Jakarta, TheStance – Curhatan mantan artis cilik Leony, baru-baru ini viral di sosial media. Penyebabnya, Leony merasa terbebani dengan pajak waris senilai puluhan juta saat mengurus balik nama rumah warisan mendiang ayahnya.

Mantan personel Trio Kwek Kwek itu awalnya bercerita sedang mengurus balik nama rumah ayahnya yang meninggal pada 2021.

Ia kemudian baru mengetahui bahwa proses balik nama rumah itu membutuhkan surat waris. Leony semakin terkejut ketika ia juga dibebani pajak ahli waris atas rumah mendiang ayahnya.

"Kami mau urus nih, balik nama ternyata jatuhnya warisan. Nah, kalau warisan kita mau balik nama harus urus surat waris karena bokap gue enggak pernah ada tuh surat warisan atas rumah ini akan diserahkan ke kita atau apa gitu. Ternyata, kita tuh kena pajak waris," ujar Leony via Instagram pribadinya @leonyvh, Senin (8/9/2025).

Artis bernama lengkap Leony Vitria Hartanti itu pun menjelaskan pajak yang dibebankan ke dirinya 2,5% dari nilai rumah. Ia tidak mengungkapkan detail nominalnya, tetapi besaran pajak yang harus ditanggung sekitar puluhan juta.

"Which is gue harus ngeluarin duit puluhan juta lagi cuman buat balik nama doang," lanjut Leony.

Kena Pungutan Puluhan Juta

Leony

Selain merasa kaget dan kecewa, Leony merasa tidak adil jika masih harus dibebani pajak untuk mengurus balik nama rumah. Padahal, rumah yang diurus itu benar-benar warisan dari sang ayah.

"Saya merasa ini tidak adil, kayak ini rumah pas dibeli kita sudah bayar pajak, setiap tahun kita bayar PBB, terus sekarang cuma ganti nama dari bokap ke gue, gue harus bayar lagi, kena lagi," tambah Leony.

Curhat Leony itu pun mendapat dukungan dari kerabat hingga penggemar sang artis. Termasuk mengundang komentar warganet yang ikut bertanya-tanya tentang aturan pajak tersebut.

Banyak dari warganet yang mengalami keresahan serupa saat mengurus warisan properti dari orang tua.

"Betul, rumah almarhum Papa sejak 2014 sampai sekarang enggak balik nama karena pajaknya Rp1 miliar lebih," kata salah satu netizen dikolom komentar postingan Leony.

Lantas, seperti apa aturan mengenai pajak warisan ini ?

Pengenaan pajak penghasilan rumah warisan didasari oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 (UU PPh) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021.

Dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa setiap wajib pajak yang memperoleh tambahan atas kemampuan ekonomis yang dapat menambah kekayaan wajib pajak tersebut, akan dikenakan atas Pajak Penghasilan (PPh).

Warisan Bukan Objek PPh

Rosmauli

Selain itu, pajak rumah warisan juga diatur di Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2016. Sementara itu, dasar hukum terbaru tentang pengecualian warisan dari pengenaan PPh diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Rosmauli menegaskan bahwa tanah dan bangunan yang menjadi harta warisan dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan (PPh). Ini dikarenakan warisan bukan merupakan objek PPh.

"Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluruskan bahwa warisan bukan merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh)," kata Rosmauli, dalam keterangannya, Jumat (12/9/2025).

Dengan demikian, ahli waris tidak dikenakan pajak penghasilan atas tanah atau bangunan yang diperoleh dari pewaris. Namun, dengan syarat harus menyertai Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atau perjanjian pengikatan atas tanah dan/atau bangunan, pada saat pengajuan balik nama sertifikat rumah warisan.

"Tidak ada pajak penghasilan atas warisan, dan ahli waris memiliki hak untuk mengajukan Surat Keterangan Bebas PPh agar terbebas dari pengenaan PPh Final," ujarnya.

Permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) dapat diajukan oleh ahli waris secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar atau bisa secara daring melalui Coretax di coretaxdjp.pajak.go.id.

"Permohonan akan ditindaklanjuti dalam waktu 3 hari kerja setelah permohonan diterima lengkap oleh KPP tempat ahli waris terdaftar," jelasnya.

Baca Juga: Tembus Rp70 Juta per Bulan, Tunjangan Perumahan DPRD Harus Dievaluasi

Dalam pengajuan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB), ahli waris harus melampirkan dokumen berupa Surat Pernyataan Pembagian Waris sebagaimana tertuang di Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 Pasal 101 ayat (5) huruf c.

Dokumen yang dibutuhkan antara lain fotokopi akta/penetapan waris atau surat keterangan ahli waris yang sah; fotokopi sertifikat tanah/bangunan yang diwariskan; dokumen identitas pewaris dan ahli waris; dokumen lain yang relevan.

Setelah diverifikasi, KPP tempat ahli waris terdaftar akan menerbitkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh sehingga proses balik nama sertifikat tanah/bangunan tidak dikenai Pajak Penghasilan.

Selain itu, terdapat pula ketentuan materiil agar SKB dapat diterbitkan atau disetujui oleh KPP, yakni pewaris telah melaporkan tanah dan/atau bangunan tersebut secara lengkap dan benar pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan serta melunasi pajak terutang atas tanah dan/atau bangunan waris tersebut.

Prosedur Balik Nama Sertifikat dan Pelaporan oleh Ahli Waris

Setelah SKB PPh diterbitkan, ahli waris dapat menyerahkan dokumen tersebut kepada notaris sebagai bukti bahwa pengalihan hak tak dikenai PPh Final. Notaris kemudian akan melanjutkan proses balik nama sertifikat tanah atau bangunan ke atas nama ahli waris.

Sebagai tindak lanjut, ahli waris wajib melaporkan harta warisan yang telah dibalik nama tersebut dalam SPT Tahunan pribadi, dengan mencantumkan informasi yang benar dan lengkap. Ini penting untuk menjaga kepatuhan pajak dan menghindari masalah hukum di masa mendatang.

Secara umum, warisan berupa tanah atau rumah bukan merupakan objek Pajak Penghasilan, asalkan semua syarat formal dan materiil terpenuhi. Surat Keterangan Bebas (SKB) menjadi dokumen penting yang membebaskan ahli waris dari kewajiban membayar PPh Final atas pengalihan hak warisan.

Oleh karena itu, setiap ahli waris disarankan untuk segera mengurus SKB ke KPP setelah pewaris meninggal dunia dan sebelum melakukan proses balik nama sertifikat.

Sebaliknya, ahli waris bisa saja menanggung pajak rumah warisan sebesar 2,5 persen apabila tidak bisa menunjukkan Surat Keterangan Bebas (SKB) pada saat pengajuan balik nama sertifikat rumah warisan.

Lebih lanjut, Rosmauli memahami bahwa kerancuan kerap terjadi antara PPh dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dia menjelaskan bahwa PPh Final atas pengalihan hak karena warisan dapat dibebaskan melalui SKB PPh.

Sementara, BPHTB tetap berlaku atas perolehan hak atas tanah/bangunan karena warisan. BPHTB merupakan Pajak Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

"Direktorat Jenderal Pajak mengimbau masyarakat untuk memahami secara tepat ketentuan perpajakan terkait warisan. Tidak ada pajak penghasilan atas warisan, dan ahli waris memiliki hak untuk mengajukan SKB PPh agar terbebas dari pengenaan pajak," jelasnya.

Masuk Kategori BPHTB

Prianto Budi Saptono

Senada, Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menduga pungutan yang dialami Leony saat mengurus balik nama aset warisan orang tuanya masuk kategori Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB).

Prianto menilai, bahwa istilah “pajak warisan” yang disebut oleh Leony sebenarnya kurang tepat karena BPHTB merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah.

"Istilah yang lebih tepat untuk "pajak warisan" di kasus yang menimpa artis cilik di atas adalah BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan). BPHTB merupakan salah satu pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. Khusus di Jakarta, pemungutnya adalah pemerintah provinsi," kata Prianto dalam keterangannya.

Dia menjelaskan, dasar hukum BPHTB merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Aturan teknisnya kemudian dijabarkan melalui Peraturan Daerah (Perda) di masing-masing kabupaten/kota.

"Menurut Pasal 44 UU HKPD, salah satu objek BPHTB adalah pemindahan hak atas tanah/bangunan karena waris," jelasnya.

Perhitungan BPHTB

Lebih lanjut, Prianto menjelaskan cara perhitungan BPHTB untuk objek warisan. Pertama, dasar pengenaan pajaknya (DPP) adalah harga pasar tanah atau bangunan yang diwariskan. Jika harga pasar tidak diketahui atau nilainya lebih rendah dari NJOP PBB, maka acuan yang digunakan adalah NJOP PBB.

Kedua, nilai perolehan objek pajak (NPOP) dihitung dari DPP dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP). Untuk warisan, batas minimal NPOPTKP adalah Rp300 juta, meski Perda bisa menetapkan angka lebih tinggi.

Ketiga, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5 persen dari NPOP. Namun, dalam praktiknya, Perda di daerah tertentu bisa menetapkan tarif yang lebih rendah.

Keempat, BPHTB baru terutang ketika penerima warisan mendaftarkan peralihan haknya di kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Prianto menegaskan, aturan mengenai BPHTB dalam konteks warisan diatur lebih lanjut dalam Pasal 44 hingga Pasal 49 UU HKPD, serta harus disesuaikan dengan Perda masing-masing daerah.

"Jadi, berdasarkan ketentuan di atas, Wajib Pajak harus mencari tahu Perda tentang pajak daerah di lokasi tanah/bangunan tersebut berada. Cara yang paling gampang adalah meminta informasi ke kantor ATR/BPN yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah/bangunan yang diwariskan tersebut," jelasnya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance