Jakarta, TheStanceID – Angka kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mengonfirmasi pernyataan Presiden Prabowo Subianto sebelumnya saat Penutupan Kongres PSI 2025 di Solo, Minggu (20/7/2025).
"Kepala BPS lapor ke saya angka pengangguran menurun, angka kemiskinan absolut menurun. Ini BPS yang bicara," ucap Prabowo saat itu.
Sebagai catatan, BPS sempat menunda pengumuman angka kemiskinan. Pengumuman data ini sempat dijadwalkan pada Selasa (15/7/2027), tetapi ditunda menjadi hari Jumat (25/7/2025).
BPS beralasan penundaan dilakukan guna memastikan ketepatan dan kualitas data.
23,85 juta orang Indonesia Masuk Kategori Miskin
Dalam rilisnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap angka kemiskinan Indonesia turun menjadi 23,85 juta orang per Maret 2025 atau mengalami penurunan 0,2% jika dibandingkan dengan September 2024.
Berdasarkan besaran garis kemiskinan perhitungan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Maret 2025, garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau sekira Rp20.305 per hari.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menyebut penurunan angka kemiskinan mencapai 210 ribu orang. Pada September 2024, jumlah orang miskin di Indonesia 24,06 juta orang atau 8,57% dari total penduduk.
Saat ini penduduk miskin setara 8,47 % dari total populasi Indonesia. Persentase itu turun 0,1 % dibandingkan September lalu. Angka ini dikatakan terendah selama dua dekade terakhir.
"Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,85 juta orang atau turun 0,2 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2024. Nah dari persentasenya, penduduk miskin terhadap total populasi atau total penduduknya pada Maret 2025 mencapai 8,47%," kata Ateng dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Jumlah Warga Miskin Perkotaan Naik
Meski secara keseluruhan jumlah penduduk miskin menurun, BPS menyebut ada kenaikan angka kemiskinan di wilayah perkotaan.
Hasil survei pada September 2024 menunjukkan persentase jumlah penduduk miskin di pedesaan sebesar 11,34%. Pada Maret 2025, turun menjadi 11,03%.
Sedangkan di perkotaan, jumlah penduduk miskin pada September 2024 berada di angka 6,66%, tetapi kini berada di level 6,73. Artinya ada kenaikan sekitar 0,07%.
Dibanding September 2024, jumlah penduduk miskin Maret 2025 perkotaan meningkat sebanyak 220 ribu orang, dari 11,05 juta orang pada September 2024 menjadi 11,27 juta orang pada Maret 2025.
Ateng mengungkapkan kenaikan angka kemiskinan di perkotaan dipengaruhi oleh jumlah pengangguran yang meningkat dan kenaikan harga pangan yang mempengaruhi daya beli.
Menurut Satudata Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat ada 42.385 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), melonjak 32,19% dibanding periode yang sama 2024 yang sebanyak 32.064 orang.
Jawa Tengah menjadi provinsi dengan PHK tertinggi sepanjang semester pertama mencapai 10.995 orang.Jawa Barat mengekor dengan 9.494 orang, disusul Banten (4.267 orang) dan DKI Jakarta (2.821 orang).
Baca Juga: Bank Dunia: 60 Persen Penduduk Indonesia Miskin
Penurunan angka kemiskinan di desa disebabkan desa seringkali punya akses ke pangan dan produksi lokal yang dapat mengamankan konsumsi minimumnya meskipun ada kenaikan harga pangan nasional.
Ditambah lagi, Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami peningkatan. NTP biasa digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani.
Satu hal lagi yang membuat angka kemiskinan di pedesaan menurun, kata Ateng, adalah peningkatan tenaga kerja di sektor perdagangan dan pertanian.
"Dalam rentang waktu Februari 2024–Februari 2025, tenaga kerja di sektor perdagangan naik sebanyak 900.000 orang dan sektor pertanian naik 890.000 orang," jelas Ateng.
Kurang Mencerminkan Kondisi Realita Saat Ini
Menanggapi laporan BPS ini, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, angka kemiskinan yang dirilis BPS tidak valid, sehingga kurang merepresentasikan kondisi realita saat ini.
Pasalnya, BPS menghitung tingkat kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran. Sementara, penentuan garis kemiskinan masih menggunakan purchasing power parities (PPP) 2017 yang merupakan standar lama.
"Masalah utamanya metodologi garis kemiskinan BPS tidak valid sehingga tidak bisa mencerminkan kondisi pelemahan daya beli masyarakat khususnya penurunan tajam kelompok menengah menjadi orang miskin baru," kata Bhima dalam keterangan yang diterima TheStanceID, Senin (28/7/2025).
Untuk itu, Bhima menilai BPS perlu merevisi standar garis kemiskinan penduduk di Indonesia dan menggunakan standar garis kemiskinan terbaru yang sudah diadopsi oleh Bank Dunia atau World Bank, yakni PPP 2021.
Berdasarkan PPP 2017, garis kemiskinan penduduk adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita di bawah US$2,15 per hari atau Rp20.305 per hari, sekitar Rp 629.000 per bulan.
Sedangkan, berdasarkan PPP 2021, garis kemiskinan ekstrem berada di level US$3 per kapita per hari atau sekitar Rp49.079 per hari atau Rp 1.472.370 per bulan.
Menurut Bhima, selama BPS tidak melakukan pembaharuan standar angka kemiskinan, maka pemerintah Indonesia akan kesulitan untuk melakukan evaluasi program yang dilakukan.
"(Dampaknya) sangat banyak orang yang harusnya masuk kategori miskin tidak mendapat bantuan pemerintah," ujarnya.
Bansos Bantu Penurunan Jumlah Warga Miskin
Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah membantu penurunan jumlah penduduk miskin.
Meski begitu, ia menilai, cara itu bukanlah strategi pengentasan kemiskinan yang cukup baik karena hanya akan membuat "ketergantungan".
"Yang dibutuhkan untuk pengentasan kemiskinan yang sebenarnya itu adalah dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang miskin, yang bisa mengangkat pendapatan mereka dan mengangkat mereka dari kemiskinan secara permanen atau secara berkelanjutan," ujar Faisal, Senin (28/7/2025).
"Bukan mengandalkan pada program-program bansos, walaupun program-program bansos yang sudah digelontorkan itu secara statistik bisa mengurangi orang miskin," tambah Faisal.
Selain itu, menurut Faisal, data angka kemiskinan yang menurun juga dinilai " masih wajar" karena survei dilakukan BPS pada bulan Februari 2025, dimana pelambatan ekonomi belum sedalam saat ini.
Apalagi, saat itu pemerintah memberikan diskon tarif listrik dan berbagai bantuan pemerintah lain, sehingga daya beli masyarakat miskin sedikit tertahan dari perlambatan. Sementara di kelas rentan miskin dan menengah yang tidak mendapatkan bantuan atau subsidi apapun dari pemerintah, daya beli sudah semakin menurun.
"Itu terkonfirmasi dari data kemiskinan di perkotaan yang mengalami kenaikan," ungkap Faisal.
Padahal, menurut Faisal, kelompok-kelompok di kelas rentan miskin dan menengah ini juga harus diperhatikan karena kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi sangat besar, yakni 84% dari total konsumsi.
Pelemahan daya beli ini disebut pada akhirnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Terbukti, faktanya pada Triwulan I, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pertumbuhan ekonomi diprediksi tumbuh di bawah 5%. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.