Jakarta, TheStanceID – Pemerintah memangkas dana alokasi dana Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp269 triliun pada tahun 2026.

Ini tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

Di situ, dana TKD dianggarkan hanya Rp650 triliun, atau turun 24,8% dari sebelumnya yang sebesar Rp919 triliun.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, membenarkan penurunan TKD tersebut, tapi ia menambahkan belanja pusat untuk program di daerah justru meningkat.

“Kalau TKD turun, kenaikan belanja pemerintah pusat di daerah naiknya jauh lebih besar,” katanya dalam Konferensi Pers RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025).

Sri mengeklaim sebesar Rp1.376,9 belanja pusat akan langsung dinikmati oleh daerah lewat berbagai program prioritas.

“Presiden tadi di dalam pidatonya juga menyampaikan belanja pusat dan daerah harus menjadi satu arah. Itu Rp1.376,9 triliun sendiri. Ini artinya walaupun pusat yang belanja, yang menikmati adalah rakyat di daerah,” katanya.

Kepala Daerah Keberatan Pemangkasan TKD

Bursah Zarnubi

Ketua Umum Aso­­siasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Bursah Zarnubi, sebelumnya menyatakan pemangkas­an TKD ini membuat resah kepala daerah se-Indonesia.

Pasalnya, kebijakan efisiensi Prabowo yang diuncurkan awal tahun ini sudah cukup merepotkan kepala daerah. Apalagi ditambah pemangkasan TKD.

"Kami di da­e­rah sangat keberatan jika ada pemotongan anggaran TKD di APBN tahun depan," kata Bursah, Minggu (10/8/2025).

Menurut Bupati Lahat Sumatera Selatan ini, beban fiskal di da­erah saat ini sudah berat. Pemangkas­an anggaran TKD akan memberikan dampak signifikan pada berbagai aspek pembangunan dan pelayanan pu­blik di daerah.

"Dampak terhadap pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan, sekolah, puskesmas, penyediaan air ber­sih dan jaringan irigasi, akan serius," katanya.

Bursah menilai kemampu­an daerah menyediakan la­ya­n­an publik akan menurun sei­ring berkurangnya alokasi ang­garan.

DPR Soroti Penurunan TKD

Penurunan TKD di RAPBN 2026 juga mendapat perhatian anggota parlemen di senayan.

Anggota Komisi II DPR, Deddy Sitorus, mengatakan kebijakan efisiensi ini akan membuat daerah berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka.

"Dengan cara apa? Dengan cara paling gampang yang enggak perlu orang pintar, [yaitu] menaikkan pajak. Nah saya kira itu yang akan menimbulkan persoalan di daerah," katanya di Kompleks Parlemen, Jakart, Rabu (20/8/2025).

"Persoalan di Pati kan bukan hanya Pati. Banyak daerah lain mencoba meninkatkan PAD-nya dengan menaikkan pajak," tambahnya.

Tapi kasus Pati sudah memberikan pelajaran bahwa rakyat akan melawan ketika pajak dinaikkan seenaknya.

Karena itu, kata Deddy. mau tidak mau pemerintah daerah harus berinovasi, atau berhemat. ""Belanja yang tidak berkaitan dengan urusan publik harus dipangkas," kata dia.

Pajak dan Retribusi Berisiko Naik

Armadn Suparman

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengatakan pemangkasan TKD sudah pasti akan berdampak terhadap ketahanan fiskal daerah. Sebab dalam catatan KPPOD, sekitar 70-80% daerah masih mengandalkan TKD

"Bahkan ada daerah yang 80-90% APBD-nya mengandalkan TKD," kata Herman dalam keterangannya, Selasa (19/8/2025).

Makin menjadi beban ketika Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik juga dipangkas. Transferan dari pusat ini kerap kali menjadi sumber pembiayaan pembangunan infrastruktur di daerah.

"Kami lihat DAK fisik sangat menjadi andalan pemerintah daerah untuk belanja modal. Sehingga ketika DAK fisik itu dipotong setengahnya, itu sangat berdampak pada pembangunan infrastruktur di daerah," katanya.

Herman menjelaskan dampak pemangkasan anggaran sebetulnya sudah terlihat pada 6 bulan terakhir. Banyak pemerintah daerah kesulitan mengalokasikan duit untuk belanja modal dan barang.

Akibatnya, kepala daerah mengambil opsi menaikkan pajak rakyat, yakni Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), seperti yang terjadi di Pati , Cirebon, dan Semarang. Ini menjadi cara mudah untuk meraup uang tambahan.

"Tentu mulai dari sekarang mereka mulai memutar otak, bagaimana bisa mendapatkan PAD, terutama dari pajak dan retribusi daerah," kata Arman.

Dia memperkirakan, kenaikan pajak dan retribusi akan menjadi opsi utama pemerintah daerah pada tahun depan.

Namun, Arman mengingatkan, kebijakan itu bisa memicu protes dan demo seperti di Pati, jika tidak melibatkan publik.

"Demonstrasi adalah reaksi publik terhadap kebijakan. Untuk mengantisipasi itu, kepala daerah harus betul-betul menerapkan tahapan paling prinsip dalam perencanaan, yaitu partisipasi publik," jelasnya.

104 Daerah Naikkan PBB, Mendagri Minta Evaluasi

Tito Karnavian

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, membantah .jika kenaikan PBB di daerah merupakan dampak efisiensi anggaran pemerintah pusat.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, tercatat 104 daerah menaikkan PBB P2, dengan 20 daerah di antaranya menaikkan hingga di atas 100%.

"Kami sudah melihat daerah-daerah ini, ada yang memang menaikkan, tapi bervariasi. Aada yang 5%, ada yang 10%, ada yang di atas 100%, itu 20 daerah," kata Tito, Jumat (15/8/2025).

Mendagri pun telah menerbitkan surat edaran yang berisi imbauan kepada seluruh pemerintah daerah (pemda) untuk mengevaluasi kembali kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2).

Surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai buntut unjuk rasa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, untuk menolak kenaikan PBB sebesar 250% oleh Bupati Pati Sudewo.

Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, mengatakan imbauan tersebut dikeluarkan untuk mengingatkan pemerintah daerah agar membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat.

"Kami yakin ada proses evaluasi menyeluruh agar pemerintah daerah itu betul-betul tidak mengeluarkan kebijakan yang bisa memberatkan rakyat dan kemudian juga menghitung kembali potensi-potensi pendapatan fiskalnya," ujarnya.

Alternatif Pendapatan Daerah

Rupiah

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Jaya Dermawan, menilai langkah menaikkan PBB menunjukkan transfer dari pusat masih menjadi andalan bagi daerah.

"Desentralisasi fiskal kita masih jalan di tempat. Banyak pemda belum kreatif mengoptimalkan PAD. Birokrat kita juga tidak kreatif, tidak inovatif, dan cenderung menormalisasi pendekatan fiskal yang tidak berkeadilan," katanya.

Dia memperkirakan tahun depan daerah-daerah akan mencari sumber pendapatan lain untuk menutup pemotongan transfer dari pusat.

Menurut Jaya, ketimbang menaikkan PBB, sebagai alternatif, Celios mendorong penerapan pajak yang lebih adil, seperti pajak rumah ketiga, pajak kekayaan, pajak karbon, dan cukai progresif.

Dia mencontohkan, pajak rumah ketiga bisa diberlakukan untuk kepemilikan spekulatif.

Yaitu mereka yang membeli rumah tidak untuk ditempati, tapi sebagai investasi. Biasanya setelah beberapa tahun, rumah itu dijual demi profit. Bila kepemilikan rumah ketiga ini dipajaki, ada potensi penerimaan hingga Rp4,7 triliun secara nasional.

"Pajak ini bisa didaerahkan hingga langsung menambah PAD tanpa menimbulkan protes. Dan nebannya tidak ke masyarakat menengah bawah, tapi ke kelompok super kaya," kata Jaya.

Celios dalam kajiannya juga telah menghitung 10 instrumen pajak baru yang menarget orang kaya, dengan potensi penerimaan mencapai Rp524 triliun per tahun.

Tambahan penerimaan ini bisa memperbesar alokasi transfer ke daerah, sehingga mengurangi tekanan pemda menaikkan pajak yang tidak berkeadilan.

"Ini sebenarnya bisa jadi solusi, dan solusi ini lebih berkelanjutan dan lebih adil. Akan diterima oleh masyaraka," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.