Jakarta, TheStance - Gebrakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunda kenaikan cukai rokok dinilai sebagai bukti kuatnya intervensi industri dalam pembuatan kebijakan kesehatan di era Presiden Prabowo Subianto.
Tidak terima, Komunitas Save Our Surroundings (SOS) pun menggelar aksi damai memperingati Hari Kesehatan Nasional di Silang Selatan Monas, Jakarta Pusat pada Rabu (12/11/2025).
Aksi bertajuk “Kesepakatan Asap di Meja Rapat: Hak Sehat Rakyat Digadai Cuan Korporasi” menyoroti melemahnya kebijakan pengendalian tembakau akibat intervensi industri, sehingga komitmen pemerintah melindungi kesehatan publik melemah.
Beladenta Amalia, Tobacco Control Lead dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), mengingatkan Hari Kesehatan Nasional harus menjadi momentum refleksi terkait sejauh mana negara berpihak pada kesehatan rakyatnya.
“Sayangnya, kebijakan pengendalian tembakau terus dilemahkan oleh industri rokok yang kepentingannya jelas bertentangan dengan kepentingan negara untuk melindungi kesehatan publik,” ujarnya dalam keterangan resminya, Rabu (12/11/2025)
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024 tentang Kesehatan, yang merupakan turunan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17/2023, dinilai tidak berfungsi sebab tidak mengatur soal pengawasan.
Padahal, di dalamnya ada ketentuan khusus mengenai pengamanan zat adiktif dan produk tembakau/rokok elektronik, termasuk perizinan, batas kadar nikotin/tar, kemasan, larangan iklan, dan kawasan tanpa rokok.
Menurutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seharusnya menunjukkan komitmen nyata agar kebijakan cukai rokok dan turunan PP Kesehatan tetap berpihak pada kesehatan masyarakat.
Kebijakan Fiskal Terkooptasi Industri Rokok
Di sisi lain Bela menuding kebijakan fiskal di bawah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya justru bergerak mundur dengan membiarkan cukai rokok tidak naik dua kali selama pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Padahal, harga rokok yang diatur dengan cukai adalah instrumen paling efektif untuk menekan konsumsi rokok dan melindungi generasi muda,” tambahnya.
Aksi yang digalang hari ini merupakan puncak kekecewaan masyarakat dan kritikan moral terhadap pemerintah agar sadar bahwa arah kebijakan pengendalian tembakau saat ini mengalami kemunduran yang harus segera dibenahi.
“Kebijakan kesehatan kita telah dikooptasi oleh kepentingan korporasi rokok. Negara harus kembali pada mandat konstitusi, yaitu menjamin hak atas kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan melindungi kepentingan bisnis,” sambung Bela.
Aksi damai ini juga menjadi ruang bagi masyarakat untuk menunjukkan kepedulian terhadap masa depan kebijakan kesehatan di Indonesia. Para peserta aksi mengajak publik untuk tidak diam dan ikut mengawasi jalannya kebijakan pemerintah.
“Selama industri masih punya kursi dalam pembahasan kebijakan, kesehatan publik bukan menjadi prioritas pemerintah. Kami ingin masyarakat menyadari bahwa kebijakan kesehatan kita sedang dikooptasi oleh perusahaan rokok,” ujar Bela.
Sebagaimana diketahui, Menkeu Purbaya menunda kenaikan cukai setelah berdiskusi dengan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI).
Hal ini, menurut Project Officer Yayasan Lentera Anak, Rama Tantra Solikin, adalah bentuk kompromi pemerintah dengan industri tembakau yang menggadaikan kepentingan kesehatan masyarakat.
Kemenkes Pun Ikut Melanggar
Tantra menegaskan kebijakan pengendalian tembakau, baik fiskal maupun non fiskal, nyata-nyata tak berpihak pada kesehatan publik. Alasan menjaga keberlangsungan industri sering dijadikan pembenaran, dengan mengabaikan kepentingan masyarakat.
“Kementerian Kesehatan melanggar aturan benturan kepentingannya sendiri sebagaimana diatur dalam Permenkes 50/2016 tentang 'Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan Dengan Industri Tembakau' dengan berdialog langsung dengan industri tembakau,” tuturnya.
Langkah ini jelas berisiko melahirkan kebijakan yang menguntungkan industri dan melemahkan perlindungan kesehatan masyarakat. Padahal, industri rokok bukanlah mitra kesehatan sehingga bukan stakeholder yang perlu mereka temui.
“Industri tembakau bukanlah mitra kesehatan, tujuan bisnis tidak akan pernah sejalan dengan upaya melindungi masyarakat,” ujar Rama.
Dia juga menyoroti temuan Tobacco Industry Interference (TII) 2025 yang mengungkap semakin besar pengaruh industri tembakau dalam melemahkan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia.
Generasi muda menjadi korban utama, dengan jumlah perokok anak yang meningkat dari 4,1 juta pada 2018 (berdasarkan Riset Kesehatan Dasar) menjadi 5,9 juta pada 2023 (menurut Survei Kesehatan Indonesia), setara dengan populasi negara Singapura.
Ironi Besar Pemerintah Soal Generasi Muda

Project Monitoring and Evaluation dari Indonesia Youth Tactical Changes (IYCTC) Nalsali Ginting menilai pemerintah menciptakan ironi dengan gencar bicara soal pemberdayaan pemuda, tapi memberi ruang bagi industri rokok membidik mereka.
“Setiap anak yang mulai merokok hari ini adalah bukti kegagalan negara dalam melindungi generasi penerusnya. Pemerintah tak bisa terus berdalih, sementara kebijakan yang longgar justru memelihara pasar rokok di kalangan muda,” tegas Nalsali.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komnas Pengendalian Tembakau Tulus Abadi menyindir para menteri yang abai terhadap kesehatan publik dengan mengabaikan surat dukungan masyarakat untuk memperkuat kebijakan pengendalian tembakau.
“Menteri Keuangan bisa menyebut cukai rokok sebagai firaun, tapi nyatanya harga rokok di Indonesia masih sangat murah. Sementara Menteri Kesehatan tak kunjung mengesahkan aturan pembatasan rokok dalam PP 28/2024 yang sudah berusia lebih dari setahun,” ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, Menkes Budi Gunadi Sadikin enggan bersuara soal kenaikan harga rokok, meski kebijakan cukai rokok tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2025-2029.
Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya menegaskan lemahnya kebijakan pengendalian tembakau beberapa tahun terakhir menunjukkan kuatnya pengaruh industri rokok dalam kebijakan kesehatan.
Untuk itu, mengajukan tiga tuntutan utama dalam aksi tersebut kepada pemerintah. Pertama, menuntut presiden dan para menteri segera mengesahkan serta menerapkan seluruh turunan PP Nomor 28/2024 dalam klaster pengendalian zat adiktif.
Khususnya, terkait ketentuan yang selama ini ditolak oleh industri tembakau, seperti standarisasi kemasan dan pembatasan iklan, promosi, serta sponsor rokok.
Baca Juga: Berbagai Negara Larang Vape, Indonesia Beda: Menggelar World Vape Fair
Kedua, mendesak agar penetapan tarif cukai hasil tembakau menjadikan aspek kesehatan sebagai pertimbangan utama. Cukai harus dinaikkan signifikan agar harga rokok mahal dan konsumsi menurun.
“Ketiga, kami meminta pemerintah memastikan independensi penuh kebijakan kesehatan dari pengaruh industri tembakau,” lanjut Aryana.
Aksi ini diisi berbagai kegiatan antara lain bermain peran (roleplay) menggambarkan rapat pembuatan kebijakan kesehatan yang diintervensi industri tembakau, orasi, dan penyampaian tuntutan pada Presiden Prabowo Subianto dan kementerian terkait.
Komunitas SOS sendiri membuka petisi “Mahalkan Harga Rokok” melalui tautan https://bit.ly/petisimahalkanrokok sebagai ajakan konkret bagi masyarakat untuk menegaskan bahwa kesehatan adalah hak yang harus dilindungi negara. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance