Muhammad Syarkawi Rauf

Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).

Perkembangan ekonomi digital di negara-negara ASEAN sangat pesat dengan pertumbuhan dua digit secara tahunan (year on year/yoy), sekitar 15% tahun 2024.

Hal ini ditunjukkan oleh gross merchandise value (GMV) ekonomi digital tahun 2024 yang mencapai US$263 miliar, menurut riset Temasek–Google. Diperkirakan nilai ekonomi digital mencapai US$1.010 triliun dalam 5 tahun ke depan, tahun 2030.

Bisnis ekonomi digital ASEAN didominasi oleh e-commerce, seperti marketplace, penjualan langsung ke konsumen, penjualan grosir dan video commerce yang diperkirakan mencapai 325 milyar dolar AS tahun 2030.

Secara khusus, bisnis pengantaran makanan (food delivery) mencapai US$19 miliar tahun 2024 dan diperkirakan sekitar US$34 miliar tahun 2030. Dari sisi revenue, jasa pengantaran makanan tumbuh 54% tahun 2024 dengan nilai mencapai US$1,7 miliar.

Sejalan dengan laporan Temasek dan Google mengenai e-Economy di ASEAN menunjukkan bahwa pertumbuhan keuntungan bisnis digital ASEAN sangat pesat, yaitu dua digit, sebesar 24% tahun 2024. Nilai keuntungan ekonomi digital ASEAN mencapai US$11 miliar tahun 2024.

Pertumbuhan ekonomi digital secara regional ASEAN akan semakin tinggi dalam beberapa tahun mendatang seiring dengan peningkatan jumlah pengguna internet di ASEAN yang mencapai 73%–83% tahun 2024.

Fakta menunjukkan bahwa pengguna internet secara regional ASEAN meningkat sangat signifikan dalam lima tahun terakhir, yaitu lebih dari 100 juta pengguna baru.

Penduduk ASEAN Aktif Membeli Produk Digital

ASEANDari total penduduk ASEAN yang berjumlah 612 juta pada 2024, terdapat sekitar 55%-65% konsumen dari total populasi ASEAN yang aktif membeli produk ekonomi digital.

Kurang lebih separuh populasi ASEAN tersebut berada di Indonesia dengan jumlah penduduk 280 juta pada 2024. Ini setara dengan 45,75% dari total populasi ASEAN, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Secara nasional, terdapat potensi pasar ekonomi digital yang sangat besar mengingat pengguna internet di Indonesia masih sekitar 69,12% dengan nilai ekonomi digital US$90 miliar (2024).

Angka ini lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 97,69% dari populasinya sekitar 35 juta orang dengan nilai ekonomi digital US$31 miliar.

Populasi Indonesia sendiri delapan kali lebih besar dari populasi Malaysia. Jika pengguna internet aktif di Indonesia setara dengan Malaysia, yakni 97,69%, maka nilai ekonomi digital nasional seharusnya sekitar US$248 miliar pada tahun 2024.

Hingga kini, nilai ekonomi digital Indonesia menjadi yang terbesar di ASEAN, yaitu sekitar US$90 miliar atau 34% dari total nilai ekonomi digital ASEAN tahun 2024. Diperkirakan, nilai ekonomi digital Indonesia mencapai US$360 miliar (2030).

Angka di atas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, negara dengan ekonomi digital nomor dua di ASEAN yang nilainya diperkirakan US$200 miliar (2030).

Demikian juga dengan Filipina dengan populasi nomor dua di ASEAN yang nilainya diproyeksikan hanya US$150 miliar (2030).

Posisi Strategis Indonesia

e-commerce

Tren di atas sejalan dengan perkembangan bisnis e-commerce nasional terbesar di ASEAN, yaitu US$65 miliar, yang diprediksi akan menjadi US$100 miliar dalam 5 tahun ke depan--setara 35%–45% dari total nilai bisnis e-commerce ASEAN.

Artinya, Indonesia merupakan market leader dalam proyeksi pengembangan bisnis e-commerce ASEAN, dibandingkan dengan Vietnam (US$63 miliar), Thailand (US$60 miliar), Malaysia (US$25 miliar), Filipina (US$60 miliar) dan Singapura (US$17 miliar).

Dari sisi struktur pasar digital hingga tahun 2024, hampir semua negara ASEAN dimonopoli oleh satu pemain besar yang merupakan pemain asing.

Hal ini kontras dengan Indonesia, sebagai pasar ekonomi digital terbesar ASEAN didominasi oleh pemain lokal, yaitu GOTO. Sementara pemain asing, porsinya lebih kecil.

Sejalan dengan fakta-fakta di atas, tidak berlebihan jika pasar digital nasional menjadi perhatian pemain ekonomi digital global, seperti Grab yang berpusat di Singapura yang berencana mengakuisisi GOTO sebagai platform digital terbesar di Indonesia.

Seperti yang saya kutip dari Reuters, Badan Pengelola Investasi Danantara (Daya Anagata Nusantara) berencana berpartisipasi mengakuisisi GOTO dengan membeli saham minoritas setelah Grab mengakuisisi GOTO.

Keterlibatan Danantara sangat strategis dalam konteks kepentingan nasional menyelamatkan karya anak bangsa dari penguasaan asing.

Pasalnya, prospek bisnis digital di Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai US$360 miliar atau Rp5.832 triliun dalam lima tahun ke depan, tahun 2030.

Siapa yang Mengarahkan Danantara?

Artinya, jika benar Danantara Indonesia mengkaji dan masuk dalam akuisisi ini, saya kira ini arahan dari Presiden. Dan tentu ini bukan tentang siapa melobi siapa.

Tapi, pelibatan Danantara Indonesia sebagai bentuk kepedulian presiden Prabowo terhadap industri strategis yang menyangkut hajat hidup 280 juta penduduk Indonesia.

Hal ini juga berkaitan dengan ekosistem digital raksasa yang mencakup puluhan bahkan ratusan juta data, sehingga sangat wajar jika presiden punya perhatian khusus. Menurut saya, tidak menteri yang berani dan mampu menggerakkan Danantara.

Selama ini, Presiden Prabowo adalah tokoh yang sudah puluhan tahun mengangkat isu-isu kedaulatan ekonomi nasional, mulai dari kedaulatan pangan hingga kedaulatan nasional dalam bidang digital.

Menurut saya, hal ini, tidak hanya terkait dengan ekonomi an sich, tetapi juga berkenaan dengan menjaga kedaulatan data sebagai sumber daya baru selain hasil tambang, seperti nikel, batu bara, minyak dan gas.

Singkatnya, jika benar Danantara akan masuk, maka ini menjadi solusi terbaik bagi semua pihak.

Keterlibatan pemerintah yang diwakili oleh Danantara dalam akuisisi GOTO membuat pemerintah memiliki kendali terhadap kebijakan perusahaan yang pro kesejahteraan driver dan pelaku UMKM.

Jika akuisisi ini benar-benar terjadi, maka terdapat sekitar 6 juta mitra driver ojek online yang bergabung. Masing-masing pengemudi diperkirakan memiliki 4 anggota keluarga sehingga terdapat 24 juta orang yang terlibat di dalamnya.

Demikian juga dengan mitra Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya sekitar 20 juta. Jika diasumsikan setiap mitra UMKM mempekerjakan 3 orang-4 orang maka terdapat sekitar 60 juta–80 juta orang penduduk Indonesia yang terlibat.

Negara Hadir Membela Jutaan Mitra GOTO

Sehingga ke depan, idealnya, komposisi kepemilikan saham hasil merger dan akuisisi adalah Grab, GOTO, dan pemerintah Indonesia melalui Danantara dengan besaran saham sesuai kesepakatan.

Komposisi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan formasi Grab mengakuisisi Goto yang berujung pada potensi perilaku monopoli dan penguasaan data oleh asing.

Pertimbangan lain, mengingat pasar ekonomi digital Indonesia terbesar di ASEAN dan untuk kepentingan data security maka keterlibatan pemerintah memungkinkan pengendalian kebijakan perusahaan hasil merger dan akuisisi dalam berbagai aspek.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa penggabungan dua entitas besar dalam ekosistem digital nasional yang selama ini melakukan perang harga, bisa meminimalisir biaya.

Biaya-biaya yang selama ini dikeluarkan untuk perang tarif dapat digunakan untuk program-program menyejahterakan mitra, mulai dari jaminan sosial, kesehatan, dan lainnya.

Hal ini juga sejalan dengan pendapat Jean Tirole, ekonom Perancis, peraih nobel ekonomi 2014 mengenai kekuatan pasar dan regulasi.

Menurut dia, di pasar yang hanya terdapat satu atau dua perusahaan yang memiliki kemampuan mendikte pasar, maka pemerintah harus hadir. Salah satu bentuk kehadiran negara adalah dengan regulasi.

Baca Juga: Countercyclical Policy untuk Menahan Pelemahan Ekonomi

Akhirnya, keterlibatan Danantara dalam rencana akuisisi GOTO akan mempermudah pemerintah mengarahkan ekonomi digital nasional.

Hal ini sejalan dengan pengalaman AS dalam akuisisi sektor strategis nasional, yaitu Nippon Steel dengan US Steel dengan memberikan golden share kepada pemerintah AS.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.