Jakarta, TheStanceID – Pemerintah pusat memberikan kelonggaran bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk menyelenggarakan rapat ataupun pertemuan di hotel.

Kebijakan ini merupakan dukungan terhadap pemulihan perekonomian daerah, khususnya sektor perhotelan dan pariwisata.

Hal tersebut disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat menghadiri acara Musrenbang provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Kota Mataram, Rabu (4/6/2025).

"Daerah boleh melaksanakan kegiatan di hotel dan restoran," kata Tito.

Tito Karnavian

Menurut Tito, pemerintah melakukan efisiensi untuk kepentingan rakyat, tetapi tidak berarti dilarang untuk kegiatan di hotel dan restoran. "Silakan asal jangan berlebihan," katanya.

Tito juga mengingatkan pemda harus selektif memilih hotel-hotel yang mengalami penurunan okupansi untuk melaksanakan kegiatan di sana.

"Kurangi boleh tapi jangan sama sekali enggak ada, tetap laksanakan kegiatan di hotel dan restoran. Target hotel dan restoran yang agak kolaps-kolaps, buatlah kegiatan di sana, supaya mereka bisa hidup," tambah Tito.

Terkait hal ini, Tito mengeklaim, sudah mendapatkan persetujuan langsung dari Presiden Prabowo Subianto.

Sri Mulyani Tetapkan Biaya Perjalanan Dinas

sri mulyani

Tak berselang lama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga telah menetapkan tarif biaya menginap bagi aparatur sipil negara atau ASN.

Ketentuan tarif itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026.

Aturan ini membeberkan rincian biaya menginap saat perjalanan dinas untuk para menteri, wakil menteri, dan ASN berdasar daerahnya.

Biaya yang ditanggung pemerintah, dimulai dari yang terendah sebesar Rp576 ribu hingga Rp9,33 juta per hari.

Tarif terendah diperuntukkan bagi pejabat eselon IV atau PNS golongan I, II, dan III saat melakukan perjalanan dinas di Kalimantan Barat.

Sedangkan, tarif tertinggi berlaku untuk pejabat negara atau wakil menteri atau pejabat eselon I yang melakukan perjalanan dinas di DKI Jakarta.

Awal Tahun 2025, Prabowo Keluarkan Inpres Efisiensi

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto pada 22 januari 2025 menerbitkan instruksi presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025.

Lewat Inpres tersebut, Prabowo meminta sejumlah pimpinan Kementerian dan Lembaga (K/L) hingga pimpinan daerah, melaukan efisiensi anggaran.

Prabowo mewajibkan membatasi belanja untuk kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, pencetakan, publikasi, dan seminar atau FGD, dan mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%.

Dengan pemangkasan itu, Prabowo berharap anggaran APBN dan APBD bisa dihemat hingga Rp306,69 triliun.

Efisiensi ini setara dengan 8,47% dari total APBN 2025, yang ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun.

Industri Perhotelan Lesu dan Marak PHK

Maulana Yusran

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut penurunan daya beli masyarakat dan langkah efisiensi pemerintah memberikan dampak besar atas lesunya industri perhotelan nasional.

Kebijakan efisiesi anggaran pemerintah juga berimbas pada penurunan pendapatan sektor pendukung hotel seperti katering, transportasi, dan event organizer. Pendapatan mereka juga turun karena acara berkurang.

Menurut Yusran, acara-acara pemerintah di hotel memberi kontribusi cukup besar, hingga 60% dari total pendapatan.

Saat ini, kata Yusran, tenaga kerja perhotelan diperkirakan sebanyak satu juta orang. Namun, 50% di antaranya harus mengalami PHK imbas penurunan okupansi kamar dan minimnya gelaran acara.

"Biasanya kita menggunakan angka antara 1:5 dan 1:7 untuk mempekerjakan karyawan itu, di antara satu kamar itu bisa mencapai sekitar tujuh orang. Namun, sekarang ini sebagai dampak efisiensi, jumlah pekerjanya mungkin sudah menjadi turun 50%, sekitar 1:3. Jadi, satu kamar itu mewakili ada tiga tenaga kerja," kata Yusran.

Banyak Hotel Dijual karena Terancam Bangkrut

iklan hotel dijual

Belakangan juga muncul fenomena jual hotel karena lesunya pendapatan. Di beberapa situs jual beli properti banyak ditemukan pemilik hotel bintang dua hingga lima yang menawarkan aset mereka.

Berdasarkan penelusuran TheStanceID, hotel-hotel yang ditawarkan antara lain Hotel Gambir, Hotel Oyo di Senen, Hotel Goodrich Suite di Jakarta Selatan, serta hotel bintang dua dan tiga di Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Dalam situs jual beli properti tersebut, tertera keterangan bahwa hotel-hotel itu dijual dengan kisaran harga Rp70 miliar hingga Rp40 miliar, tergantung luas tanah dan bangunannya.

Terdapat pula hotel bintang empat dan lima yang ditawarkan. Seperti Hotel Aston di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dengan harga mencapai Rp800 miliar.

Selain di Jakarta, fenomena jual hotel juga terjadi di beberapa daerah lain. Seperti di Bogor, Bandung, Bali, Yogyakarta. Harga yang ditawarkan juga bervariasi mulai dari Rp19 miliar hingga Rp200 miliar.

Baca Juga: Pemangkasan Anggaran, Kebijakan Publik yang Mengkhianati Publik

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyambut positif kebijakan Mendagri yang kembali mengizinkan Pemda menggelar kegiatan hingga rapat di hotel.

Namun, ia mengaku ragu hal itu akan berdampak signifikan mengingat keterbatasan anggaran dari Pemda yang juga terdampak akibat efisiensi.

“Kalau kita melihat dari sisi anggaran pemerintah yang sudah dipotong, tentu kita juga nggak bisa terlalu berharap besar. Tapi kita tunggu nanti apakah ada implementasinya atau impactnya. Kita lihat dalam perjalanannya,” katanya.

Menurut Yusran saat ini yang dibutuhkan pemilik dan pengelola hotel adalah intervensi pemerintah untuk mendorong terselenggaranya event-event di daerah.

“Karena yang kami butuhkan itu sebenarnya pasar. Bagaimana pemerintah mendorong berbagai event di setiap daerah. Itu sangat dibutuhkan untuk menghidupkan kembali sektor perhotelan dan restoran,” katanya.

Kementerian Pariwisata Dorong Hotel Diversifikasi Produk

Ni Luh Puspa

Menanggapi keluhan pelaku sektor perhotelan, Wakil Menteri Pariwisata (Wamenpar), Ni Luh Puspa, menilai kebijakan terbaru yang memperbolehkan pemerintah daerah kembali menggelar rapat di hotel menjadi angin segar bagi industri pariwisata, khususnya sektor MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition).

Namun, Puspa mengingatkan ketergantungan terhadap dana pemerintah tidak bisa menjadi strategi jangka panjang. Pemerintah bakal terus mendorong diversifikasi produk dari pelaku usaha pariwisata.

“Jadi jangan karena dibuka seperti ini tapi terus kemudian terus-terusan bergantung dengan APBN/APBD, jangan gitu. Kami mendorong teman-teman di sektor pariwisata utamanya yang punya hotel, ini kan bisnis. Bisnis berarti harus bisa mengembangkan diversifikasi produknya,” katanya.

Apalagi, Puspa memperkirakan hanya sekitar 40 hingga 50 persen dari kapasitas hotel yang akan terisi lewat kegiatan pemerintah.

Oleh karena itu, pelaku industri perhotelan didorong untuk memaksimalkan sisa kapasitas tersebut lewat inovasi dan strategi bisnis lainnya.

Puspa mengungkapkan saat ini Kementerian Pariwisata (Kemenpar) juga masih merancang bentuk dukungan atau insentif yang bisa diberikan kepada sektor perhotelan.

Salah satu opsi yang tengah dipertimbangkan adalah paket-paket bundling agar masyarakat tertarik menginap di hotel.

Harus Ada Intervensi Pemerintah

Kepada TheStanceID, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios). Nailul Huda, mengatakan kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah itu sejak awal telah diprediksi akan memberikan dampak signifikan terhadap sektor perhotelan.

Kondisi itu dikarenakan pemerintah selama ini menjadi segmen pasar utama bagi industri perhotelan.

Sementara di sisi lain, kondisi ini semakin diperparah karena permintaan dari sisi swasta juga tertekan akibat daya beli.

Huda menilai perlu adanya intervensi pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Sebab, jika tidak dampaknya bisa meluas karena turut mengancam pelaku UMKM, pariwisata, serta tenaga kerja.

"Semuanya akan menurun akibat sektor perhotelan yang menurun. Yang kita khawatirkan adalah semakin banyak PHK akibat sepinya perhotelan, dan sekarang sudah terjadi efisiensi di perhotelan," ungkapnya.

Apalagi, survei yang dilakukan PHRI DKI Jakarta pada April 2025 sebelumnya menunjukkan 70 persen pelaku usaha di sektor perhotelan telah siap melakukan PHK jika tidak ada langkah intervensi konkret dari pemerintah.

Huda pun mendorong pemerintah untuk memikirkan ulang kebijakan efisiensi anggaran terkait perjalanan dinas dalam negeri.

Menurutnya pemerintah perlu membuka kembali anggaran terhadap kegiatan tersebut demi menopang industri perhotelan.

"Belanja barang berupa kunjungan ke lapangan dan acara di hotel bisa dilakukan kembali untuk mendorong sektor perhotelan dan pariwisata, terutama untuk di daerah luar Jabodetabek. Ciptakan permintaan dari sisi pemerintah untuk sektor perhotelan," katanya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.