Jakarta, TheStanceID – Belakangan ini video di media sosial menjadi viral di mana seorang pendaki diusir dari tendanya saat di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, dengan dalih lahan tersebut sudah dipesan alias dikapling penyelenggara open trip.

Sebagai informasi, open trip (pemandu wisata gunung) adalah layanan pendakian yang diorganisasi oleh biro perjalanan atau operator wisata. Mereka menentukan jadwal, guide, porter, dan peserta yang sudah mendaftar.

Karena membawa rombongan besar, biasanya mereka mengirim porter atau pendaki lebih dulu ke lokasi buat “booking” tempat.

Dalam video yang diunggah akun tiktok @anakpakdo, seorang pendaki perempuan dan temannya diusir porter saat mendirikan tenda di pos Plawangan 2. Padahal sebelumnya, mereka sudah bertanya dan mendapat izin.

Tidak mau berdebat lebih panjang, mereka memilih pindah dan mencari spot lain. Warganet dan komunitas pendaki bereaksi keras karena praktik "booking lahan camp" oleh rombongan open trip ini juga terjadi di sejumlah gunung lain di Indonesia.

Selain di Gunung Rinjani, beredar pula video yang diunggah akun TikTok @dinokicikh. Dalam video, lahan kamping sudah dipenuhi tenda milik penyelenggara jasa open trip di Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Akibatnya, si pendaki tak bisa mendirikan tenda di lokasi itu. Tagar seperti #GunungBukanHotel dan #TigaDewaOpenTrip pun langsung ramai digunakan warganet untuk memprotes maraknya fenomena tersebut.

Mayoritas mengecam praktik "booking lahan camp," menganggapnya tidak sesuai dengan etika pendakian. Gunung adalah ruang publik yang seharusnya terbuka untuk dinikmati publik, selama tidak melanggar kapasitas dan aturan umum di gunung.

Bantah Kapling Lahan Kamping

tiga dewa

Tiga Dewa Adventure Indonesia selaku operator penyelenggara open trip di video viral itu pun akhirnya buka suara. Lewat akun Instagram, mereka membantah tuduhan monopoli atau booking lahan kamping yang berujung pengusiran pendaki.

Mereka menyatakan tidak pernah melakukan praktik tersebut dan siap menempuh jalur hukum terkait penyebaran berita hoaks yang dinilai telah mencemarkan nama baik organisasi.

"Kami dari itu para kru lokal kita semua sudah dirapatkan, bahwasanya dari pihak tim Tiga Dewa itu tidak ada yang pernah dinamakan untuk booking area camp," kata pemilik Tiga Dewa Adventure Indonesia, Muhammad Rifqi Maulana dalam keterangannya.

Menurut Rifqi, dalam melayani tamu open trip wisata pendakian, pihaknya juga bekerja sama dengan tim lokal untuk memaksimalkan pelayanan dan tidak mengecewakan peserta.

Ia mencontohkan, tenda dan keperluan lainnya sudah dibawa naik dulu oleh porter atau tim lokal. Soal pendirian tenda bagi peserta di area kamping, Rifqi mengatakan itu diatur agar tidak sampai memenuhi lokasi.

"Memang di setiap gunungnya itu Tiga Dewa lah menjadi sorotan para open trip atau pendaki lainnya. Begitu. Karena memang paling ramai dan memang lahan camp-nya itu kita set up," ujarnya.

Rifqi juga membantah bahwa tenda-tenda itu berada di lokasi sampai berhari-hari. "Kalau sudah selesai itu kita bawa turun, karena kan memang harus dicuci juga. Jadi nggak mungkin kita namanya tenda itu kita berhari-hari di atas gunung."

Meski demikian, Rifqi juga menegaskan, pihaknya akan melakukan penindakan jika ada oknum dari tim Tiga Dewa yang terbukti melakukan pengusiran terhadap pendaki lain di lokasi camp.

Regulasi untuk Cegah Monopoli Lahan Kamping

Fiersa besari

Menyikapi polemik praktik pemesanan lahan untuk kamping di gunung, musisi yang juga gemar mendaki gunung, Fiersa Besari menilai sebenarnya praktik porter datang duluan untuk mendirikan tenda bagi peserta open trip itu hal yang biasa.

Namun, persoalan menjadi serius ketika peserta trip terlalu banyak hingga terkesan menguasai seluruh lahan, apalagi sampai mengusir pendaki mandiri yang udah terlebih dulu berada di spot tersebut.

“Kalau pendaki sudah mendirikan tenda kemudian diusir karena dibilang itu lahan milik peserta TO, itu salah sih menurut saya. Itu sama saja menghilangkan kesempatan seseorang,” kata Fiersa Besari lewat akun Instagram pribadinya @fiersabesari.

Untuk itu, ia menekankan perlunya regulasi yang mengatur agar operator trip tidak mencaplok semua area kamping. "Kalau pos terbatas, harusnya ada pembagian adil. Pendaki mandiri juga punya hak,” ujar Fiersa Besari.

Fiersa juga mengingatkan agar publik tidak serta-merta menyalahkan semua peserta open trip yang ikut dalam pendakian. Apalagi tidak semua orang punya kemampuan mendaki secara mandiri.

Kehadiran operator trip, menurut Fiersa, justru membantu membuka akses wisata ke gunung bagi banyak orang, sekaligus bisa menjadi sarana mitigasi risiko kecelakaan.

“Setahu saya, enggak semua orang sekuat Anda semahir Anda. Tapi ingin tahu keindahan gunung seperti apa. Apalagi beberapa gunung memang mewajibkan lewat TO (Tour Operator),” jelasnya.

Kemenhut Tegur Penyelenggara Open Trip

Nandang Prihadi 2

Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Kementerian Kehutanan, Nandang Pribadi menegaskan pihaknya sudah menegur sejumlah penyelenggara open trip pendakian gunung yang diduga melakukan praktik booking lahan kemah.

Salah satunya operator trip Tiga Dewa Adventure Indonesia. Operator wisata itu diketahui turut disebut dalam polemik booking lahan camp di gunung yang kemudian viral di media sosial.

"Tidak hanya Tiga Dewa, menyampaikan di media sosial bahwa tidak ada booking area camp," tambah Nandang. Pihaknya menyayangkan adanya perilaku tak terpuji dari oknum penyelenggara open trip, pendaki, biro perjalanan, trekking organizer (TO) atau base camp (BC) yang melakukan tindakan melanggar etika dan aturan.

"Secara ketentuan tidak ada aturan booking area untuk mendirikan tenda. Jadi lebih ke cepat-cepatan sampai di area (kamping) aja," ujar Nandang.

Sebagai pengelola pendakian gunung di taman nasional, Nandang menyebut tidak dapat dan tidak akan menolerir praktik booking area camp tanpa izin, mengintimidasi atau mengusir pendaki lain, dan meninggalkan tenda meski pendakian selesai.

"Kami menyadari keterbatasan jumlah personel di lapangan. Maka dari itu, kami mengajak seluruh pendaki, porter, pemandu, dan pengunjung untuk saling mengingatkan dan menegur bila melihat pelanggaran," ujar Nandang.

Pendaki Dibatasi dan Wajib Booking Online

gunung gede

Meskipun gunung merupakan ruang terbuka untuk semua, jumlah pendaki yang akan melakukan pendakian di gunung harus dibatasi. Pendaki juga wajib mendaftar atau booking secara online terlebih dulu sebelum melakukan pendakian.

Aturan ini dibuat Pemerintah dengan tujuan untuk melindungi ekosistem di gunung, termasuk flora fauna yang ada di sana.

Apalagi sejumlah gunung di Indonesia merupakan wilayah konservasi dimana pengelolaannya diatur berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pengelolaan wisata alam sudah memiliki dasar hukum kuat, mulai dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang kewenangan pemda dalam pengelolaan pariwisata lokal, hingga Permen LHK No P13/ 2020 tentang pembangunan sarana wisata alam di area hutan.

Nandang menambahkan, kuota pendakian juga diperlukan untuk membatasi pendaki agar nyaman. Oleh karena itu, ada patroli petugas taman nasional dan para pihak lain untuk memastikan pendaki legal yang bisa mendaki gunung.

"Misalnya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango beberapa waktu lalu kita patroli ada banyak pendaki yang kita minta turun," ujarnya.

Baca Juga: Mengatasi Trauma Berulang di Kawasan Puncak

Tidak lupa, Nandang mengingatkan soal etika saat mendaki gunung yang mengikat siapa pun baik pendaki mandiri, open trip, porter, pemandu, maupun penyelenggara.

"Jadilah pendaki yang cerdas dan bertanggung jawab. Bukan yang sekadar sampai puncak, tapi juga tahu cara menjaga ruang publik bernama alam," pungkasnya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.