Oleh Ade Cahyadi Setyawan, Analis Kebijakan pada Badan Perlindungan Konsumen Nasional, yang juga merupakan Analis Kebijakan Ahli Pertama di Biro Advokasi Perdagangan Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan.
Jejaring internet dan media digital telah menjadi konsumsi mayoritas masyarakat di Indonesia, termasuk anak-anak. Bagaimana sebenarnya regulasi perlindungan anak-anak ketika mereka bertindak sebagai konsumen produk dan jasa digital?
Menurut data tahun 2024, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyampaikan bahwa pengguna internet di Indonesia berjumlah sekitar 221,56 juta orang. Angka yang cukup tinggi, tentunya.
Tingginya konsumsi media digital saat ini beririsan langsung dengan aspek perlindungan konsumen, yang pada masa transisi digital telah menjadi isu internasional.
Khususnya, konsumsi media digital yang dilakukan oleh anak-anak. Konsumsi layar media digital oleh anak-anak semakin meningkat, salah satunya karena hadirnya kidfluencer.
Meski demikian, peraturan yang menjamin perlindungan anak-anak dalam jagad digital belum menunjukkan dampaknya secara optimal.
Dalam konteks global, Uni Eropa bahkan ketinggalan dengan mendorong adanya regulasi pelindungan konsumen anak di ranah media digital. Proposal bertajuk Digital Fairness Act sedang disiapkan, dan diharapkan selesai dan disetujui pada awal 2026.
Salah satu hal yang cukup menjadi perhatian adalah penggunaan mata uang virtual pada gim daring, yang diduga tidak transparan, mengaburkan harga serta mendorong pengeluaran yang berlebihan.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sudah selangkah lebih maju dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.
Bertindak sebagai pengampunya adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.
Namun secara bersamaan muncul perkembangan yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 terdapat 46,2% anak-anak usia 0-18 tahun yang mengalami kecanduan gim online.
Hal ini tentu berisiko besar mengganggu kesejahteraan anak, terutama terkait dengan dampak buruk adiksi gim online.
Secara langsung, aturan mengenai perlindungan konsumen anak juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 72 Ayat (6) di UU tersebut secara tegas menyebutkan bahwa peran dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
kebijakan perusahaan yang berperspektif anak;
produk yang ditujukan untuk Anak harus aman bagi anak;
berkontribusi dalam pemenuhan Hak Anak melalui tanggung jawab sosial perusahaan.
Baca Juga: Perlindungan Konsumen Pertunjukan Musik di Indonesia Perlu Diupdate
Berbagai instrumen kebijakan tersebut diharapkan segera diikuti dengan peningkatan koordinasi dan sinkronisasi antar Kementerian dan Lembaga, yang kemudian menjadi garda pelindungan konsumen anak di ranah digital.
Harapannya, anak-anak Indonesia dapat terhindar dari risiko tereksploitasi untuk berperilaku konsumtif secara berlebihan di ranah media digital.***
Simak info kebijakan publik & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.