Jakarta, TheStanceID--Nama Zohran Kwame Mamdani diumumkan sebagai pemenang pemlihan internal (primary) Partai Demokrat untuk kursi wali kota New York 2025, Selasa, 1 Juli 2025 lalu.
Nama yang cukup mengejutkan. Pasalnya Zohran merupakan seorang imigran beragama Islam. Dia hadir sebagai minoritas di tengah New York, menanggung identitas ganda: imigran dan muslim.
Zohran memang belum tentu menjadi wali kota New York--pilkada resmi baru akan berlangsung pada November 2025.
Meski demikian, New York sudah terkenal sebagai kota basis partai Demokrat. Selama 20 tahun, alias empat wali kota New York sebelumnya, selalu berasal dari partai Demokrat--termasuk yang sekarang masih menjabat.
Karena itu meski belum resmi, Zohran yang berusia 33 tahun ini sudah digadang-gadang sebagai calon wali kota New York berikutnya.
Mengapa Zohran Mengejutkan
Terpilihnya Zohran Mamdani merupakan kejutan bagi dunia politik AS.
Ini karena di era Presiden Donald Trump, bandul politik AS sangat bergerak ke kanan, ring wing. Kelompok-kelompok rasis, anti-imigran, anti-Islam, pro-Zionis, makin mendapat tempat.
Bahkan Trump, yang tidak ada urusannya dengan pilkada New York, ikut menyerang Zohran dan menyebutnya sebagai "komunis."
Ini karena Zohran mengusung tema "pemerataan ekonomi" dalam kampanyenya. Dia berjanji akan mengenakan pajak lebih besar kepada warga kaya New York.
Zohran menolak tudingan komunis, tapi dia tidak malu menyebut dirinya "sosialis" karena programnya memang banyak terkait dengan warga kelas 'bawah': para pekerja biasa, pedagang kaki lima di trotoar, dan sedikit berkaitan dengan investor atau para elit di Wall Street --tempat warga kaya New York mangkal.
Melalui akun instagramnya, dia memperkenalkan beberapa gagasannya terkait pembangunan kota New York, antara lain: menggratiskan tarif bus, pajak lebih rendah bagi pedagang kaki lima.
Pada intinya ia ingin mewujudkan New York sebagai kota yang terjangkau bagi semuanya, bukan hanya kota untuk orang kaya saja. “A City We Can Afford”, begitulah tagline kampanyenya.
Respon publik atas terpilihnya Zohran bermacam-macam: kaget, shock, gembira. Di media sosial X misalnya, akun-akun kanan menyerang Zohran dengan narasi seakan-akan warga New York lupa atas kejadian 9/11 dengan memilih sosok wali kota muslim.
Namun zaman telah berubah. Koran New York Times misalnya menulis bagaimana kampanye Zohran tentang "ketimpangan ekonomi" beresonansi kuat terhadap banyak warga New York, terutama kaum mudanya.
Harapan dan Kontroversi yang Menyertai
New York semakin mahal. Biaya hidup di sana makin tak terjangkau. Kota itu seakan hanya menjadi kota milik orang kaya, sedangkan kelas menengah dan bawah terpinggirkan--meski jumlah mereka mayoritas.
Kehadiran Zohran menjadi harapan baru. Dia mendapat dukungan dari lintas-etnis, juga lntas-agama. Meski tidak semua pemillih muslim bisa menerima Zohran.
Selain faktor Syiah yang dia anut, sikapnya yang terbuka pada kaum homoseksual dan lesbian (LGBT), menjadi red line yang tidak bisa diterima sebagian pemilih muslim.
Tuduhan sebagai “pendukung teroris Hamas”, “teroris jihadis”, hingga seruan deportasi dan ramalan akan terulangnya tragedi 9/11, menjadi deretan serangan Islamofobia dari politiisi konservatif AS yang marak di media sosial pasca kemenangan Zohran.
Dilansir dari The Guardian, sejak kemenangan awalnya mulai terlihat, Zohran mendapat ancaman pembunuhan dan retorika xenofobik, yang datang bukan hanya dari aktivis akar rumput, melainkan juga tokoh-tokoh Partai Republik berpengaruh.
Terkoordinasinya serangan ini menunjukkan betapa sentimen anti-Islam terus dimanfaatkan dalam kontestasi politik yang terpolarisasi.
Pihak-pihak yang menarget Zohran kerap mengangkat latar belakangnya sebagai imigran, identitasnya sebagai seorang muslim, serta posisi politiknya yang progresif, untuk menggambarkan kepemimpinannya sebagai ancaman bagi “peradaban Barat”.
Menanggapi berbagai ancaman itu, tim kampanye Zohran akhirnya meningkatkan pengamanan, dan berkoordinasi erat dengan kepolisian New York.
Imigran, Islam dan Sosialis
Zohran Kwame Mamdani lahir di Kampala, Uganda pada 1991. Dia berasal dari keluarga Islam imigran asal India.
Zohran merupakan putra seorang akademisi. Pada usia 7 tahun, dia pindah bersama keluarganya ke New York, menempuh pendidikan di sekolah umum di sana, dan meraih gelar Sarjana Studi Afrika dari Bowdoin College.
Dia baru resmi menjadi warga negara Amerika Serikat pada 2018 dan terjun ke dunia politik sejak 2011, hingga berhasil menjadi anggota majelis rendah (lower house) DPRD negara bagian New York.
Dia tinggal di Queens, area di New York yang terkenal sebagai basis kaum imigran, terutama warga kulit hitam.
Sebelum terjun ke politik, Zohran bekerja sebagai konselor pencegahan penyitaan rumah. Pekerjaan ini membuatnya sering bertemu para pemilik rumah berpenghasilan rendah, khususnya warga kulit hitam di Queens, yang akan digusur.
Pengalaman inilah yang mendorongnya maju ke gelanggang politik. Dia kemudian bergabung dengan Partai Demokrat dan organisasi Democratic Socialist of America.
Pandangan-pandangan sosialisnya tercermin dalam berbagai program yang ia wacanakan. Misalnya mendukung sistem penitipan anak pra-sekolah universal (universal pre-kindergarten) yang dapat diakses semua warga.
Dia mengusulkan setiap keluarga baru di New York diberi “keranjang bayi” berisi berbagai kebutuhan seperti popok dan perlengkapan menyusui.
Dia juga mendorong pembatasan kenaikan biaya sewa apartemen, memperkuat perlindungan bagi penyewa, serta membentuk Badan Pengembangan Perumahan Sosial untuk membangun rumah dengan harga terjangkau
Selain menargetkan membangun 200.000 unit rumah baru yang sewanya terjangkau dalam 10 tahun ke depan, dia juga ingin menggandakan anggaran untuk renovasi rumah bagi 400.000 penyewa perumahan umum di kota tersebut.
Zaman yang Berubah
Terpilihnya Zohran Mamdani pada akhirnya bukan hanya kemenangan seorang kandidat dalam kontestasi politik lokal, melainkan juga sinyal zaman yang berubah.
New York misalnya sudah lama dikenal sebagai salah satu pusat keuangan dunia. Di sanalah para miliader AS banyak tinggal. Kota itu juga dikenal sebagai basis zionisme. Berbagai insitusi keuangan di New York memiliki keterkaitan dengan zionis Israel.
Ini juga basis lawan utama Zohran di primary Partai Demokrat, yaitu Andrew W. Cuomo, gubernur negara bagian New York pada 2011 yang memutuskan "turun kelas" dan bertarung di pemilihan wali kota.
Salah satu isu kampanye Cuomo adalah penegakan hukum yang lebih keras terhadap anti-semitisme, yaitu segala hal yang dianggap menghina atau menyerang Yahudi.
Di kota yang terkenal sebagai salah satu pusat keuangan dunia, basis pro-Israel, mungkinkah kandidat muslim dengan platform kampanye "ekonomi kerakyatan" bisa menang?
Dulu para analis politik akan menertawakan gagasan itu. Mustahil. Tapi Zohran kemudian muncul, membuat dunia politik Amerika tersentak. Kota New York, sepertinya, mulai berubah.
Dalam banyak hal, figur Zohran sekaligus menjadi cermin bagi wajah Amerika hari ini — kompleks, beragam, dan terus berproses mencari keadilan sosial.
Pertarungan memang belum berakhir. Meski kalah di primary Partai Demokrat, Cuomo memutuskan akan tetap maju di pilkada New York dari jalur non-partai (independen).
Baca Juga: Republik Lagi, Demokrat Lagi: Mana 8 Partai Alternatif di Amerika?
Dukungan dana Cuomo yang lebih besar, dan selisih kekalahannya yang relatif tipis (hanya 12 poin), membuat ia tetap jadi lawan tangguh.
Tidak semua basis massa Demokrat mendukung Zohran. Banyak yang masih memilih Cuomo. Para pemilih tradisional Demokrat ini belum bisa menerima Zohran yang dianggap sebagai simbol perubahan yang terlalu 'drastis'.
Karena itu dunia politik Amerika pun terus mengawasi pilkada New York yang akan berlangsung pada November 2025 nanti. Apakah kota New York sudah makin berubah hingga sosok seperti Zohran bisa menang?
Ada banyak spekulasi. Namun, setidaknya untuk saat ini New York memberi pesan kepada dunia bahwa perubahan bukan hal mustahil. Zaman bisa berubah. (mfp)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.