheStanceID - Setelah pelaku seni dibredel melalui tangan kurator, kini giliran lembaga sosial kemasyarakatan yang dibredel melalui tangan peretas. Pemerintah yang semestinya melindungi kebebasan sipil justru cuci tangan.

Sejak era pemerintahan Joko Widodo, para aktivis dan jurnalis yang kritis terhadap pemerintah mendapatkan serangan di dunia maya, baik melalui situs ataupun akun media sosial mereka. Ini menjadi praktik pertama yang terjadi sejak era reformasi.

Praktik tersebut sayangnya berlanjut di era pemerintahan Prabowo Subianto. Bahkan kurang dari 100 hari kerja, praktik tersebut sudah muncul tanpa sedikitpun pemerintah memberikan perlindungan dan advokasi.

Korbannya kali ini adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di mana situs resminya diretas dan tidak dapat diakses pada Senin (6/1/2025). Peretasan ini merupakan yang ketiga kalinya sejak Oktober 2024.

"Senin, 6 Januari 2025, halaman depan website YLBHI tidak dapat diakses publik. Gambar yang muncul adalah laman website situs judi online," kata Ketua YLBHI Muhamad Isnur, dalam keterangan resmi melalui akun instagram dan X, Selasa (7/1/2025).

Alih-alih membela dan memberikan bantuan hukum untuk menyelidiki, pemerintah justru menindaklanjuti aksi peretas tersebut.

Pada sore harinya, halaman depan situs web YLBHI berubah tampilan menjadi poster informasi bahwa situs web tersebut diblokir oleh Kominfo. "Website YLBHI sementara ini tidak bisa diakses karena dalam proses perbaikan."

Peretasan ini berdampak pada situs web LBH Kantor yang mengikuti domain YLBHI, yang juga tidak dapat diakses, seperti halnya situs web LBH Manado, LBH Papua, LBH Palangkaraya, dan Project Based Kalimantan Barat.

Diretas Karena Kritis?

Peretas umumnya beraksi dengan motif ekonomi, berupa imbalan sebagai ganti normalisasi situs yang diretas. Atau, motif politik yakni untuk menyuarakan sebuah nilai atau tuntutan agenda politik.

Untuk kasus YLBHI, sebuah yayasan nirlaba yang menyoroti isu hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM), peretas tak menunjukkan kedua motif tersebut. Isnur menduga peretasan hanyalah modus untuk membungkam organisasinya.

Dalam 3 bulan terakhir, ketika serangan muncul, YLBHI mempublikasikan siaran pers merespons pelantikan Prabowo-Gibran, evaluasi situasi hukum dan HAM di 2024, kekerasan aparat kepolisian, serta penolakan kenaikan PPN 12%.

“Dan yang paling baru di tahun 2025, serta terakhir adalah pernyataan YLBHI bahwa Jokowi layak disebut pemimpin korup, pelanggaran hukum dan HAM terorganisir,” kata Isnur.

Menurutnya, usaha peretasan, doxing, pengambilalihan akun, dan serangan digital kepada masyarakat adalah upaya pembungkaman suara kritis warga serta ancaman perjuangan publik untuk demokrasi, HAM dan keadilan di Indonesia.

Peretasan Kerap Dialami Aktivis

Aksi peretasan kerap dialami aktivis masyarakat sipil yang vokal mengkritik pemerintah. Umumnya, para peretas menyasar akun media sosial aktivis saat menjelang demonstrasi, guna mengecoh komunikasi mereka.

Serangan digital seperti ini tak jarang dipandang sebagai upaya pembungkaman sipil. Bahkan, sebagian besar masyarakat yakin fenomena ini memiliki pola tersendiri dan terkoordinir.

TheStanceID menghimpun beberapa kasus peretasan yang dialami para aktivis atau organisasi yang umumnya mengkritik pemerintah.

  • Gerakan 'Bareng Warga'

    Inisiator gerakan tersebut, yakni Risyad Azhari, pada 25 Desember 2024 melaporkan bahwa akun WhatsApp pribadinya dan keluarga diretas. Dugaan kuat, hal tersebut akibat Risyad vokal menyuarakan penolakan PPN 12%.

    Sebelumnya, Risyad aktif melakukan advokasi, mengumpulkan petisi, hingga menyuarakan ke berbagai media terkait penolakan PPN 12% yang resmi berlaku pada 1 Januari 2025.

  • Aksi People's Water Forum (PWF)

    Aktivis yang melakukan aksi protes untuk mengritik agenda pemerintah yakni World Water Forum di Bali pada Mei 2024, juga mengalami peretasan.

    Nenden Sekar Arum dari Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet menjelaskan peretasan itu dilakukan dengan mengambil alih akun Whatsapp dan personal akun lainnya.

    “Peretasan ini tidak hanya melanggar hak atas privasi individu, tapi juga serangan ini berdampak pada kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul yang menjadi fundamental demokrasi,” ujarnya dalam keterangan ke media.

  • Film Dirty Vote

    Pakar hukum sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjadi satu dari sekian banyak aktivis yang mengalami serangan siber setelah ikut tampil di dalam film dokumenter Dirty Votes.

    Pada April 2022, akun media sosial Bivitri diretas, jelang aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh, pada Kamis (21/4/2022). Selain Instagram, WhatsApp pribadi Bivitri turut menjadi korban.

  • Demonstrasi BEM

    Sejumlah akun WhatsApp dan media sosial pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) juga mengalami peretasan pada Minggu (27/6/2022).

    Peretasan terjadi usai BEM UI mengkritik Presiden Joko Widodo dengan menobatkannya sebagai 'The King of Lip Service' alias 'Raja Membual.'

  • Ravio Patra

    Kasus peretasan nomor telepon seluler milik peneliti kebijakan publik dan pegiat advokasi legislasi Ravio Patra terjadi pada bulan April 2020. Modus operandinya sama persis seperti peretasan YLBHI.

    Ketika itu, akun WhatsApp Ravio dibajak, lalu berubah menjadi "akun kriminal" dengan mengirimkan pesan berantai bernada provokasi untuk melakukan penjarahan nasional.

    Ravio pun ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya, sebelum kemudian dilepaskan.

 Jurnalis dan Pers Pun Diserang

Selain aktivis dan mahasiswa, aksi peretasan dan pembungkaman juga menimpa jurnalis dan sejumlah perusahaan media. Salah satunya, percobaan peretasan terhadap awak media Narasi pada 23-26 September 2022.

Peretasan pertama kali diketahui pada Sabtu (24/9/2022) saat nomor Whatsapp milik salah seorang produser Narasi, yakni Akbar Wijaya, menerima pesan singkat berisi sejumlah tautan.

Usai membaca pesan tersebut, Akbar kehilangan kendali atas akun Whatsapp dan nomor teleponnya. Setidaknya ada 22 awak redaksi yang mengalami percobaan peretasan.

Serangan digital terhadap awak Narasi ini bukanlah yang pertama terjadi. Pada Februari 2022, akun Whatsapp, Instagram, Facebook dan nomor handphone pribadi Ketua Umum Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim diretas.

Sebelumnya pada Oktober 2021, situs media online Project Multatuli terkena serangan distributed denial-of-service (DDoS) yang menyebabkan situsnya tak dapat dibuka.

Mundur ke belakang, pada 2020 situs Tirto, Tempo, dan Magdalene sempat mengalami serangan digital hingga tak bisa diakses. Demikian juga akun X milik Konde, media yang vokal menyuarakan kesetaraan gender seperti halnya Magdalene.

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) juga menemukan pola yang sama di balik peretasan ke insan pers. Sama seperti aktivis, jurnalis atau media massa juga mengalami peretasan ketika menunjukkan sikap kritis terhadap kebijakan pihak yang berkuasa.

Lalu, pemerintah tutup mata dan bahkan cuci tangan. Sampai saat ini tidak ada satupun pelaku serangan atau peretas yang ditindak secara hukum. Justru korban peretasan itu yang ditindak seperti Ravio Patra dan YLBHI.

Komdigi Didesak Mengusut

Executive Director SAFEnet Damar Juniarto menyatakan menolak keras segala bentuk pembungkaman, termasuk pemblokiran atau pengalihan situs, seperti yang dialami YLBHI dan rekan-rekan pers.

Organisasi regional yang berfokus pada upaya memperjuangkan hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara ini juga mendesak pemerintah dan pihak terkait untuk mengusut kasus peretasan situs YLBHI.

"Kami mendesak pihak terkait, termasuk @kemkomdigi, untuk segera menangani dan mengusut tuntas pelanggaran hak digital semacam ini!" tuturnya dalam pernyataan resmi.

Berdasarkan catatan SAFEnet, sejak kurun waktu 2017 sejak era Jokowi, masyarakat sipil rentan mengalami serangan siber meliputi jurnalis, media, aktivis, artis, budayawan, penulis, dan akademisi.

Jenis serangan berbentuk disinformasi, doxing, akun peniru, malware, hacking, DdoS Attack, Cyber Ammock, dan Spam Calls itu membungkam kebebasan berekspresi di dunia maya.

Melanggar Hak Kebebasan Berpendapat

Dewan pakar (Board of Expert) Bidang Hukum & HAM TheStanceID Edwin Partogi Pasaribu menyebut peretasan itu sebagai bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat.

Dia mendesak Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan polisi mengusut tuntas kasus peretasan situs YLBHI. Jika kasus peretasan ini tidak diusut tuntas, akan muncul persepsi bahwa peretasan ini memang bertujuan membungkam suara kritis.

"Pola macam ini lebih mirip dengan praktik-praktik negeri tiran," tegas Edwin.

Menurut mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini, meningkatnya kasus peretasan terhadap aktivis dan jurnalis juga bisa mengancam kebebasan berekspresi dan berdampak pada menurunnya indeks demokrasi Indonesia.

"Melemahnya demokrasi dapat menimbulkan berbagai dampak serius baik secara sosial, politik, dan ekonomi," ujar Edwin.

Indeks Demokrasi Pun Turun

Aksi peretasan terbaru ini mengonfirmasi temuan Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam laporan “Democracy Index 2023: Age of Conflict,” media internasional ini menempatkan Indonesia di peringkat 56 dengan skor 6,53.

Angka itu terhitung turun dua peringkat dari tahun 2022 (skor 6,71), yang otomatis menempatkan demokrasi Indonesia masuk ke dalam kategori cacat (flawed democracy).

Indeks Demokrasi EIU diukut dengan mengacu pada lima dimensi, yakni proses pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.  

Data Freedom House juga mencatat skor indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 (2019) menjadi 57 (2024). Lembaga yang berbasis di Amerika Serikat itu mencatat kriminalisasi terhadap aktivis dan penangkapan demonstran sebagai poin pemberat.

Meski peretasan terus berulang secara sistematis, di tengah cuci tangan pemerintah--yang semestinya melindungi kebebasan ekspresi masyarakat sipil, Isnur memastikan YLBHI akan terus menyuarakan aspirasi dan suara kritis.

"YLBHI terus berjuang untuk demokrasi, HAM, dan keadilan di Indonesia,” tegasnya. (est)


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\