Jakarta, TheStance Influencer ikut turun gunung menggaungkan aspirasi berbalut “17+8 Tuntutan Rakyat”, “Brave Pink”, dan “Hero Green” pasca demo besar akhir Agustus. Dengan deadline 5 September, hanya beberapa saja yang diakomodir.

Deadline dari 17+8 Tuntutan Rakyar terbagi dua yaitu pada 5 September 2025 dan 31 Agustus 2026. Menurut pantauan TheStance, istilah 17+8 Tuntutan Rakyat dijabarkan dalam judul khusus pada Wikipedia yang baru saja diunggah.

Bahkan, istilah tersebut juga memiliki website khusus: https://rakyatmenuntut.net/, berisikan daftar 25 tuntutan dengan status: 'belum', 'proses', dan 'beres.'

Sejauh ini yang baru terealisasi hanya tiga poin saja, yaitu tuntutan kepada DPR untuk membekukan rencana kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan membatalkan fasilitas baru (termasuk pensiun).

Selain itu juga poin terkait publikasi transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR), hingga mendorong Badan Kehormatan DPR memeriksa anggota yang bermasalah, termasuk mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa.

DPR secara resmi memutuskan menghentikan pembayaran tunjangan perumahan bulanan melalui kesepakatan antara pimpinan dan fraksi. Tunjangan yang nilainya mencapai Rp50 juta per bulan itu dicabut sejak 31 Agustus 2025 setelah dikritik keras.

Kesepakatan tersebut setidaknya memberikan harapan bahwa darurat militer tidak jadi diberlakukan, sekaligus menghentikan spekulasi Gibran Rakabuming Raka bakal menjadi presiden.

Enam Kesepakatan DPR

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers di Jakarta menegaskan kebijakan ini merupakan jawaban atas desakan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang disuarakan berbagai kelompok masyarakat.

Gelombang aksi protes di sejumlah daerah yang masih terjadi pekan lalu ikut memperkuat tekanan terhadap DPR. Demonstran menyoroti fasilitas berlebih yang dinilai tidak sensitif dengan kondisi ekonomi masyarakat.

“Untuk poin pertama, DPR sepakat menghentikan tunjangan perumahan bagi anggota dewan terhitung sejak 31 Agustus 2025,” ujar Dasco.

Berdasarkan keputusan rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan para fraksi pada 4 September, ada enam poin yang disepakati. Pertama, menghentikan pemberian tunjangan perumahan anggota DPR terhitung sejak 31 Agustus 2025.

Kedua, moratorium kunjungan kerja luar negeri DPR terhitung per 1 September 2025, kecuali menghadiri undangan kenegaraan. Ketiga, anggota DPR yang telah dinonaktifkan oleh Partai Politiknya tidak dibayarkan hak-hak keuangannya.

Keempat, memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR, setelah evaluasi meliputi biaya langganan (a) daya listrik dan (b) jasa telepon; Biaya komunikasi intensif, dan Biaya tunjangan transportasi.

Kelima, menindaklanjuti penonaktifan beberapa anggota DPR oleh Partai Politik melalui Mahkamah Partai Politik (MPP) masing-masing dengan meminta Mahkamah Kehormatan DPR berkoordinasi dengan MPP masing masing.

Terakhir, memperkuat transparansi dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi dan kebijakan lainnya.

Belum Memenuhi Ekspektasi

Ferry IrwandiFounder Malaka Project, Ferry Irwandi menilai respons DPR belum memuaskan keinginan atas 17+8 Tuntutan Rakyat karena tak menyinggung soal pembentukan tim investigasi independen dan pembebasan demonstran yang ditangkap.

Selain itu tuntutan khusus yang disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto yaitu menarik TNI dari pengamanan sipil, memastikan tak ada kriminalisasi demonstran, dan pembentukan Tim Investigasi Independen juga belum dipenuhi.

Tim investigasi independen diharapkan mengungkap kasus Affan Kurniawan, Umar Amarudin, dan semua korban kekerasan aparat selama demonstrasi 28-30 Agustus.

“Penarikan TNI dari pengamanan sipil, reform institusi polri dan beberapa poin lain. Kita tunggu tanggapan lanjutan dari semua institusi terkait. Mari kita pantau dan kawal bersama,” tuturnya.

Selain itu tiga tuntutan kepada Ketua Umum partai politik juga belum ditanggapi jelas, yaitu:

  1. Pecat atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik

  2. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis

  3. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat sipil.

Tiga tuntutan lain diajukan kepada Kepolisian Republik Indonesia yakni: pembebasan seluruh demonstran yang ditahan, penghentian kekerasan polisi dan taati standard operating procedure (SOP) pengendalian massa, dan proses hukum secara transparan anggota dan komandan yang melakukan dan memerintahkan tindakan kekerasan dan melanggar HAM.

Kepada TNI, ada tiga tuntutan meliputi: kembali ke barak, penghentian keterlibatan dalam pengamanan sipil, penegakan disiplin internal agar anggota TNI tak mengambil alih fungsi Polri, dan komitmen TNI untuk tak memasuki ruang sipil saat krisis politik.

Merembet ke Isu Sosial Perekonomian

Kolase influencerSeiring dengan aksi demonstran di lapangan, sejumlah influencer menyerukan tuntutan kepada pemerintah. Mereka di antaranya adalah Jerome Polin, Andovi da Lopez, JS Khairen, Cania Citta, Fathia Izzati, dan Abigail Limuria.

Mereka mengajukan tuntutan kepada kementerian sektor ekonomi dengan tiga tuntutan terkait kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan, yakni penyiapan langkah darurat pencegahan PHK massal dan perlindungan buruh kontrak.

Lalu, penetapan upah layak bagi seluruh angkatan kerja (termasuk namun tak terbatas pada guru, buruh, tenaga kesehatan, dan mitra ojol) di seluruh Indonesia, dan membuka dialog dengan serikat buruh untuk solusi upah minimum dan outsourcing.

Selain itu ada 8 tuntutan lain dengan tenggat waktu hingga 31 Agustus 2026, mulai dari reformasi DPR, reformasi parpol, penguatan pengawasan eksekutif, reformasi perpajakan yang lebih adil, dan pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor.

Demikian juga dengan reformasi kepemimpinan dan sistem Kepolisian agar profesional dan humanis, penguatan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan penguatan lembaga pengawas independen.

Para penggiat medsos tersebut membagikan poster berisi daftar aspirasi tersebut di berbagai platform digital. Unggahan mereka mendapat perhatian luas dan menuai respons beragam dari publik.

Substansi 17+8 Tuntutan Rakyat tersebut merupakan rangkuman aspirasi yang telah disuarakan oleh 211 organisasi masyarakat sipil melalui Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan didukung Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Belum Sentuh Pengawasan Politik Anggaran

Syafruddin KarimiGuru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai gerakan 17+8 yang menuntut respons tegas, terukur, dan berbatas waktu itu perlu memasukkan aspek pengawasan anggaran yang dievaluasi tiga bulanan.

Beberapa di antaranya mencakup revisi Daftar Isian Pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk menutup celah belanja, kewajiban dasbor anggaran untuk menampilkan transaksi serta kuitansi digital, hingga publikasi audit independen dan tindak lanjutnya.

Ia juga menekankan pentingnya pemberlakuan sanksi dan mekanisme clawback bagi pelanggaran, dengan hasil penghematan yang dialihkan langsung ke program ber-multiplier tinggi dan output terukur.

“Progres mingguan harus dikomunikasikan lewat satu juru bicara, sementara tiga indikator pasar rupiah, imbal hasil SUN, dan arus modal asing dapat menjadi termometer keberhasilan. Publik bisa melihat hasil nyata, sekaligus pasar membaca sinyal tata kelola yang membaik,” ujar Syafruddin melalui keterangan resmi.

Lebih jauh, ia menilai gerakan 17+8 pada dasarnya mencerminkan tiga pesan utama dari rakyat. Pertama, transparansi dan reformasi politik, di mana lembaga legislatif dan partai perlu dibersihkan serta dikembalikan pada fungsi representatif.

Kedua, keadilan ekonomi yakni perlindungan pekerja, kebijakan upah yang lebih adil, dan penegakan sistem perpajakan yang berkeadilan.

Ketiga, hak asasi dan demokrasi, yang menuntut penghentian kekerasan aparat, penghormatan kebebasan sipil, serta penguatan lembaga HAM.

Demo Bisa Saja Dihindari

Kamil Pasha

Pengamat hukum Kamil Pasha menilai pemerintah seharusnya sudah menangkap persoalan yang dihadapi rakyat tanpa harus menunggu penyampaian aspirasi lewat aksi unjuk rasa.

Menurut dia, isu mendasar yang kini dirasakan masyarakat adalah menurunnya ekonomi, tingginya harga kebutuhan hidup, sulitnya lapangan pekerjaan, tekanan pajak, hingga jurang disparitas kesejahteraan antara pejabat dengan rakyat kecil.

“Ditambah lagi, beratnya akses mencari keadilan dari meja penegak hukum dan ruang pengadilan, serta kondisi legislatif yang nyaris satu suara tanpa ada oposisi, membuat masyarakat kehilangan saluran yang bisa mengawal aspirasi mereka,” ujarnya kepada TheStance.

Kamil mengingatkan pemerintah agar tidak gagal paham dengan sekadar berkilah bahwa aksi massa ditunggangi pihak tertentu. “Tidak akan ada aksi massa yang bisa ditunggangi kalau pemerintah, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, peka dan cekatan mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat.”

Ia mengutip Tan Malaka yang menyebut bahwa aksi massa tidak lahir dari fantasi kosong seorang tukang makar (putch) atau tindakan berani seorang pahlawan, melainkan dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.

Kamil menegaskan ada aspek fundamental yang lebih prioritas untuk diubah yakni memperketat seleksi anggota DPR melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia menekankan, calon legislatif idealnya haruslah kader partai yang telah menempuh jenjang kaderisasi atau berpengalaman di level pemerintahan tertentu.

“Misalnya, untuk menjadi caleg DPRD Provinsi, sebelumnya harus pernah menjabat sebagai anggota DPRD kabupaten/kota. Begitu pula untuk menjadi caleg DPR RI, sebaiknya sudah memiliki pengalaman sebagai anggota DPRD Provinsi,” jelasnya.

Baca Juga: Doa Upin-Ipin dan Fenomena SEAblings dalam Solidaritas Demo Indonesia

Aturan berjenjang ini, lanjut dia, penting untuk meminimalisasi munculnya “anak kemarin sore” yang tanpa pengalaman bisa melompat langsung ke kursi legislatif pusat hanya karena memiliki sumber daya besar atau latar belakang keluarga tertentu.

Selain pengalaman, syarat pencalonan anggota legislatif juga harus diperketat dari sisi pendidikan dengan syarat minimal berpendidikan strata satu (S1).

“Dengan demikian, mereka mampu mendukung DPR dalam menjalankan tiga fungsi utama: legislasi atau pembuatan undang-undang, fungsi pengawasan, serta fungsi budgeting yang menuntut pemahaman mendalam atas prioritas kepentingan negara dan rakyat,” tegasnya.

Aksi massa yang berujung “17+8 Tuntutan” menguak realita bahwa akar persoalan bangsa ini bukan hanya soal tunjangan anggota DPR, melainkan kesulitan hidup masyarakat di tengah kebijakan ekonomi yang semakin tidak pro-rakyat.

Seruan reformasi kelembagaan (TNI, Polri, DPR) menunjukkan bahwa pengelola negara semakin dinilai tidak relevan dengan kepentingan publik, sehingga perlu perubahan baik dari aspek penyaringan personalia hingga transparansi dan pengawasan.

Aspirasi publik sudah jelas: mereka menuntut perbaikan menyeluruh, bukan kosmetik politik yang meninabobokan. Sejauh ini, pemerintah dan DPR masih belum merespons penuh tuntutan tersebut.

Kira-kira apa yang ditunggu? (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.