Jakarta, TheStance – Malam itu Reza Rahadian tidak sedang berakting. Air matanya menitik saat berdiri di atas panggung Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2025.

Pangku, film panjang pertamanya, dinobatkan menjadi Film Cerita Panjang Terbaik, Kamis (20/11/2025) malam.

Sebuah penghargaan tertinggi bagi para film maker tanah air. Sekaligus prestasi luar biasa untuk sutradara pemula.

Selain kategori Film Panjang Terbaik, Pangku juga menggondol tiga kategori lain:

  • Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik untuk Christine Hakim

  • Pengarah Artistik Terbaik untuk Eros Eflin.

  • Penulis Skenario Asli Terbaik untuk Reza Rahadian dan Felix K Nesi,

Penghargaan di kategori terakhir itu sebenarnya bisa dibilang rada 'kelewatan' karena menunjukkan dominasi Reza. Tidak hanya untuk sutradara, dia bahkan ikut menggondol penghargaan sebagai penulis skenario.

Padahal, bukankah selama ini Reza terkenal sebagai aktor?

Dia sudah 6 kali memboyong piala Citra, empat di antaranya sebagai aktor terbaik, dan sekali sebagai aktor pendukung terbaik

Demikian dominannya akting Reza dalam perfilman Indonesia, hingga ketika dia menang sebagai aktor terbaik, publik tidak lagi heran. Cuma berkomentar. "Ah, Reza lagi, Reza lagi."

Tapi malam itu beda. Reza menggondol Piala Citra bukan sebagai aktor, melainkan karya dan sebagai penulis skenario --semua lewat film Pangku.

"Ibu saya ada di rumah, menonton. Ibu saya bilang, doa mama beserta," kata Reza yang menitikkan air mata dalam pidato kemenangannya.

Realisme Pangku, Tragedi dan Keindahannya

Film Pangku

Pangku berkisah tentang perjuangan Sartika (Claresta Taufan), seorang ibu tunggal dalam membesarkan anak semata wayangnya, Bayu, di pesisir pantai utara (pantura) Jawa.

Nasib mempertemukan Sartika dengan Bu Maya (Christine Hakim), seorang pemilik kedai kopi yang dikenal suka menolong.

Namun, Bu Maya tidak tulus menolong. Dia punya agenda tersendiri. Dia menjebak Sartika untuk bekerja sebagai pelayan di kedai kopi pangku miliknya.

Kedai kopi pangku adalah kedai kopi dengan "layanan ekstra". Para pelayan menyuguhkan kopi kepada para pengunjung pria dengan cara duduk di pangkuan mereka.

Batin Sartika berontak dengan pekerjaan yang merendahkan harga diri itu. Tapi dia sudah banyak berutang budi pada Bu Maya hingga tidak mampu menolak.

Perjuangan Sartika sebagai ibu tunggal dan konflik batinnya sebagai pelayan pangku adalah tema sentral film ini.

Tentu saja, tema seksualitas dalam film ini membuat Pangku tidak layak ditonton anak-anak. Ini film dewasa.

Namun bukan seksualitas yang membuat Pangku kuat. Pangku tidak mengglorifasi seksualitas sebagai sensasi visual. Kamera lebih sering menyorot ruang-ruang kecil: warung kopi, kamar sempit, jalanan Pantura yang lembab dan berdebu.

Sinematografi Pangku yang menggunakan pendekatan observasional memberi jarak, tetapi justru membuat penonton larut dalam realitas yang tak diucapkan.

Tata artistik Pangku sangat berhasil membangun suasana Pantura yang hidup, lengkap dengan detil masyarakat kelas bawahnya: tembok kusam, gelas kopi yang berubah warna karena terlalu sering dipakai, atau kipas angin yang berdengung, seperti jam dinding rusak.

Semua itu menghadirkan dunia artistik kuat yang menyeret penonton untuk masuk ke dalamnya tanpa perlu dialog.

Keputusan Reza dan Felix untuk menggunakan dialog minimalis berdampak besar pada tone film. Banyak makna disampaikan lewat gerakan kecil: tangan yang ragu menyentuh meja, mata yang menghindar, atau langkah kaki yang pelan.

“Kami tidak ingin menjelaskan sesuatu yang bisa penonton rasakan sendiri,” kata Felix.

Pendekatan ini membuat Pangku terasa seperti film yang “bernapas”. Penonton harus mengisi keheningan itu dengan empati dan tafsir personal. Gaya ini mengingatkan pada film-film Asia yang bermain pada intensitas diam—bukan ledakan emosi.

Dan tentu saja, itu semua sangat ditopang dua tokoh utamanya, yaitu Sartika (Claresta Taufan) dan Bu Maya (Christine Hakim).

Tidak ada yang perlu dikomentari lagi dari akting Christine Hakim. Dia salah satu aktris legendaris Indonesia.

Yang mengagumkan adalah Claresta Taufan, yang cukup berhasil "berbicara" melalu ekspresi tubuh --gerak tangan, tatapan lesu-- karena sedikitnya dialog Sartika.

Dia mampu "berbicara tanpa kata", menyesuaikan gaya fim yang sangat fokus pada ekspresi dan suasana.

Tribut untuk Ibu

Reza -FFI

Reza mengatakan debutnya sebagai sutradara sekaligus penulis cerita bukanlah keputusan mudah.

Dalam sebuah wawancara, dia mengungkapkan keinginan untuk menyutradarai sebenarnya sudah lama disimpan, tapi ia harus menunggu waktu yang tepat. Alasannya keluarga.

Reza menyebut dirinya adalah bagian dari sandwich generation, generasi yang dijepit karena harus memikul tanggung jawab finansial ke atas (orang tua) dan ke bawah (adik).

Baginya, selama adiknya masih menempuh pendidikan dan belum mapan, mimpi-mimpi pribadinya harus "dikalahkan" terlebih dahulu.

“Gue mau make sure dulu, everybody is taken care of, sampai tanggung jawab itu gue bisa penuhi,” kata Reza.

Begitu adiknya sudah mulai bekerja, beban finansialnya berkurang, barulah Reza bisa memberikan ruang bagi dirinya sendiri.

Bersama sahabatnya Arya Ibrahim, dia mendirikan rumah produksi Gambar Gerak dan menjadikan film Pangku sebagai debut penyutradaraannya.

“Bagi saya, ini ground zero. Saya keluar dari zona nyaman yang ada selama ini. Tapi memang hidup semestinya seperti itu, terus bergerak. Hidup saya harus tetap bergerak untuk bisa berkembang dan ini salah satunya,” jelas Reza.

Sekadar catatan, Pangku berasal dari realitas sosial nyata. Warung-warung kopi seperti itu memang dapat ditemukan di Pantura.

Hanya, Reza menggabungkan realitas itu dengan pengalaman pribadinya sebagai anak yang juga dibesarkan oleh ibu tunggal.

Bagaimana seandanya pelayan di warung kopi pangku itu juga seorang ibu tunggal seperti ibunya, Pratiwi Widantini Matulessy, yang seorang diri membesarkan anak? Inilah awal inspirasi film ini.

"Saya dibesarkan oleh seorang ibu tunggal. Saya melihat sendiri perjuangan seorang perempuan yang harus bekerja, mengurus anak, dan tetap berdiri. Buat saya itu inspirasi utama," kata Reza.

Bisa dibilang, ini juga salah satu kompleksitas film ini. Pangku tidak hanya bicara soal pelayan pangku, tapi masuk lebih dalam lagi, yaitu perjuangan seorang ibu tunggal dalam membesarkan anaknya.

Sisi perjuangan Sartika sebagai ibu tunggal inilah, yang demikian keras, yang membuat banyak penonton menangis ketika menyaksikan film ini.

Meski menyinggung seksualitas kopi pangku, Reza tetap di garis bahwa ini adalah film tentang seorang ibu, terutama single mother.

"Sumber inspirasi dari cerita di film Pangku berasal dari ibu saya sebagai seorang single mother dan bagaimana saya tumbuh bersamanya. Itulah awal dari semuanya, dan saya ingin menjadikan film ini sebagai tribut untuk ibu," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance