oleh Nur Iswan, mantan jurnalis yang menggeluti dunia riset bidang kebijakan publik sebagai Peneliti Senior INDOPOL. Wirausahawan yang juga pemerhati dunia agroindustri tersebut kini aktif menyampaikan ide dan gagasannya melalui kanal Youtube, Nur Iswan Channel.


Pagi tadi, tiba-tiba seorang sahabat mengirim pesan. Ia mengajak sarapan pagi mie ayam. Di Warung Mie Ayam Rizki, Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Tentu saja saya tak ingin menjelaskan siapa. Pertama, tak elok karena belum tentu ia suka di-publish namanya. Kedua, agar kisah ini tak kehilangan fokus dan konteks.

"Kalau sudah sampai ke gua beritanya, berarti ini mie enak banged. Dan kalau gak pagi-pagi, kita bisa gak kebagian!" Ucapnya dengan gaya dan logat khas-nya.

Ternyata, memang enak.

Sambil menikmati sajian ditemani peyek teri, ia menyampaikan hal yang membuat saya tertegun. Sekaligus terhentak. "Keprihatinan hidup bisa menciptakan kuliner enak, Wan!" ujarnya.

Pernyataan itu membuat pikiran saya menerawang. Dan mengilhami tulisan ini.

Kebetulan pada saat yang sama dengan beberapa sahabat di Greenlite, kami sedang mempersiapkan "Sempurna Expo 2025: Semarak Pemberdayaan UKM Nusantara" kolaborasi dengan UCoach, Smart Bussiness Coach dan RRI (Radio Republik Indonesia).

Nah, Warung Mie Ayam Rizki itu tentu saja masuk ke dalam kategori UKM alias usaha kecil dan mikro. Aset dan modalnya less than Rp50 juta.

Tahu harganya berapa per porsi? Kurang lebih Rp15.000. Karena kami berempat, total hanya 'menghabiskan' Rp65.000 saja. Termasuk teh panas dan peyek.

Jangan Remehkan Bisnis UMKM

Mari kita detilkan hitungan bisnis UKM ini ya.

Kenapa? Supaya kita memiliki pengertian sama dan sekaligus memahami mengapa pengusaha UKM ini menjadi pilar ekonomi rakyat kita sehingga pada ujungnya kita menaruh respect terhadap mereka.

Jika ia dalam sehari (4-5 jam berjualan) berhasil menjual 100 porsi/mangkuk, maka 100 x Rp 15.000 adalah Rp 1.5 juta per hari. Okay, ya?

Jika dalam 1 bulan bekerja let's say 25 hari, maka Rp1.5 juta x 25 hari berujung pada omzet per bulan: Rp37,5 juta!

Nah, menurut data Kemenkop-UMKM 2024, jumlah usaha kecil dan mikro di Nusantara telah mencapai 65 jutaan. Sebuah angka yang besar sekali. Fantastis!

Jumlah ini tentu saja menjadi tumpuan ekonomi nasional juga, atau dalam bahasa ekonominya: kontributor signifikan terhadap postur perekonomian nasional.

Mengapa? Karena mereka juga memiliki multiplier effects besar. Bahkan terhadap produsen, pabrikan dan industri besar.

Semisal warung mie ayam tadi. Ia pasti membutuhkan pasokan bahan mentahnya seperti mie, ayam, saos, kecap dan aneka bumbu lainnya.

Jadi, semakin jelas ya bahwa gerobak mie ayam tadi sungguh-sungguh mendorong ekonomi bergerak. Tidak sesederhana yang kita lihat dan kita bayangkan. Tidak omon-omon.

Keprihatinan yang Memutar Ekonomi Makro

Kembali ke warung mie tadi, mungkin kreativitas ini lahir dari hobi. Pemiliknya mungkin suka memasak dan membuat mie ayam. Mungkin juga lahir dari keinginan.

Tapi juga, besar kemungkinan lahir dari kebutuhan dan keprihatinan hidup. Untuk bertahan menghidupi keluarganya, ia memilih menjadi pengusaha, meski skalanya kecil atau mikro.

Hasil olah pikir, kreativitas dan pengamatannya itu maka pilihan jatuh kepada usaha mie ayam ini. Ia menciptakan usaha sendiri.

Tanpa banyak berbicara, ia terjun dengan penuh keberanian. Pasti dengan modal yang susah payah ia kumpulkan. Pasti juga dengan kesabaran dan ketekunan.

Hasilnya berbuah manis dan dipetik sekarang. Mie ayamnya laris. Pelanggan rela antri menunggu giliran. Bahkan terdengar hingga sahabat saya itu.

Jadi, kita semua pantas dan salut serta wajib menaruh hormat terhadap mereka, para pengusaha kecil dan mikro ini. Keprihatinan hidup tak membuat mereka putus asa. Tak membuat mereka lunglai.

Bahkan, keprihatinan hidup mereka sulap menjadi kreativitas kuliner mie ayam terbaik dan terenak. Gak percaya? Coba saja mencicipinya!***


Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.