Pabrik Senjata Cetak Rekor Omzet di Tengah Perang Ukraina & Genosida Gaza
Konflik dan kematian menjadi sumber cuan perusahaan-perusahaan ini. Lima teratas didominasi pabrikan Amerika.

Jakarta, TheStanceID - Laporan terbaru membeberkan angka mengejutkan terkait dengan bisnis senjata global dalam 1 dekade terakhir (2014-2023). Konflik dan kematian menjadi sumber cuan mereka.
Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), total pendapatan 100 perusahaan senjata teratas (The SIPRI Top 100) dalam 10 tahun menembus rekor US$5,3 triliun atau setara Rp82.150 triliun, setara dengan Rp82 kuadriliun.
Angka tersebut, menurut lembaga riset dan kajian militer independen berbasis di Stockholm (Swedia) itu, sebanding dengan PDB tahunan negara-negara ekonomi utama seperti Jerman atau India.
Dalam laporan yang dirilis 2 Desember lalu, pabrikan senjata global pada tahun 2023 saja mencetak pendapatan US$632 miliar, setara Rp9.796 triliun, dari penjualan senjata dan layanan militer. Itu juga merupakan rekor tertinggi yang baru.
Sumber: SIPRI
Secara total, penjualan alutsista negara anggota Organisasi Pakta Aliansi Utara (North Alliance Treaty Organization/NATO), alias blok Barat mencapai US$494 miliar, atau setara dengan 78% dari total omzet alutsista dunia tahun lalu.
Di Eropa, pendapatan perusahaan senjata memang hanya naik 0,2% menjadi US$133 miliar pada 2023, karena tahun sebelumnya telah melonjak akibat konflik Ukraina. Tahun lalu, mereka hanya fokus memenuhi kontrak lama.
Pengecualian terjadi untuk pemasok senjata dan alutsista Jerman, Swedia, dan Polandia yang tumbuh signifikan gara-gara melonjaknya permintaan karena perang di Ukraina yang terus berlarut.
Produsen AS Cuan Banyak
Menurut lembaga riset yang didirikan sejak 1966 ini, dari total penjualan tahun lalu senilai US$623 miliar, perusahaan AS mendominasi dengan angka US$317 miliar atau separuh dari omzet 100 perusahaan teratas SIPRI. Angka itu naik 2,5%.
Sebanyak 30 dari 41 perusahaan asal AS dalam daftar SIPRI melaporkan kenaikan omzet. Sejak 2018, lima di antaranya selalu memuncaki daftar Top 100. Bukan kebetulan jika mereka juga pemasok utama senjata di konflik Ukraina dan genosida Gaza.
Hingga akhir tahun lalu, kelimanya membukukan pendapatan senilai US$198,3 miliar pada 2023 atau nyaris dua kali lipat dari anggaran militer Rusia pada tahun yang sama sebesar US$109 miliar.
Perusahaan | Negara | Pendapatan Senjata (US$ Miliar) |
Lockheed Martin Corp | AS | 60,82 |
RTX | AS | 40,66 |
Northrop Grumman | AS | 35,57 |
Boeing | AS | 31,10 |
General Dynamics Corp | AS | 30,20 |
Sumber: SIPRI
Lockheed Martin dan RTX telah mencetak lonjakan penjualan senjata pada tahun 2022, sejak perang Ukraina memanas. Oleh karenanya, pendapatan mereka pada 2023 menurun karena kompleksitas rantai pasokan produksi rudal dan aeronautika.
“Sistem senjata kompleks memiliki waktu tunggu [pengerjaan] yang lebih lama,” kata Lorenzo Scarazzato, peneliti di Program Pengeluaran Militer dan Produksi Senjata SIPRI.
Rusia Tak Mau Kalah
Di Rusia, perusahaan senjata mengalami peningkatan omzet hingga 40% mencapai US$25,5 miliar. Pendapatan Rostec, produsen senjata terbesar Rusia, melejit 49%, didorong peningkatan produksi senjata dan alutsista untuk perang Ukraina.
BUMN Rusia ini mengendalikan banyak produsen senjata, termasuk tujuh perusahaan yang sebelumnya masuk Top 100 tapi data pendapatannya belum dapat diperoleh.
“Alutsista seperti pesawat tempur, helikopter, UAV [pesawat nirawak], tank, amunisi, dan rudal diperkirakan diproduksi dalam jumlah lebih besar saat Rusia melanjutkan langkah ofensif di Ukraina,” kata Nan Tian, Direktur Program Pengeluaran Militer dan Produksi Persenjataan SIPRI.
Yang menarik, tulis SIPRI, pertumbuhan perusahaan produsen senjata yang skalanya lebih kecil mampu mengungguli persentase pertumbuhan pendapatan perusahaan besar.
“Hal ini karena perusahaan skala kecil itu mampu cepat memenuhi permintaan global yang naik, dipicu perang di Gaza, Ukraina, dan Asia Timur,” tulis riset SIPRI yang disusun lima analis ini yakni Lorenzo Scarazzato, Nan Tian, Diego Lopes da Silva, Xiao Liang, dan Katarina Djokic.
Jepang, Korsel, Singapura Rajai Asia
Di Asia dan Oseania, perusahaan senjata di Korea Selatan (Korsel) dan Jepang mencatatkan pertumbuhan pendapatan signifikan.
Beberapa perusahaan senjata di Asia yang masuk daftar Top 100 yakni Hanwha Group (Korsel, urutan 24), Mitsubishi Heavy Industries (Jepang, 39), Korea Aerospace Industries (Korsel, 56), ST Engineering (Singapura, 58), dan Kawasaki Heavy Industries (Jepang, 65).
Perusahaan | Negara | Pendapatan Senjata (US$ MIliar) |
AVIC | China | 20,85 |
NORINCO | China | 20,56 |
CETC | China | 16,95 |
CASC | China | 12,35 |
CSSC | China | 11,48 |
Sumber: SIPRI
Pendapatan empat perusahaan Korsel melejit 39% menjadi US$11 miliar, sementara omzet lima perusahaan Jepang naik 35% menjadi US$10 miliar, didorong meningkatnya belanja militer domestik dan masalah keamanan regional.
Kebijakan pembangunan militer di Jepang sejak 2022 juga menjadi faktor yang mendorong lonjakan pesanan domestik. Bahkan beberapa perusahaan menilai jumlah pesanan baru di Jepang melesat lebih dari 300%.
Menurut Xiao Liang, peneliti di Program Pengeluaran Militer dan Produksi Persenjataan SIPRI, melesatnya pendapatan perusahaan senjata Korsel dan Jepang ini menggambarkan gencarnya persiapan militer di kawasan itu untuk merespons meningkatnya persepsi ancaman.
“Perusahaan-perusahaan Korsel juga berupaya memperluas pangsa pasar global mereka, termasuk ke Eropa, yang terkait dengan perang di Ukraina,” kata Xiao.
Porsi Israel 69% dari Omzet Timteng
Di Timur Tengah, pendapatan enam perusahaan senjata tumbuh 18% menjadi US$19,6 miliar. Tiga perusahaan senjata Israel mampu menyumbang US$13,6 miliar atau 69% dari total omzet pabrikan senjata di kawasan tersebut.
Angka tersebut menembus rekor di tengah genosida yang sedang berlangsung di Gaza, Palestina. Tiga perusahaan Israel yang meraup cuan di situasi ini adalah Elbit Systems (urutan 27), Israel Aerospace Industries (34), dan Rafael (42)
“Produsen senjata Israel juga mencatat lebih banyak order karena perang Gaza terus berkecamuk dan menyebar,” kata Diego Lopes da Silva, peneliti senior di Program Belanja Militer dan Produksi Persenjataan SIPRI.
Meskipun ada masalah rantai pasokan dan tekanan ekonomi di beberapa wilayah, industri senjata global dinilai masih terus tumbuh di tengah peningkatan ketegangan geopolitik dan meluasnya perang.
“Pendapatan dari bisnis persenjataan meningkat tajam di 2023 dan berpotensi berlanjut pada 2024,” kata peneliti SIPRI, Lorenzo Scarazzato.
Dia menilai pendapatan 100 produsen senjata teratas global saat ini masih belum sepenuhnya mencerminkan skala permintaan, di tengah tren peningkatan belanja militer tahun lalu.
Periode | Pendapatan |
2019-2023 | Pendapatan 9 perusahaan senjata yang berbasis di China, dalam Top 100, cuma naik 0,7% mencapai US$103 miliar sejak 2019 di tengah melambatnya ekonomi. |
2023 | Total pendapatan persenjataan dari tiga perusahaan India di Top 100 naik 5,8% menjadi US$6,7 miliar. |
2023 | NCSIST, satu-satunya perusahaan senjata di Taiwan yang masuk Top 100, pendapatannya naik 27% menjadi US$3,2 miliar. |
2023 | Baykar dari Turki memproduksi pesawat nirawak (UAV) bersenjata yang banyak digunakan dalam perang di Ukraina. Ekspor menyumbang 90% dari total pendapatan senjata di 2023 yang naik 25% menjadi US$1,9 miliar. |
2023 | Pendapatan Atomic Weapons Establishment dari Inggris naik 16% di 2023 mencapai US$2,2 miliar. Perusahaan ini merancang, memproduksi, dan memelihara hulu ledak nuklir. |
Sumber: SIPRI, diolah
SIPRI mencatat banyak di antara pabrikan senjata tersebut bersiap mendongkrak produksi dan memulai perekrutan karyawan yang agresif demi mengantisipasi pesanan yang meningkat. “Ini menunjukkan optimisme penjualan di masa mendatang,” kata Lorenzo.
Bermandi Cuan di Bisnis Perang
Selama masih ada perang, maka produsen senjata teratas di dunia saat ini yakni Lockheed Martin, Boeing, RTX (dulu bernama Raytheon), dan lainnya secara historis memperoleh keuntungan dari peningkatan belanja alutsista.
Sebagai contoh, peristiwa 11 September 2001, atau 9/11, memberikan keuntungan bagi produsen senjata AS sebagaimana diungkap hasil riset berjudul “20 Year of War” yang dirilis Watson Institute International and Public Affairs dari Brown University.
Riset September 2021 yang ditulis William D Hartung ini menyatakan setidaknya ada tiga cara yang membuat produsen senjata memperoleh keuntungan ekonomi dari perang: logistik dan rekonstruksi, kontrak keamanan swasta, dan memasok senjata.
Riset ini membandingkan ketika dimulainya perang di Afghanistan, pengeluaran Pentagon telah mencapai lebih dari US$14 triliun, dan sepertiga hingga setengahnya dialokasikan kepada kontraktor pertahanan.
“Perusahaan besar dan kecil sejauh ini merupakan penerima manfaat terbesar dari lonjakan pengeluaran militer pasca-9/11,” tulis riset tersebut.
Mereka inilah pihak-pihak yang berkepentingan agar perang terus berkobar, meski korban berjatuhan, sehingga pundi-pundi kekayaan mereka terus menggembung. (mts)