Jakarta, TheStanceID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer alias Noel, sebagai tersangka kasus pemerasan pada pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
Noel ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lainnya. Mereka merupakan pihak yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Rabu lalu (20/8/2025).
"KPK melakukan penahanan kepada para tersangka untuk 20 hari pertama," kata Ketua KPK, Setyo Budianto, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025).
Pemerasan ini terjadi sejak 2019 hingga saat ini. KPK menemukan aliran dana sebesar Rp 81 miliar dalam kasus ini.
"Uang tersebut mengalir ke beberapa pihak, yaitu sejumlah Rp 81 miliar," lanjut Setyo.
Wamenaker Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG) atau sering disapa Noel, menerima uang sebesar Rp3 miliar dari pemerasan K3. Noel menerima uang panas tersebut pada akhir tahun lalu, 2 bulan setelah menjabat.
"Yaitu IEG sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024," ujar Setyo.
KPK juga telah menyita sejumlah orang bukti berupa uang dan 22 kendaraan dengan rincian 15 unit mobil dan 7 unit motor.
Menjawab Keraguan Publik pada KPK
OTT KPK terhadap Noel ini mendapat perhatian publik. Ini karena Noel tercatat sebagai orang pertama di Kabinet Presiden Prabowo Subianto yang tersandung kasus dugaan korupsi.
Selain itu Noel terkenal yang relawan pendukung Joko Widodo di Pilpres 2019, meski kemudian beralih mendukung Prabowo Subianto dengan menjadi Ketua Relawan pada Pilpres 2024. Noel mengalihkan dukungan karena Jokowi dan Prabowo pada 2024 satu barisan.
Sejumlah kalangan menilai, melalui OTT ini KPK mulai kembali menunjukkan taringnya setelah lembaga ini dinilai melempem pasca revisi Undang-Undang KPK pada 2019 yang menyunat sejumlah kewenangan lembaga antirasuah ini.
KPK tidak lagi menjadi lembaga independen karena posisinya yang berada dibawah eksekutif.
Belum lagi melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), KPK harus kehilangan sejumlah penyidik terbaiknya.
KPK di era Firli Bahuri dinilai terlalu sibuk dengan pimpinan yang bermasalah dan kerap menjadi alat politik pemerintah untuk menekan lawan politik.
Dari sisi rapor penindakan, KPK dinilai masih kalah dari penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan Agung yang berhasil membongkar kasus-kasus korupsi kakap.
Mulai dari korupsi proyek BTS Kominfo dengan kerugian negara Rp8 triliun, kasus minyak goreng Duta Palma senilai Rp78 triliun, hingga skandal tambang timah Bangka Belitung yang merugikan negara hingga Rp271 triliun.
Sementara, KPK hanya menangani kasus kecil yang baru menyentuh level kepala daerah dan DPRD.
Keraguan pada pimpinan KPK periode 2024-2029 kian bertambah karena salah satu pimpinan yang terpilih, Johanis Tanak, saat fit and propper test berencana menghapus OTT. Padahal OTT sering digunakan KPK dalam penindakan kasus korupsi.
KPK Mulai Bisa Lepas dari Belenggu Politik
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, menilai, langkah OTT terhadap Immanuel Ebenezer (Noel) ini menjadi bukti bahwa KPK mulai bisa lepas dari belenggu politik.
“Noel Ebenezer di-OTT. Dalam beberapa bulan terakhir KPK sudah mulai bisa terlepas dari belenggu politik tertentu dan menunjukkan taringnya,” kata Mahfud melalui akun X @mohmahfudmd, Kamis (21/8/2025).
Mahfud mengapresiasi kinerja KPK dan berharap lembaga antirasuah itu semakin agresif dalam membongkar kasus korupsi.
Tak lupa, Mahfud juga mengapresiasi Presiden Prabowo yang tidak berusaha melindungi pejabat dan bawahannya meski tersangkut kasus dugaan korupsi.
“Presiden Prabowo juga konsisten, tak melindungi pejabat meskipun dia anggota partainya. Lanjutkan Pak Presiden, buka pintu dan dorong KPK untuk memburu pejabat korup agar kembali disegani,” ujarnya.
Lebih lanjut, Mahfud mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi tidak harus selalu dilakukan dengan OTT. Dia pun mendorong KPK untuk mengonstruksi kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi.
“KPK perlu mengkonstruksi kasus yang banyak dilakukan oleh para pejabat. Tidak harus selalu OTT. Bravo KPK,” katanya.
KPK Tidak Tebang Pilih
Senada, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai dengan OTT terhadap Noel membuktikan KPK tidak tebang pilih.
"Saya mengapresiasi setinggi-tingginya kinerja KPK yang baru saja mengungkap kasus pemerasan oleh Wamenaker Noel, ini jadi bukti nyata bahwa KPK tidak tebang pilih dalam penindakan," kata Sahroni, Jumat (22/8/2025).
Menurutnya, siapa pun orangnya dan apa pun posisinya, tetap harus ditangkap jika melakukan tindak pidana korupsi.
"Siapa pun yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diproses secara hukum, tidak peduli posisinya apa atau dekat dengan siapa. Semua berdasarkan laporan dan temuan hukum," kata politisi Nasdem ini.
"Saya juga apresiasi KPK karena kali ini tegas menyebut OTT, dan memang sesuai faktanya, ada orangnya, ada transaksinya, dan ada buktinya. Jadi memang sesuai dengan definisi OTT yang sesungguhnya. Mantap, dua jempol," ujarnya.
Sebelumnya, Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, yang merupakan rekan separtai Ahmad Sahroni di Nasdem juga tersangkut kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya usai serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Sulawesi Tenggara (Sultra), Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Kamis (7/8/2025).
Tak Ada Koordinasi dengan Istana
Ketua KPK Setyo Budiyanto, menegaskan tidak ada koordinasi ke pihak Istana Negara terkait dengan OTT terhadap Noel.
"Tidak ada, tidak ada kami melakukan koordinasi dalam proses pelaksanaan kegiatan ini," kata Setyo dalam konferensi pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025).
Hal itu disampaikan Setyo menjawab pertanyaan soal ada tidaknya laporan kepada Presiden Prabowo Subianto mengenai penangkapan Noel.
Setyo mengatakan tindakan tersebut berawal dari penyelidikan. Dengan begitu, sifatnya tertutup.
"Pastinya karena sifatnya adalah tindakan penyelidikan, semuanya silent, dilakukan secara tertutup," ujarnya.
Sebelumnya, Mensesneg Prasetyo Hadi menyampaikan pemerintah prihatin dengan Wamenaker Immanuel Ebenezer atau Noel terjaring OTT KPK terkait pemerasan sertifikat K3.
Prabowo, menurut Prasetyo, mempersilakan KPK memproses hukum Noel sesuai dengan ketentuan berlaku. Jika terbukti bersalah, Noel akan segera dicopot dari jabatannya sebagai Wamenaker.
"Bapak Presiden sudah mendapatkan laporan dan beliau menyampaikan bahwa itu ranah hukum. Beliau menghormati proses di KPK dan dipersilakan untuk proses hukum itu dijalankan sebagaimana mestinya," ujar Prasetyo.
Independensi KPK Harus Diperkuat
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi atau PUKAT UGM, Zaenur Rohman, menilai Operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) kembali memunculkan sorotan tajam terhadap tata kelola birokrasi sekaligus menunjukan adanya penyakit akut dalam tubuh birokrasi.
“Kenapa satu perkara (kasus pungli TKA) belum selesai, sudah muncul perkara baru (pemerasan sertifikasi K3)? Ini menandakan ada patologi birokrasi yang sangat akut di Kemnaker. Bukan hanya soal aparatur sipil negara, tetapi juga menyangkut kepemimpinan,” kata Zaenur kepada TheStanceID, Jumat (22/8/2025).
Menurut Zaenur, modus korupsi yang biasanya terjadi di lingkungan kementerian antara lain jual beli pengadaan barang hingga kewenangan perizinan.
"Biasanya korupsi di kementerian itu antara jual beli pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan publik, atau yang ketiga kewenangan-kewenangan perizinan, persetujuan, kuota dan sejenisnya. Oleh karena itu, ini yang harus didalami oleh KPK," terangnya.
Meski mengapresiasi OTT KPK, Dirinya menilai, tujuan pemberian efek jera dalam pemberantasan korupsi masih belum berjalan efektif. Hal itu terlihat dari masih banyaknya pejabat yang berani melakukan praktik korupsi.
“Insentif korupsi itu besar, sementara disinsentifnya kecil. Orang bisa meraup puluhan miliar dalam sekejap, sedangkan ancaman hukumannya minim karena mudah dapat remisi, pembebasan bersyarat, bahkan peninjauan kembali yang sering dikabulkan. Asset recovery juga masih sulit,” ujarnya.
Zaenur pun mengingatkan agar pidato Presiden Prabowo Subianto tentang komitmen pemberantasan korupsi tidak berhenti di level retorika. “Orang tidak akan berhenti korupsi hanya karena dipidatoi. Harus ada kebijakan nyata,” katanya.
Salah satunya adalah independensi lembaga antirasuah tersebut yang harus kembali diperkuat.
"Peran presiden seharusnya memberikan dukungan nyata dengan mengembalikan independensi KPK, agar publik tidak bertanya-tanya, apakah KPK masih benar-benar independen atau tidak. Termasuk mendukung agar Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset segera disahkan," tambahnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.