KontraS: 47 Orang Tewas karena Extrajudicial Killing, Aktor Utamanya Polisi

Rata-rata, aparat membunuh 1 warga tiap pekan selama 2024. Polisi masih menjadi pelaku utamanya.

By
in Headline on
KontraS: 47 Orang Tewas karena Extrajudicial Killing, Aktor Utamanya Polisi
Aksi brutalitas aparat kepolisian yang membanting peserta demo ke trotoar hingga korban kejang-kejang. Kejadian ini berlangsung saat mahasiswa sedang melakukan unjuk rasa di depan Kantor Bupati Tangerang pada Rabu (13/10/2021). (Sumber: https://bantuanhukum.or.id/)

Jakarta, TheStanceID - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan bahwa telah terjadi 45 peristiwa pembunuhan di luar koridor hukum (extrajudicial killing) oleh aparat setahun terakhir. Polisi masih menjadi pelaku utamanya.

Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy mengungkapkan, polisi sebagai aparat penegak hukum justru menjadi pelaku dominan dalam peristiwa pembunuhan di luar hukum tahun ini.

“Dilihat dari aktornya angka tertinggi dari pelanggaran extrajudicial killing dilakukan oleh institusi kepolisian sebanyak 34 peristiwa dan institusi TNI [Tentara Nasional Indonesia] sebanyak 11 peristiwa,” ujarnya di Jakarta, Jumat (6/12/2024).

Dari peristiwa tersebut, 47 nyawa warga sipil melayang. Jika dirata-rata, 1 nyawa melayang setiap pekan sepanjang tahun berjalan 2024, dengan 24 di antaranya meninggal dunia tanpa perlawanan.

Mereka yang melawan justru menjadi justifikasi atas pembunuhan oleh aparat kepolisian.

“Yang akibat dari penggunaan senjata api yaitu sebanyak 29 korban, dan juga akibat dari tindak penyiksaan sebanyak 18 korban,” kata Andi dalam agenda peluncuran "Catatan Hari HAM KontraS 2024: Rezim Berganti, HAM Masih Disisihkan.".

Berdasarkan hasil pemantauan Kontras, sebanyak 20 korban extrajudicial killing tidak terkait dengan tindak pidana. Sementara 27 lainnya karena terkait dengan tindak pidana.

Beberapa contoh peristiwa extrajudicial killing di antaranya kasus kematian Michael Sitanggang yang dianiaya aparat TNI, Afif Maulana di Padang yang diduga disiksa polisi, dan juga penembakan siswa SMK Gamma Rizkynata Oktafandy di Semarang.

Andi mengungkapkan bahwa dari 45 peristiwa itu, termasuk di dalamnya adalah penindakan aksi tawuran yang kerap didalihkan oleh aparat kepolisian. Salah satunya dalam kasus pembunuhan Gamma.

"Umumnya saat ini tidak ada upaya untuk berbenah dalam institusi kepolisian yang melakukan evaluasi atau tindakan tegas kepada aktor-aktor yang bertanggung jawab,” tuturnya.

Kondisi ini dinilai Andi menjadi contoh banyaknya pelanggaran HAM yang seharusnya menjadi hak fundamental warga negara.

Tewas Akibat Disiksa Aparat

Masih berdasarkan data KontraS, kasus penyiksaan juga masih banyak terjadi. Data satu tahun terakhir menunjukkan telah terjadi 62 peristiwa penyiksaan, yang berujung pada 109 korban luka dan 18 orang tewas.

“Dengan kata lain, terdapat 128 korban penyiksaan sepanjang Desember 2023-November 2024,” tambah Andi.

Ironisnya, mayoritas penyiksaan dilakukan aparat terhadap warga sipil yang tak terindikasi melakukan tindak pidana yakni sebanyak 93 orang pada tahun ini. Sisanya, yakni 35 penyiksaan terjadi pada tersangka tindak pidana.

Aparat kepolisian lagi-lagi menjadi pihak yang paling banyak melanggar, dengan melakukan 38 penyiksaan di seluruh Indonesia. Anggota TNI menyusul dengan 15 peristiwa penyiksaan dan 9 peristiwa lainnya dilakukan oleh sipir penjara.

“32 peristiwa penyiksaan terjadi dengan motif mengejar pengakuan dan 30 lainnya terjadi sebagai bentuk penghukuman,” ungkap Andi.

Ironisnya, pelaku dari 22 peristiwa penyiksaan justru dilepaskan tanpa sanksi, yang sama artinya melanggengkan kultur impunitas dan pewajaran terhadap penyiksaan aparat.

"Minimnya sanksi menimbulkan kesan tidak adanya efek jera bagi pelaku penyiksaan dan memunculkan budaya yang permisif terhadap tindak penyiksaan,” jelas Andi.

Rentetan Kasus Melibatkan Polisi

Temuan KontraS mengafirmasi realita di lapangan. Anggota kepolisian di berbagai wilayah dalam sebulan terakhir dilaporkan melakukan aksi kekerasan yang berujung kematian warga sipil.

Berdasarkan catatan TheStanceID, setidaknya ada empat kasus kekerasan yang berujung hilangnya nyawa korban akibat tindakan berlebihan dari anggota polisi. Berikut ini rangkumannya:

  1. Polisi tembak polisi di Solok Selatan

    Kasus pertama menimpa Kasat Reskrim Polres Solok Selatan AKP Riyanto Ulil Anshar. Ia ditembak oleh rekannya yakni Kabag Ops Polres Solok Selatan AKP Dadang Iskandar di bagian kepala pada Jumat (22/11/2024) dini hari.

    Riyanto adalah polisi berprestasi yang baru saja diangkat menjadi Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, Sumatra Barat pada Desember 2023.

    Kasus penembakan antar anggota polisi ini diduga terkait pengusutan kasus tambang ilegal galian C yang sedang dilancarkan oleh korban.

  2. Polisi tembak siswa di Semarang

    Anggota Polrestabes Semarang,Aipda Robig, terlibat di kasus penembakan yang menewaskan seorang siswa SMK Semarang yakni Gamma Rizkynata Oktafandy (17).

    Awalnya Kapolrestabes Semarang Kombes Irwan Anwar mengklaim aksi penembakan terhadap Gamma dilakukan oleh Aipda Robig Zaenudin saat hendak membubarkan tawuran antar geng Tanggul Pojok dan kelompok Seroja.

    Namun, setelah penyelidikan diketahui bahwa Robig menembak Gamma secara asal. Komnas HAM pun menyatakan tindakan Robig masuk kategori pembunuhan di luar proses hukum atau extrajudicial killing.

  3. Polisi bunuh ibu kandung di Bogor

    Anggota Polres Metro Bekasi, Aipda Nikson Pangaribuan alias Ucok diduga menganiaya ibu kandungnya hingga tewas dengan memukul korban menggunakan tabung gas di Cileungsi, Bogor, pada Minggu (1/12/2024).

    Pasca pemukulan, Ucok langsung melarikan diri.

    Kabid Propam Polda Metro Jaya Kombes Bambang Satriawan mengatakan dalam proses pemeriksaan pihaknya mendapati sebuah surat yang menyatakan Ucok memiliki riwayat gangguan jiwa.

  4. Polisi tembak pria di Lampung

    Peristiwa penembakan oleh anggota Polda Lampung akhir Maret 2024 kembali mencuat usai pihak keluarga melaporkannya ke Divisi Propam Polri.

    Korban yang bernama Romadon, asal Desa Batu Badak, Marga Sekampung, Lampung Timur, Lampung ditembak mati oleh anggota Polda Lampung di depan anak dan istrinya.

    Sebelumnya, korban dituduh terlibat pencurian sepeda motor. Kasus ini mencuat lantaran peristiwa penembakan dilakukan saat korban tidak dalam posisi melawan dan tengah memperbaiki sandal bersama anaknya di rumah.

Kegagalan Sistemik Penggunaan Kuasa

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut rentetan pembunuhan di luar hukum oleh aparat ini sebagai “kegagalan sistemik dalam prosedur penggunaan senjata api dan pola pikir aparat yang cenderung represif.”

Salah satu contohnya, kasus penggunaan senjata api oleh polisi yang menewaskan warga sipil di Kepulauan Bangka Belitung, tepat pada hari yang sama siswa SMK dibunuh polisi di Semarang. Personel Brimob Polda Babel diduga menembak warga yang dituduh mencuri buah sawit.

“Dua insiden di Semarang dan Bangka Barat ini mempertegas pola kekerasan polisi yang mengkhawatirkan, apalagi publik baru saja diguncang oleh kasus penembakan polisi senior terhadap polisi junior di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat,” kata Usman.

Dia juga mempertanyakan mengapa penggunaan senjata api oleh polisi, yang seharusnya menjadi langkah terakhir, justru terkesan menjadi senjata utama.

Berkaca pada kasus penembakan siswa SMK di Semarang oleh polisi, Usman mengatakan penembakan itu bukan hanya tidak legal, tidak perlu, tidak proporsional, dan tidak akuntabilitas, tetapi juga melanggar prinsip perlindungan hak asasi manusia.

Amnesty International Indonesia menuntut pertanggungjawaban atas kasus-kasus penembakan tersebut termasuk mendesak revisi aturan penggunaan senjata api oleh polisi.

"Negara juga harus merevisi aturan penggunaan senjata api, memastikan penggunaannya hanya sebagai upaya terakhir sesuai prinsip legalitas, nesesitas, proporsionalitas dan akuntabilitas agar tetap melindungi HAM," kata Usman. (est)

\