Aksi Main Tembak Kian Marak, Pemakaian Senjata Api Aparat Perlu Dikaji Ulang
Berulangnya aksi main tembak aparat menunjukkan adanya lubang penegakan prosedur di internal TNI & Polri.

Jakarta, TheStanceID - Desakan evaluasi penggunaan senjata api baik oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) semakin menguat, di tengah berulangnya penembakan semena-mena oleh aparat. Ada lubang penegakan hukum dan prosedur internal di institusi TNI/Polri.
Berdasarkan catatan TheStanceID, diawal tahun 2025 ini sudah ada dua kejadian penembakan yang melibatkan aparat. Pertama, penembakan pemilik rental mobil oleh anggota TNI di rest area Tol Tangerang-Merak. Kedua, penembakan pengacara di Bone, Sulawesi Selatan.
Merespons sederet peristiwa penggunaan senjata api (senpi) secara semena-mena yang membunuh warga tak berdosa, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai meminta penggunaan senjata api dievaluasi secara menyeluruh.
"Terjadi penyalahgunaan senjata baik oleh aparat maupun masyarakat sipil yang harus jadi atensi baik oleh pimpinan TNI, Polri, dan juga Perbakin [Persatuan Menembak Indonesia]. Ini harus dievaluasi total karena jelas-jelas menyalahi prosedur," kata Natalius dalam keterangan pers, Sabtu (4/1/2025).
Dia menegaskan, penggunaan senjata, baik oleh aparat maupun masyarakat sipil, diikat dengan ketentuan dan aturan dan prosedur yang sangat ketat. Insiden penembakan semena-mena oleh aparat membuktikan adanya pelanggaran hukum dan prosedur.
"Penggunaan senjata secara tidak bertanggung jawab jelas menjadi ancaman bagi hak asasi manusia dan juga ancaman bagi stabilitas sosial," ujar Pigai.
Kasus penembakan baru-baru ini, yang menimpa warga tak berdosa yang tak terkait dengan tindak pidana atau konfik, bisa dikategorikan sebagai ancaman bagi hak hidup seluruh rakyat Indonesia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menyatakan, setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan pribadi.
"Salah satu aspek penting HAM juga adalah kebebasan dari rasa takut atau freedom from fear. Dalam kasus seperti ini, jelas menebarkan ketakutan dan tentu saja menjadi ancaman bagi kehidupan. Sementara negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya," ucap Pigai.
DPR Desak Revisi Aturan Senpi
Menanggapi Pigai, Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya sepakat agar aturan persenjataan api di Indonesia ditinjau ulang. Sejumlah insiden penyalahgunaan senjata api menunjukkan mendesaknya revisi aturan persenjataan.
"Ada penembakan sesama oknum anggota kepolisian. Ada oknum aparat menembak warga sipil. Ada warga sipil yang mengacungkan senjata. Ini kok seperti liar sekali," kata Willy kepada ThestanceID pada Rabu (8/1/2025).
Dia memastikan DPR akan mengkaji aturan persenjataan bersama pemerintah. Untuk itu, ia mengajak masyarakat untuk mengusulkan masukan secara komprehensif kepada Komisi XIII DPR yang fokus menangani isu HAM.
Menurutnya, senjata api memang perlengkapan penting bagi aparat TNI dan Polri dalam menjalankan tugas. Namun, ia menekankan pentingnya penegasan aturan terkait penguasaan senjata di luar tugas resmi.
"TNI dan Polri memang harus dilengkapi senjata api untuk menjalankan tugasnya. Ke depan perlu ada analisis jabatan yang komprehensif dalam penguasaan senpi di masing-masing lembaga," tutur politikus Partai Nasdem ini.
Kompolnas Kembali Berjanji
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Ghufron Mabruri berharap pemakaian senjata api dievaluasi, termasuk soal penggunaan kekuatan berlebihan, yang telah masuk dalam visi Polri 2045.
"Nanti akan kita detilkan lagi bahan-bahan dokumen laporan yang bisa kita jadikan bahan untuk memperkuat upaya untuk mendorong perbaikan-perbaikan tadi," katanya. Kompolnas adalah lembaga yang bertugas mengawasi kinerja Polri.
Sejumlah catatan kritis juga harus jadi perhatian Polri. Mulai dari pengetahuan anggota terkait Standard Operating Procedure (SOP) penggunaan senpi, kekuatan berlebih, keterampilan, tes psikologi atau pendataan anggota yang berhak menguasai senpi.
Tidak kalah penting, kata Ghufron, yakni aspek pengawasan dan akuntabilitas, termasuk ketika terjadi pelanggaran dan bentuk pertanggungjawaban dari anggota kepolisian tersebut.
Kompolnas juga mendorong Polri mengedepankan pendekatan humanis dalam menjalankan tugas kepolisian. "Agar secara sistem ada pelembagaan secara internal, memastikan kultur [pelanggaran pemakaian senpi] tadi bisa benar-benar diputus."
Daftar Panjang Extrajudicial Killing
Amnesty International Indonesia menilai banyaknya kasus penembakan tak sah oleh aparat menunjukkan kegagalan institusi keamanan dan pertahanan dalam mengelola penggunaan senpi di kalangan personilnya.
Oleh karena itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak reformasi peradilan militer dan evaluasi serius mengenai penggunaan senpi oleh anggota TNI dan Polri.
Kasus penembakan pemilik rental mobil oleh personal TNI Angkatan Laut (AL) di rest area jalan Tol KM 45 Merak-Tangerang pada Kamis (2/1/2025), menambah panjang daftar pembunuhan aparat di luar koridor hukum (extrajudicial killing).
“Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia,” ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima TheStanceID, Senin, (6/1/2025).
Data Amnesty International Indonesia menyebutkan sepanjang tahun 2024 ada 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan korban mayoritas tewas di tangan aparat. 10 pelaku berasal dari TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 lainnya tim gabungan.
Adili Pelaku di Peradilan Umum
Usman menilai aparat sudah terbukti gagal dalam mengelola penggunaan senjata api. Untuk itu, dia menuntut pelaku diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer—yang dinilai tidak transparan.
“Pelaku harus diadili di peradilan umum untuk memastikan proses hukum yang adil dan terbuka,” kata Usman.
Dia menekankan pentingnya merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, agar pelanggaran hukum pidana umum oleh personel militer diproses sesuai amanat UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Untuk warga sipil, sejauh ini belum ada aturan setingkat Undang-Undang (UU) yang mengatur penguasaan senpi di kalangan sipil.
"Dasar aturan yang dipakai sekarang adalah UU 8/1948. Ini undang-undang dari zaman Indonesia baru merdeka. Kini situasinya sudah jauh berubah. Maka wajar jika kita ubah," tutur Willy.
Bukan Kelalaian Personal
Usman mengkritik penggunaan istilah 'oknum' yang sering dipakai untuk menyebut pelaku pelanggaran dari kalangan aparat, karena istilah tersebut cenderung digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusi.
“Institusi harus bertanggung jawab atas tindakan anggotanya, terutama jika senjata api digunakan untuk tindakan pidana atau pelanggaran HAM,” ujarnya.
Selain itu, Amnesty juga meminta adanya perhatian serius terkait kelalaian kepolisian, yang tidak menindaklanjuti laporan wargai. Sikap lalai itu pada akhirnya mendorong konflik antar-perorangan pada 2 Januari 2025 yang berujung penembakan aparat TNI.
“Kelalaian aparat yang berujung kematian warga sipil harus diproses secara pidana, tidak cukup dengan sanksi etik,” tegas Usman.
Dia menyerukan reformasi menyeluruh aparat TNI/Polri guna memutus impunitas aparat terkait pelanggaran HAM. “Keadilan yang sesungguhnya hanya bisa terwujud jika impunitas diakhiri, dan pelaku pelanggaran diproses secara transparan.” (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.