AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Oleh AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI)/ Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Ketua DPD RI ke-5.

Belum lama ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengumumkan 10 juta rekening dormant yang menerima bantuan sosial (bansos).

Kemudian PPATK kembali mengumumkan 571.410 data penerima bansos terindikasi terlibat pinjol, judol, bisnis narotika, dan terorisme. Ini tentu mengagetkan kita semua. Terutama terkait dengan penerima bansos fiktif.

Karena, rekening penerima bansos diduga kuat tidak memiliki pemilik yang sebenarnya (fiktif) atau dormant. Tetapi lebih aneh lagi: rekening tersebut banyak yang aktif. Terjadi penarikan setelah dana bansos masuk.

Menurut PPATK, rekening-rekening tersebut hanya digunakan untuk menampung dana bansos, kemudian ditarik oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Artinya, ada pihak tertentu yang mengendalikan rekening-rekening tersebut.

Artinya, ada uang triliunan rupiah yang dikumpulkan dari jutaan rekening fiktif tersebut selama periode bansos dikucurkan. Terutama, dari temuan PPATK yang menunjukkan adanya anomali data penerima bansos dari tahun ke tahun.

Pertanyaannya siapa yang mampu mengorganisir dan melakukan kejahatan dengan modus operandi sistem penerima bansos fiktif itu? Mulai dari penyiapan rekening. Input data penerima. Penarikan atau pemindahan uang masuk, dan seterusnya?

Tentu bukan perorangan. Pasti melibatkan sindikasi yang terstruktur dan sistematis. Dan yang pasti punya akses ke perbankan dan sistem input data di Kementerian.

Estimasi Kerugian Rp40 triliun per Tahun

bantuan sosialJika kita lihat angka yang digelontorkan APBN untuk semua jenis bantuan sosial atau perlindungan sosial, sejak tahun 2014 hingga 2024, lintas kementerian sangatlah besar.

Sebagai contoh, APBN tahun 2024. Pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial (perlinsos) dalam RAPBN 2024 sebesar Rp493,5 triliun. Angka ini meningkat 12,4% dari tahun sebelumnya.

Secara total selama 10 tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejak tahun 2014 hingga 2024, belanja perlindungan sosial oleh pemerintah telah mencapai angka yang hampir menyentuh Rp4.000 triliun.

Bayangkan jika sejak saat itu telah terjadi modus penyimpangan yang disengaja oleh sindikat bansos fiktif, berapa nilai kerugian negara?

Misalkan saja, mereka berhasil membajak 10% dari Rp4.000 triliun. Artinya uang yang dicuri mencapai Rp400 triliun dalam 10 tahun. Per tahun Rp40 triliun.

Jika uang Rp40 triliun setahun itu digunakan untuk memberi tambahan gaji guru honorer setiap bulan senilai Rp2 juta, selama satu tahun, maka nilainya adalah Rp24 juta, atau dapat membiayai 1,6 juta guru honorer dalam setiap tahun.

Jadi, sekali lagi, siapa sebenarnya mereka yang mampu mengorganisir secara sistematis dan terstruktur kejahatan yang sangat jahat ini?

Apakah oknum pejabat atau pegawai pemerintah, yang memiliki akses ke sistem data bansos yakni Sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)?

Melibatkan Oknum Orang Dalam, Bank dan Petugas Lapangan?

Karena, mereka dapat memasukkan data fiktif, termasuk nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat palsu, ke dalam sistem.

Tanpa akses internal, sangatlah sulit untuk menambahkan puluhan juta data penerima fiktif tanpa terdeteksi. Oknum ini juga bisa memanfaatkan celah dalam sistem verifikasi untuk meloloskan data palsu.

Lalu apakah juga ada oknum Perbankan? Karena sindikat ini pasti memerlukan bantuan dari oknum di bank untuk membuka rekening fiktif tanpa pemilik yang sah atau dengan identitas palsu.

Pembukaan rekening dalam jumlah besar dan secara tidak wajar akan menarik perhatian. Kecuali ada orang dalam di bank yang memfasilitasinya. Termasuk menyediakan akses untuk penarikan dana setelahnya.

Apakah juga melibatkan pihak di lapangan? Bertugas sebagai perekrut Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan penarik dana, kelompok ini bertugas di lapangan untuk menarik dana yang telah masuk ke rekening fiktif.

Mereka bisa menggunakan berbagai cara, seperti kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang sudah disiapkan atau kerja sama dengan agen perbankan untuk pencairan. Kelompok ini bisa disebut sebagai eksekutor di ujung rantai.

Maka, wajar bila ada dugaan para pelaku kejahatan penerima bansos fiktif ini adalah sindikat karena penerima fiktif itu dalam skala besar.

Bukan puluhan atau ratusan orang, yang bisa kita sebut sebagai human error petugas input data. Tetapi ini jutaan, dan dana itu dikelola. Masuk dan kemudian ditarik.

Tiga Proses yang Saling Terkait

tersangkaProsesnya dimulai dari birokrasi pemerintahan (data), dilanjutkan ke sektor perbankan (rekening), dan diakhiri dengan pencairan di lapangan. Keterlibatan lintas sektor ini adalah ciri khas sindikat kejahatan terorganisir.

Lazimnya pasti ada “otak” di balik operasi ini. Yang mengatur strategi. Sementara anggota lainnya menjalankan peran masing-masing. Seperti pembuat data fiktif. Pembuka rekening, dan penarik dana.

Oleh karena itu, saya mendukung penuh permintaan Presiden Prabowo Subianto kepada Kepala PPATK untuk membongkar habis dan tuntas skandal penerima bansos fiktif ini.

Segera setelah itu, PPATK harus menyerahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditindaklanjuti, karena ini kejahatan luar biasa. Selain merugikan negara, juga merugikan rakyat yang seharusnya berhak menerima.

Saya sudah pernah mengingatkan soal ini pada tahun 2022 silam saat saya menjabat Ketua DPD RI. Saat itu KPK menemukan 16,7 juta orang tanpa Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tercatat dalam DTKS Kemensos sebagai penerima bansos.

Di luar itu juga ada NIK ganda sebanyak 1,06 juta orang. Ditambah, 234 ribu orang yang meninggal, tapi masih ada di DTKS.

Sengkarut data juga saya sampaikan terkait data jumlah desa penerima dana desa. Karena ada perbedaan data antara Kemenkeu dan Kemendes. Kemenkeu menyebut ada 15 desa fiktif yang menerima dana desa.

Kekacauan ini sejatinya sudah sejak dulu. Dan ini adalah celah bagi sindikat yang ingin mencuri uang APBN.

Baca Juga: Kemensos Ancam Coret Setengah Juta Penerima Bansos yang Terlibat Judi Online

Karena itu, saya berharap program Data Tunggal Sosial Ekonomi (DTSEN) yang diluncurkan Presiden Prabowo dapat segera tuntas untuk merapikan serta menghapus celah sindikat pencuri uang bantuan sosial ini.

Dengan data yang terpadu dan berasal dari satu basis, akan dapat digunakan oleh semua kementerian dan lembaga dalam menyalurkan program-program perlindungan sosial.

Sebab, jika basis datanya saja sudah salah, maka program yang dijalankan pasti tidak akan tepat sasaran.

DTSEN juga bisa digunakan untuk menentukan kebijakan pendirian Sekolah Rakyat. Prioritas pembangunan dapur Makan Bergizi Gratis.

Juga untuk penajaman konsentrasi dan jenis usaha Koperasi Merah Putih, yang tentu berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Tentu verifikasi lapangan secara berkala tetap harus dilakukan.

Dan yang lebih penting. Ayo kita bersih-bersih. Saatnya kebocoran APBN yang disengaja kita akhiri. Menurunnya tingkat korupsi, ekuivalen dengan angka peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Bukan mustahil kita bisa menuju Indonesia yang lebih sejahtera, dengan membangun semangat kebersamaan (Prabowonomics) dan mengakhiri sifat keserakahan (Serakahnomics).***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.