Kuda Troya Isu Kedaulatan dalam Rencana Merger-Akusisi GoTo & Grab

Loncatan pembicaraan ke kepemilikan nasional berisiko menjustifikasi merger-akuisisi yang harusnya tak boleh dilakukan. Seakan-akan monopoli menjadi tidak masalah ketika pemerintah ikut memiliki perusahaan gabungan Grab dan GOTO. Padahal asing masih memiliki bagian kepemilikan besar.

By
in Social Podium on
Kuda Troya Isu Kedaulatan dalam Rencana Merger-Akusisi GoTo & Grab
Logo GOTO (Sumber: https://www.gotocompany.com/)

Muhamad Said Fathurrohman

Oleh Muhamad Said Fathurrohman, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya

Kejatuhan harga saham GOTO sepekan ini kembali ke level 50-an menghangatkan kembali wacana merger atau akuisisi antara Gojek dan Grab.

Persaingan ketat di industri ojek online membuat GOTO sulit untuk menikmati laba walaupun menjadi pemain terbesar kedua setelah Grab.

Walau kinerja keuangan GOTO membaik, tapi tiap saat perang harga dengan pemain lainnya, khususnya Grab, dapat menyebabkan GOTO kembali berdarah.

Merger antara dua pemain ojek online terbesar ini tentu akan menguntungkan keduanya dengan meniadakan keperluan bersaing, sehingga perusahaan hasil merger-akuisisi tersebut dapat menetapkan tarif yang menguntungkan.

Dominasi pasar hasil gabungan keduanya yang mencapai 90% praktis membuat persaingan dari pemain lainnya tidak pernah menjadi ancaman serius.

Namun peluang keuntungan dari sebuah monopoli adalah ancaman kerugian bagi masyarakat. Pengalaman merger Grab-Uber di Singapura pada 2018 menunjukkan bahwa pengurangan persaingan dapat menyebabkan kenaikan tarif sebesar 10-15%.

Pendapatan mitra pengendara pun terancam turun karena posisi tawar perusahaan akan makin kuat. Mitra tak bisa berpaling ke perusahaan lain ketika ditawari tarif rendah karena tak ada pesaing yang bisa menawarkan pesanan sebanyak keduanya.

KPPU Mengendus Potensi Monopoli

KPPUKomisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah melihat potensi monopoli ini dan sudah memberikan peringatan.

Walau KPPU tidak punya wewenang untuk melakukan pencegahan merger/akuisisi yang berpotensi monopoli, KPPU bisa membatalkan merger-akuisisi yang terjadi jika mengakibatkan monopoli.

Ancaman pembatalan maupun denda yang dikenakan jika terbukti monopoli cukup efektif meredam keinginan merger-akuisisi antara Gojek dan Grab.

Pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) GOTO terakhir, langkah yang mengarah pada merger-akuisisi itu sudah dibatalkan. Namun demikian isu tersebut masih tetap beredar.

Terakhir isu ini kembali hangat karena kejatuhan harga saham GOTO dan jawaban wakil ketua DPR terhadap pertanyaan Reuters bahwa pemerintah menginginkan mayoritas kepemilikan GOTO, mengisyaratkan bahwa isu merger ini belum sepenuhnya sirna.

Opini saudara Muhammad Syarkawi Rauf di thestance.id Rabu (25/6/2025) dapat menggambarkan alasan yang mendasari keinginan mempertahankan kepemilikan nasional di GOTO.

Argumentasi yang disebutkan antara lain terkait keamanan data dan perlindungan ekosistem digital nasional. Aspirasi agar Danantara ikut terlibat dalam mempertahankan kepemilikan nasional ini juga tercermin dari kalimat berikut:

“Skema M&A GoTo–Grab perlu didesain agar melibatkan Indonesia, khususnya pemerintah melalui Danantara untuk mengakuisisi mayoritas saham GoTo-Grab. Di mana, perusahaan hasil M&A adalah perusahaan monopoli dalam ekosistem digital nasional.”

Saya berpendapat masih terlalu dini membicarakan kepemilikan pemerintah dalam perusahaan hasil merger-akuisisi tersebut.

Loncatan pembicaraan ke kepemilikan nasional justru berisiko menjustifikasi merger-akuisisi yang harusnya tak boleh dilakukan. Seakan-akan monopoli menjadi tidak masalah ketika pemerintah ikut memiliki perusahaan gabungan Grab dan Gojek itu.

Jadi Stempel Pengesahan Merger & Akuisisi

Telkom dan Indosat

Dan kepemilikan pemerintah ini juga bisa dimanfaatkan untuk mengesahkan merger-akuisisi tersebut padahal asing masih memiliki bagian kepemilikan besar.

Kekhawatiran bahwa pemerintah akan dirugikan seperti kasus investasi Telkom di GOTO juga tidak bisa dinafikan.

Kemungkinan pemerintah membeli terlalu mahal saham hasil merger cukup besar mengingat merger tersebut akan menyebabkan kenaikan valuasi perusahaan hasil merger tersebut karena potensi laba besar dari monopoli.

Jika kemudian pemerintah baru masuk membeli saham pasca merger tersebut, maka pemerintah akan perlu membayar harga yang sudah telanjur tinggi dan mungkin terlalu tinggi karena pasar biasanya overshoot dalam bereaksi terhadap perubahan.

Bahaya yang lebih besar adalah kerugian masyarakat menjadi diabaikan karena pemerintah akan ikut menikmati hasil monopoli tersebut. Danantara yang menjadi tangan investasi pemerintah punya kewajiban menyetor keuntungan pada pemerintah.

Sementara keuntungan itu tidak akan hanya dinikmati pemerintah saja. Grab akan masih memiliki bagian signifikan dari saham Gojek. Sebagian rente monopoli itu masih dinikmati oleh swasta dan asing.

Masuknya pemerintah dalam kepemilikan disambut baik tidak lain karena berperan melenggangkan jalan merger-akuisisi.

Kita perlu mewaspadai kemungkinan bahwa pewacanaan kepemilikan pemerintah dengan dalih kedaulatan nasional ini justru merupakan cara untuk melanggengkan rencana merger-akuisisi tersebut.

Waspadai Gejala Penyatuan Layanan

Jika pemerintah/Danantara tergiur akan potensi keuntungan dari investasi ke perusahaan hasil merger, maka KPPU bisa diredam, aturan anti monopoli bisa dibelokkan.

Masyarakat perlu mencermati perubahan yang terjadi di layanan aplikasi ojek jika mulai nampak tanda-tanda penyatuan layanan.

Dapat pula layanan tetap terpisah, namun sinkronisasi harga yang tidak lagi menunjukkan persaingan, serta tarif yang meningkat dapat merupakan pertanda bahwa ada koordinasi erat antar manajemen kedua layanan tersebut.

Dengan ataupun tanpa merger, koordinasi kenaikan harga ini merupakan kartel yang juga merupakan wujud monopoli.

Masyarakat belum tentu dapat menyerahkan pengawasan sepenuhnya pada KPPU. Apalagi terdapat kecenderungan KPPU untuk relatif longgar dalam menerapkan aturan anti monopoli di industri ojek online.

Ketika Grab mengakuisisi Uber, KPPU tidak menilainya sebagai pelanggaran. Padahal di Singapura Grab dikenai denda hingga US$13 juta karena kasus itu.

Demikian pula bakar uang yang sangat masif di industri ini tidak pernah ditetapkan sebagai praktik predatory pricing oleh KPPU.

Padahal, jelas Grab dan Gojek melakukan jual rugi dan akibatnya banyak pemain kecil hingga pemain sebesar Uber yang berhenti operasi karena tidak mampu mengikuti perang harga tersebut.

Baca Juga: Mempertahankan Karya Anak Bangsa dalam Rencana Akuisisi Grab atas GOTO

Masyarakat perlu mendeteksi dan menolak merger-akuisisi Grab dan Gojek serta praktik-praktik anti persaingan lainnya yang dilakukan keduanya.

Masyarakat juga perlu memberikan tekanan pada KPPU untuk menjalankan perannya dengan benar dalam mengawasi dan menjaga persaingan usaha di Indonesia.***

Untuk menikmati berita di berbagai dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\