Muhammad Syarkawi Rauf

Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).

Ekonom John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and Money yang dipublikasikan tahun 1936 menandai terjadinya pergeseran pemikiran dalam ilmu ekonomi.

Gagasan Keynes menekankan pada countercyclical fiscal policy, yaitu peran kebijakan fiskal dalam melawan pelemahan ekonomi, seperti yang sedang dihadapi Indonesia saat ini.

Siklus pelemahan ekonomi Indonesia terjadi sejak kuartal pertama 2025 yang ditandai oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi secara tahunan menjadi 4,87%, lebih rendah dari ekspektasi sekitar 4,91% dan pertumbuhan kuartal keempat tahun 2024.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, salah satunya karena penurunan permintaan domestik--dalam hal ini konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang tertinggi dalam pertumbuhan ekonomi.

Selain itu juga karena gangguan permintaan eksternal (ekspor) akibat perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan China dan puluhan negara lainnya.

Penurunan permintaan dalam negeri dapat diamati pada terjadinya deflasi, di mana indeks harga konsumen (IHK) mengalami penurunan sebesar 0,37% pada Mei 2025 dibandingkan inflasi April 2025.

Sejak 2005 hingga 2025, inflasi rata-rata secara nasional sekitar 0,42%: kenaikan IHG tertinggi sebesar 8,7% pada Oktober 2005 dan terendah sebesar -0,76% (deflasi) pada Januari 2025.

Hal ini sejalan dengan perkembangan inflasi tahunan (year on year) pada Mei 2025 yang menurun menjadi 1,6% dari 1,95% pada April 2025. Inflasi tahunan berada dalam target Bank Indonesia (BI) sebesar 1,5%–3,5%.

Resep Keynes yang Bisa Dipraktikkan

IMF

Pelemahan nasional juga tercermin pada proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional oleh International Monetary Fund (IMF) dari sekitar 5,1%– 5,2% menjadi hanya 4,7% pada 2025, atau melambat sekitar 0,4%– 0,5%.

Lalu, langkah apa yang dapat dilakukan untuk menahan laju pelemahan ekonomi nasional?

Sejalan dengan Keynes, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan stimulus fiskal dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk mendorong permintaan masyarakat.

Langkah kedua adalah kebijakan moneter ekspansif melalui relaksasi suku bunga acuan, BI rate, sebesar 25 basis points, yaitu dari 5,75% menjadi 5,5%.

Kebijakan ini dilakukan untuk menurunkan suku bunga kredit yang pada gilirannya diharapkan meningkatkan permintaan kredit, baik untuk investasi maupun konsumsi.

Kebijakan moneter ekspansif BI sejalan dengan kecenderungan inflasi yang menurun menjadi 1,6%, berada dalam target BI sebesar 2,5% plus minus 1%.

Permasalahannya sekarang adalah seberapa efektif kebijakan moneter penurunan BI rate mendorong permintaan kredit.

Hal ini tergantung pada efektifitas transmisi instrumen kebijakan moneter BI rate mempengaruhi suku bunga kredit, konsumsi masyarakat dan investasi.

Pengalaman menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter ke sektor riil membutuhkan waktu 3 bulan hingga setahun. Hal ini memberikan sinyal bahwa efek kebijakan moneter ekspansif paling cepat, berdampak ke sektor rill pada kuartal ketiga 2025.

Duet Kebijakan Moneter dan Fiskal

Airlangga HartartoSejalan dengan fenomena di atas, dalam rangka menahan laju pelemahan ekonomi, diperlukan bauran kebijakan moneter dan fiskal. Harapannya, kedua instrumen kebijakan tersebut dapat meningkatkan konsumsi masyarakat dan investasi.

Langkah pemerintah dari sisi fiskal adalah memberikan stimulus fiskal sebesar Rp24,4 triliun.

Stimulus diberikan melalui sektor transportasi, bantuan sosial, subsidi upah bagi pekerja dengan upah di bawah upah minimum, insentif jalan tol, dan tambahan bantuan pangan beras untuk setiap rumah tangga target dalam dua bulan, Juni dan Juli 2025.

Insentif sektor transportasi dan tarif tol menyasar kelompok kelas menengah dan menegah atas sehingga mobilitasnya lebih tinggi pada masa libur sekolah. Hal ini diharapkan memberikan multiplier effect terhadap perekonomian secara keseluruhan.

Insentif fiskal lainnya, seperti bantuan sosial, subsidi upah, dan bantuan pangan lebih banyak terfokus pada kelompok rentan dan juga kelompok miskin sehingga konsumsinya bisa bertahan di tengah pelemahan ekonomi nasional.

Akhirnya, countercyclical policy, baik dari sisi fiskal maupun moneter belum akan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi.

Dampaknya, lebih banyak bersifat menahan laju pelemahan ekonomi nasional sehingga pertumbuhan tetap terjaga sesuai proyeksi IMF, sebesar 4,7% pada tahun 2025.

Baca Juga: TIPS KEBIJAKAN: Menjaga Rupiah di Tengah Memudarnya Peran Amerika

Langkah lanjutan yang diperlukan adalah memberikan insentif khusus kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk melakukan ekspansi.

Insentif diberikan dalam bentuk subsidi bunga dari sisi pembiayaan bank, insentif perpajakan dari sisi fiskal dan perluasan akses pasar baik domestik maupun ekspor.

Guna memberikan keleluasaan bagi UMKM melakukan ekspansi, relaksasi pembayaran kredit juga dapat menjadi opsi. Termasuk memikirkan ulang pembatalan penerapan diskon pembayaran listrik kepada sekitar 79,5 juta rumah tangga.***

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.