Jakarta, TheStance – Pelantikan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati--yang disebut agen CIA--dinilai menandakan perubahan poros kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto.

Tudingan Sri Mulyani merupakan representasi kepentingan Negara Barat bukanlah yang pertama, terutama mengingat kiprah dan kedekatan dia dengan Amerika Serikat (AS) seperti diulas di artikel sebelumnya.

Namun ketika ungkapan itu muncul dari mulut anak lelaki Purbaya sebagai menteri baru, publik tidak hanya tertawa tapi juga teringat pada reputasi kepemimpinan Sri Mulyani yang selain sarat integritas juga "berkelas dunia."

Sang anak, yakni Yudo Achilles Sadewa melalui akun Instagramnya @yvdas4dewa, mengaku sangat bersyukur sang ayah menjadi menteri, terutama karena mengganti Sri Mulyani yang disebutnya sebagai agen CIA.

“Alhamdulillah ayah jadi menteri. Alhamdulillah, ayahku melengserkan agen CIA Amerika yang menyamar jadi menteri,” tuturnya.

Yudho merupakan anak pertama Purbaya kelahiran tahun 2006 atau kini berusia 19 tahun. Alumni SMA Al-Azhar Pondok Labu, Jakarta Selatan yang lulus pada tahun 2023 ini tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

Purbaya menegaskan bahwa postingan yang diunggah anaknya tersebut, menandakan kondisi anaknya yang masih remaja sehingga tidak mengerti dampak apa yang terjadi di media sosial.

“Dia enggak ngerti, masih kecil dan sudah tidak main instagram lagi. Anak kecil yang tidak tahu apa-apa,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Menjadi Sorotan Publik

Menteri Keuangan

Purbaya juga menyebut bahwa diri sudah memberitahukan kepada sang anak untuk menghapus postingan tersebut. “Sudah, sudah (diberitahu). Kan sudah take down di Instagram juga,” sambung dia.

Purbaya juga mengaku tidak menyangka bahwa setiap pernyataannya begitu mendapat banyak reaksi dari publik. Cara komunikasinya tersebut dikatakannya memang sudah terbiasa seloroh di tempat sebelumnya.

“Dan kita juga enggak biasa juga kan, biasanya santai-santai, rupanya tiba-tiba dilihatin semuanya setiap gerakan. Baru tahu saya,” ujar dia.

Terkait dengan gebrakannya, Purbaya menyebut bahwa salah satu strategi yang menjadi senjatanya adalah optimalisasi pengelolaan anggaran, terlebih ia melihat masih adanya kesempatan perbaikan dalam menggunakan dana negara.

“Kalau saya lihat masih ada pengelolaan uang yang masih belum optimal, itu yang akan diperbaiki,” sambungnya.

Menegaskan sikapnya yang pro-supply side (mendorong sektor riil) dengan kucuran kredit Rp200 triliun ke perbankan, Purbaya berjanji penyerapan anggaran tidak akan mengganggu stabilitas sistem perbankan nasional.

Ia mengaitkannya dengan pengalaman menghadapi berbagai krisis ekonomi di masa lalu mulai dari 2008, 2009, 2015, 2020, hingga 2021 sebagai upaya menenangkan kekhawatiran masyarakat.

Hal ini membedakan profil kepemimpinannya dengan Sri Mulyani yang lebih fokus menjaga demand-side dengan memberi bantuan ke masyarakat.

Ratunya Stabilitas Ekonomi

Ilustrasi Kemiskinan

Gelontoran stimulus untuk memperkuat demand side membuat angka kemiskinan menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional pada Maret 2005, sebelum Sri Mulyani menjabat, mencapai 15,97%.

Angka ini menurun menjadi 13,33% pada 2010, dan terbaru pada Maret 2025 menunjukkan tingkat kemiskinan berada di level 8,47%, atau setara dengan 23,85 juta jiwa.

Dengan kebijakan hati-hati, Sri Mulyani dinilai berhasil menjaga stabilitas makroekonomi di tengah berbagai guncangan global, seperti krisis keuangan 2008 dan pandemi Covid-19 dengan defisit anggaran yang turun ke bawah 3% dalam 2 tahun.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif terjaga didorong dari fokus program pemerintah pada pembangunan infrastruktur dan human capital,” klaim Sri Mulyani dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024, Selasa (8/10/2024).

Ketika pertama kali Sri Mulyani dilantik menjadi Menkeu pada Desember 2005, rupiah menguat di Rp9.800 per dolar AS. Ketika ia mundur pada Mei 2010, rupiah juga menguat ke Rp9.100 per dolar AS karena pasar tahu dia akan berlabuh di Bank Dunia.

Ketika ia kembali menjabat pada Juli 2016, rupiah sudah melemah ke kisaran Rp13.100 per dolar AS terutama karena faktor eksternal, seperti normalisasi kebijakan moneter AS.

Namun pelemahan itu terus berlangsung selama kepimpinannya hingga hari terakhir dia menjabat pada Senin (8/9/2025), alias sehari sebelum di-reshuffle ketika mata uang Garuda sudah di level Rp16.424 per dolar AS.

Taji Sri Mulyani tak lagi kuat.

Lonjakan Utang dan Rasio PDB

penagih utang

Kepemimpinan Sri Mulyani juga diwarnai kritikan terutama dengan pilihan konvensional dan tak kreatif dalam mencari pembiayaan, yakni dengan menggali utang sedalam-dalamnya.

Pada akhir 2004, sebelum ia menjabat, total utang pemerintah pusat tercatat Rp1.299,5 triliun. Enam tahun berselang, ketika ia mengakhiri periode pertamanya pada 2010, utang meningkat menjadi Rp1.676 triliun.

Data terbaru per November 2024 menunjukkan lonjakan signifikan, dengan utang pemerintah mencapai Rp8.680,13 triliun. Dengan demikian, selama dua periode yang mencakup 2004–2024, total kenaikan utang mencapai sekitar Rp7.380,63 triliun.

Meski nominal utang meningkat tajam, rasio utang tersebut terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif terkendali karena nilai ekonomi Indonesia juga meningkat. Pada 2005 rasio utang berada di 47%, lalu turun drastis menjadi 26% pada 2010.

Saat Sri Mulyani kembali menjabat pada 2016, rasio berada di 28,3%, sebelum naik ke 39,2% (2024) dipicu belanja besar-besaran untuk kesehatan dan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.

Kendati demikian, rasio tersebut masih berada di bawah batas yang digariskan undang-undang, yakni sebesar 60% dari PDB sehingga peringkat kredit (Sovereign Credit Rating) Indonesia masih Layak Investasi (Investment Grade).

Peringkat itu diberikan oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional seperti Standard and Poor’s (S&P), Moody's, dan Fitch yang pada akhirnya "membantu" menekan biaya utang (cost of borrowing) di pasar global.

“Pemerintah mengelola utang secara hati-hati serta akuntabel dengan pemilihan tingkat risiko portofolio yang cermat untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat,” ujar Sri Mulyani, Kamis (1/8/2024).

Jejak Reformasi Sri Mulyani

Menteri Keuangan

Sri Mulyani di atas kertas memiliki pengalaman yang lebih banyak ketimbang Purbaya, yang karir jabatan tertingginya hanya memimpin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Sebagai sosok yang dua kali menduduki kursi Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani dikenal sebagai teknokrat yang disegani di panggung internasional.

Namanya mencuat sejak krisis moneter pada 1997-1998, saat itu ia kerap menyampaikan akar persoalan serta solusinya di media massa hingga rela mendatangi wartawan di ruang pers Kemenkeu demi mendapat eksposur atas pendapatnya.

Setelah berkiprah di dua "agen asing," yakni US agency for International Development (USAID) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), Sri Mulyani jadi menteri Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan Prabowo Subianto.

Dia dikenal menekankan kebijakan berbasis data dengan menjalankan prinsip kehati-hatian (prudent), sehingga mengantarkannya pada berbagai penghargaan global.

Selama dua periode kepemimpinannya (2005-2010 dan 2016-2025), Sri Mulyani menerapkan reformasi di tubuh Kementerian Keuangan untuk meningkatkan kredibilitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dia juga pasang badan mematahkan upaya sebagian tokoh di Ditjen Pajak untuk menaikkan status Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak di bawah Kemenkeu, untuk naik status di bawah presiden langsung.

Ampuni Dosa Pajak Konglomerat

Selain itu, kesan reformator kemenkeu seolah dia nodai sendiri setelah menggulirkan kebijakan kontroversial pengampunan pajak (tax amnesty). Bahkan, kebijakan tersebut dilakukan dua kali.

Sri Mulyani tak segan-segan menyebut program tax amnesty selama dua periode jabatannya sebagai capaian penting bagi perekonomian--program khas di negara neoliberal di mana pemilik kapital mendapat fasilitas istimewa.

“Program pengampunan pajak yang dilakukan tahun 2016 dan 2017 menjadi catatan bersejarah sendiri bagi Ditjen Pajak, termasuk sebagai tax amnesty yang berhasil di seluruh dunia dengan jumlah deklarasi mencapai Rp4.884 triliun,” klaim Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menkumham, Senin (28/6/2021).

Padahal, Tax Amnesty dalam beberapa penelitian justru cenderung berujung pada fraud dan berisiko menurunkan tingkat kepatuhan pembayar pajak, karena yang taat pajak dan yang tak taat ditaruh di tempat yang sama.

Salah satunya diulas di penelitian berjudul "The Link Between Tax Amnesty and Financial Statement Fraud" yang terbit di International Journal of Economics, Commerce and Management (2018).

Sang peneliti yakni Ikbale Tota menemukan bahwa amnesti pajak yang terjadi di Albania selama dekade terakhir terlalu sering terjadi, dan tak berujung pada pembedaan para penghindar pajak dengan mereka yang taat pajak.

"Amnesti ini tidak memisahkan wajib pajak dan tidak memenuhi batasan konstitusional yang akan mencegah partisipasi entitas yang sebelumnya dikenal sebagai penghindar pajak yang melaporkan laporan keuangan atau yang telah melaporkan bukti yang bersifat faktual," demikian simpulan laporan tersebut.

Tidak heran, rasio pajak (tax ratio) di era Sri Mulyani justru menurun, dari 12,5% (2005) menjadi 10,08% (2024). Meskipun fluktuatif, terdapat upaya berkelanjutan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Pendulum Berayun ke BRICS, Tinggalkan IMF?

Bukan kebetulan jika selorohan sang anak soal "agen CIA," yang bisa ditafsirkan sebagai kecenderungan Sri Mulyani meramu kebijakan pro-Barat, beriringan dengan sikap Menteri Keuangan Purbaya yang tak mau membebek IMF.

Purbaya berulang kali menegaskan bahwa dirinya akan berdiri di kaki sendiri (berdikari) dalam meramu kebijakan ekonomi. Dia secara terbuka mengritik IMF sebagai “bodoh.”

“Kalau saya enggak percaya IMF. Menurut saya IMF bodoh, kalau enggak percaya kita lihat track recordnya,” ujarnya dalam video viral yang diketahui berasal dari acara CNBC Investment Forum 2025, Jumat (16/6/2025).

Ia bahkan mengulang pernyataannya di kesempatan lain, yang menekankan bahwa dirinya benar-benar tidak percaya dengan lembaga tersebut.

“Nanti anda bilang si Purbaya ini wah sentimen sama global, multilateral organization. Yang pertama, memang enggak percaya mereka karena kayaknya mereka lebih bodoh dari saya,” ujarnya dalam podcast bersama Pengamat Kebijakan Publik, Refly Harun.

Wakil Ketua Umum (WKU) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Barat Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemitraan memiliki analisis yang sejalan dengan itu.

Menurut dia, penggantian Sri Mulyani adalah bentuk "reset fiskal." Bukan karena alasan pribadi, melainkan tanda pergeseran ideologi ekonomi Indonesia.

"Dari austerity ke sovereign spending, dari defisit ketat ke investasi masif, dari Barat ke Timur," tulisnya dalam artikel berjudul "Tumbangnya Sri Mulyani: Ketika Poros Dunia Bergeser dari IMF ke BRICS."

Baca Juga: Kepercayaan Diri Purbaya dan Faktor Luhut di Baliknya

Secara umum, ekonom sekaligus Pengamat Kebijakan Publik Anthony Budiawan menilai penggantian Sri Mulyani karena memang kinerjanya sudah tidak bagus dan selama ini tidak direspons secara kritis oleh lembaga internasional pro Barat.

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 yang sebesar 4,87% patut dipertanyakan, karena berada di bawah rata-rata pertumbuhan di era Presiden Joko Widodo serta di bawah target pemerintah (sekitar 5,3%).

Ia bahkan menuding angka 4,87% itu terindikasi adanya “fabrikasi” atau penyesuaian data. Hal ini terus berlangsung karena lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia hanya mengekstrapolasi data resmi pemerintah tanpa verifikasi mendalam.

Sebagai perbandingan, Anthony menyinggung pengalaman India pada periode 2011–2016. Kala itu, pertumbuhan ekonomi India dilaporkan rata-rata 7% per tahun.

Namun, seorang ekonom India yang juga profesor Harvard mengungkapkan adanya indikasi overestimate dengan perhitungan IMF justru menunjukkan pertumbuhan sekitar 4,5 persen plus minus 1 persen dengan tingkat kepercayaan 95%.

“Jadi, wajar saja saya mempertanyakan akurasi data pertumbuhan ekonomi kita,” kata Anthony, yang pesimistis pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2025 bisa menembus angka di atas 5%, mengingat daya beli masyarakat masih masih melemah. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.