Jakarta, TheStance – Publik sempat dihebohkan oleh kejadian hilangnya sebuah tumbler di kereta Commuterline (KRL) akibat kecerobohan sang pemilik. Topik terkait tumbler pun kembali hangat setelah kejadian viral tersebut.

Tak bisa dipungkiri, dalam beberapa tahun terakhir, tumbler telah bertransformasi dari sekadar alat penyimpan minuman menjadi bagian integral dari gaya hidup modern.

Banyak orang mulai sadar akan pentingnya membawa tumbler karena berbagai alasan, mulai dari kesehatan, penghematan, hingga kepedulian terhadap lingkungan.

Dalam satu hari saja, satu orang bisa menghasilkan limbah botol plastik yang tidak sedikit jika terus-menerus membeli minuman kemasan. Tumbler hadir sebagai solusi praktis untuk mengurangi kebiasaan tersebut.

Beda Tumbler dan Botol Minum Biasa

botol minum

Tren penggunaan tumbler kini tidak hanya terkait dengan fungsi praktisnya, tetapi juga melibatkan aspek estetika dan kesadaran akan keberlanjutan lingkungan.

Faktanya, berdasarkan hasil survei Culligan UK, sebuah perusahaan penyedia solusi air minum untuk rumah dan kantor, baru-baru ini terungkap jika Generasi Z alias gen-Z memperlakukan tumbler seperti sebuah aksesori yang wajib dipakai ketika bepergian.

Tumbler merupakan nama lain dari insulated water bottle. Berbeda dari botol minum biasa, tumbler mengandalkan teknologi vacuum insulated double-wall atau bahkan triple-wall insulation yang mampu menjaga suhu minuman selama 12-48 jam.

Selain itu, hampir semua tumbler berkualitas tinggi juga menggunakan material seperti stainless steel grade 304/316, Tritan bebas BPA, atau teknologi isolasi berlapis.

Selain lebih kokoh dan tahan benturan, material tersebut memastikan produk ini aman untuk kesehatan (tidak melepaskan bahan kimia), tidak mudah berkarat atau mengubah rasa. Stabilisasi suhu juga semakin optimal.

Dengan fitur, pilihan warna dan desain yang kian bervariasi membuat harga tumbler jadi lebih mahal dari wadah air minum pada umumnya.

Tren Gaya Hidup Ramah Lingkungan

Tumbler

Tren penggunaan tumbler sebagai wadah minuman tak bisa lepas dari evolusi gaya hidup ramah lingkungan Generasi Z yang memang tumbuh dengan akses informasi yang cepat.

Mereka (Gen Z) melihat dan membaca tentang krisis sampah hampir setiap hari. Wajar bila kesadaran terhadap sampah berkembang lebih cepat. Alhasil, mereka berusaha mengubah gaya hidup menjadi lebih ramah lingkungan untuk mengurangi sampah plastik dengan cara membawa botol minum (tumbler), kantong belanja kain, hingga wadah makanan.

Data dari survei Jakpat yang disadur oleh GoodStats menunjukkan bahwa 56% Gen Z memilih membawa botol minum pribadi. Pilihan ini merupakan bagian dari bentuk penolakan terhadap botol plastik sekali pakai sekaligus simbol dari gaya hidup sehat.

Kebiasaan ramah lingkungan lain yang lazim dilakukan Gen z adalah pilihan untuk menggunakan kantong belanja yang bisa digunakan kembali. Selain karena murah dan praktis.

Ada lagi kebiasaan lain, yakni membawa wadah makan sendiri. Kebiasaan membawa makanan dari rumah memang sudah ada sejak dulu. Namun, kini berkembang dalam bentuk baru. Sebanyak 46% Gen Z membawa wadah makan sendiri saat membeli makanan di luar.

Tren Tumbler Mendunia

Tren Tumbler

Pandemi Covid-19 menjadi momentum yang mempercepat penggunaan produk-produk ramah lingkungan seperti tumbler, kantong belanja kain (totebag) dan sedotan stainless di Indonesia. Padahal, gerakan untuk mengurangi penggunaan sampah sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2010.

Tak bisa dipungkiri, pandemi membuat banyak orang lebih fokus pada kesehatan. Mengurangi minuman kemasan, membawa air sendiri, atau makan dari wadah pribadi dianggap lebih sehat. Selain itu, sejumlah aturan larangan plastik sekali pakai yang direncanakan sejak 2018–2019 kebetulan mulai berlaku pada 2020, tepat saat pandemi dimulai.

Tren ini membuat orang-orang jadi lebih sering memakai tumbler dan menjadi semacam budaya baru. Tumbler, menjadi bagian produk lifestyle sehingga orang-orang pun mulai mengoleksi tumbler. Ini sama halnya dengan fenomena wadah Tupperware yang sempat ramai menjadi tren di kalangan ibu-ibu.

Ada alasan tersendiri kenapa perempuan merupakan pasar terbesar bagi produsen tumbler.

Dilansir dari The Guardian, Daniel Benkendorf, seorang profesor psikologi di Fashion Institute of Technology, mengatakan bahwa mereka kerap dijadikan target utama dalam strategi pemasaran produk "berkelanjutan" karena "konsep-konsep tersebut telah difeminisasi dalam budaya kita."

"Anak muda, terutama perempuan muda, kini lebih mungkin daripada sebelumnya untuk mengatakan bahwa etika sebuah merek penting bagi mereka dan bahwa mereka hanya akan membeli dari perusahaan yang nilai-nilainya sejalan dengan nilai mereka sendiri," tambah Benkendorf.

Minat terhadap produk ramah lingkungan di Indonesia juga menunjukkan tren yang semakin kuat dari tahun ke tahun. Survei GoodStats dan Snapcart mencatat bahwa 84 persen konsumen Indonesia pernah menggunakan produk ramah lingkungan, menandakan bahwa gaya hidup hijau bukan lagi ceruk kecil.

Temuan ini sejalan dengan studi PwC Indonesia yang pada 2023 menunjukkan bahwa 80 persen konsumen bersedia membayar lebih untuk merek yang memiliki komitmen ESG.

Dorongan dari sisi konsumen tersebut ikut memengaruhi industri. Meningkatnya preferensi terhadap produk hijau, ditambah tekanan regulasi untuk mengurangi plastik sekali pakai, membuat pasar kemasan berkelanjutan tumbuh pesat.

Fenomena tumbler pun mendunia, tanpa terkecuali di Indonesia. Starbucks Indonesia lebih dulu mengikuti tren dengan produk dan penawaran diskon minuman dengan tumbler keluarannya pada hari tertentu.

Baru disusul merek lainnya seperti Corkcicle, 24Bottles, Hydro Flask, dan Chako Lab. Harga yang bisa mencapai jutaan rupiah itu tak menghalangi antusiasme masyarakat. Padahal, ekonomi dikabarkan sedang melesu atau isilah sekarang "in this economy".

Bahkan, tingginya minat masyarakat pada tumbler juga disambut dengan pembukaan toko khusus merek-merek internasional tersebut di Jakarta. Tahun lalu, toko pertama Stanley di Indonesia hadir di Grand Indonesia, Jakarta, kemudian diikuti Corkcicle di Plaza Senayan.

Merek lokal pun tak ketinggalan. Termasuk kedai kopi Tuku yang salah satu produknya dipakai oleh Anita dan sempat bikin geger se-Indonesia. Tumbler Tuku tersebut dijual seharga Rp250.000.

Paradoks Ramah Lingkungan dan Bentuk Kapitalisme Baru ?

Corkcicle

Dosen dan Peneliti Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya, Jawa Timur, Genta Mahardhika mengatakan tren konsumsi produk "hijau" di kalangan generasi Z tidak bisa dipahami semata sebagai bentuk kepedulian terhadap lingkungan.

"Kepedulian lingkungan itu nyata, tapi cara mengekspresikannya lewat belanja produk tertentu juga mencerminkan gaya hidup kelas menengah yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan membeli sesuatu," jelas Genta mengutip dari DW Indonesia.

Genta merujuk pada konsep Pierre Bourdieu bahwa preferensi konsumsi adalah penanda kelas. Misalnya, tumbler, totebag, dan sedotan stainless memang bukan barang mewah, tetapi cukup eksklusif untuk menandakan identitas kelas menengah urban.

Algoritma dan influencer juga ikut berperan besar dalam menormalisasi konsumsi hijau sebagai gaya hidup baru. Ditambah, ada kecenderungan orang untuk FOMO alias takut ketinggalan tren.

"Algoritma itu pintar. Kalau kita pernah lihat konten tumbler lucu, beranda kita akan penuh dengan itu. Kita jadi merasa ini gaya hidup normal yang harus diikuti," katanya.

Padahal, tidak semua produk ramah lingkungan benar-benar hijau ketika dihitung dari hulu.

Studi Life Cycle Assesment tentang siklus hidup produk menunjukkan bahwa sedotan stainless membutuhkan energi dan emisi hampir empat kali lebih besar dibanding sedotan plastik. Karena itu, banyak pakar menyarankan sedotan stainless digunakan setidaknya sekitar seratus kali agar jejak emisinya benar-benar lebih rendah dibanding sedotan plastik sekali pakai.

Paradoks pun muncul, dimana produk yang dirancang untuk mengurangi sampah justru menambah konsumsi ketika dibeli berulang. Industri kemudian membaca keresahan publik terhadap krisis lingkungan sebagai peluang bisnis dan menawarkan "solusi" dalam bentuk produk.

Obsesi terhadap tumbler memotivasi orang untuk lebih konsumtif sehingga memiliki tumbler lebih dari satu. Padahal, ketika orang sudah mulai bosan dengan koleksi tumblernya, bukan tidak mungkin barang tersebut menjadi sampah yang malah semakin menambah beban di pembuangan akhir. Tumbler pun tak lagi menjadi opsi yang ramah lingkungan.

Di tengah komersialisasi gaya hidup hijau, Genta mengingatkan kembali esensi keberlanjutan.

Menurutnya, hidup ramah lingkungan, bukan ditentukan oleh banyaknya barang yang dibeli, tetapi oleh perubahan cara pandang dan sistem yang mendukung praktik berkelanjutan.

"Sejatinya, menyelamatkan lingkungan bukan persoalan membeli produk apa, tetapi mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi secara menyeluruh," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp & Telegram The Stance