Jakarta, TheStance – Ada saja kabar mengagetkan dari DPR RI. Selain anggotanya mendapatkan tambahan gaji dan tunjangan tahun depan, kini mereka menginginkan gerbong kereta untuk merokok.

Permintaan tersebut datang dari Anggota Komisi VI DPR RI Nasim Khan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI), Bobby Rasyidin, di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).

"Paling tidak, Pak, ini ada masukan juga. Gerbong yang selama ini, dulu ada, tapi setelah itu dihilangkan adalah sisakan satu gerbong untuk kafe ya kan, untuk ngopi, paling tidak di situ untuk smoking area, Pak," kata Nasim.

Berdalih banyak kereta tidak memiliki area merokok, dia berharap paling tidak dalam kereta ada satu gerbong khusus perokok. Nasim sangat yakin bahwa usulannya akan sangat bermanfaat bahkan menguntungkan KAI.

“Saya yakin itu pasti bermanfaat dan menguntungkan buat kereta api, ya kan? Pasti banyak itu, satu aja, terus smoking," tambahnya.

Terlebih kata dia, kereta jarak jauh dengan durasi misalnya delapan jam perjalanan cukup lama. Bahkan, bus saja yang memakan waktu hampir 10 juta memiliki area merokok.

“Masa kereta sepanjang itu, enggak ada? Satu gerbong, Pak, saya yakin bisa itu Pak ya," kata Nasim.

Baca Juga: Aksi Lempar Batu ke Kereta Makin Mengkhawatirkan, Ancam Keselamatan Nyawa Penumpang

Nasim mengeklaim bahwa apa yang disampaikannya merupakan aspirasi dari masyarakat. Khususnya datang dari masyarakat Jawa Timur, yang diharapkan dapat dipenuhi KAI.

"Ini aspirasi loh, Pak, Jawa Timur paling banyak ini semua se-Jawa ini paling banyak, Pak. Kasihan Pak, dia. Nilai kemanusiaan juga bisa diterima gitu," imbuhnya.

KAI Bersuara Lantang Menolak

Anne PurbaHanya berselang dua hari, KAI menolak keras permintaan Nasim. Vice President Public Relations KAI Anne Purba mengatakan bahwa mereka konsisten menjalankan aturan larangan merokok yang diberlakukan oleh Kementerian Perhubungan sejak 2014.

"Kami selalu memastikan bahwa perjalanan dengan kereta api memberikan kenyamanan maksimal bagi pelanggan, yang mencakup udara yang bersih dan sehat di dalam kereta. Kebijakan ini selaras dengan regulasi yang berlaku dan berfokus pada kualitas layanan kami," kata Anne dalam keterangan resmi, Kamis (21/8/2025).

Ia menambahkan, kebijakan tersebut berlandaskan pada Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 29 Tahun 2014, yang secara tegas melarang aktivitas merokok di seluruh moda transportasi umum, termasuk kereta api.

"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2012 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, angkutan umum, termasuk kereta api, telah ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR)," imbuh Anne.

Dalam penerapannya, KAI menempelkan stiker “Dilarang Merokok” di seluruh sarana transportasi penumpang yang beroperasi dan tidak menyediakan ruang khusus merokok di dalam rangkaian kereta.

Fasilitas merokok hanya tersedia di area tertentu di stasiun, sehingga penumpang tetap memiliki tempat yang sesuai untuk itu.

Perusahaan juga memberlakukan larangan merokok bagi seluruh petugas kereta selama masa tugas, dengan pengawasan ketat untuk menjamin aturan ini berjalan efektif.

"KAI menghargai berbagai masukan dan feedback, namun tetap mengacu pada regulasi dan kebutuhan menyeluruh untuk memastikan kenyamanan dan keselamatan bagi semua pelanggan," pungkas Anne.

Ide Paling Sembrono

Nasim KhanIndonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menilai usulan Nasim adalah ide paling sembrono terkait ruang publik. Mereka menyayangkan diksi seperti “menguntungkan” dan “bermanfaat” hanya demi memperjuangkan kepentingan perokok.

Apalagi, permintaan itu disampaikan di tengah krisis kesehatan akibat rokok dan upaya panjang membangun transportasi publik yang sehat dan modern.

Ketua IYCTC Manik Marganamahendra menilai wacana tersebut bukan hanya keliru, tetapi juga mengkhianati akal sehat, regulasi, serta komitmen pelayanan publik yang sudah terbukti berjalan.

“Usulan gerbong khusus merokok di kereta adalah kemunduran kebijakan. Merokok di ruang publik melanggar hak dasar atas udara bersih. Alih-alih memberi ruang untuk merokok, pemerintah seharusnya memperkuat layanan berhenti merokok dan melindungi transportasi publik sebagai kawasan tanpa rokok,” tegasnya, melalui keterangan tertulis.

Ia menuturkan, PT KAI sudah menetapkan seluruh rangkaian kereta sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sejak 2012, dengan sanksi tegas berupa penurunan penumpang bagi yang melanggar.

Aturan ini sejalan dengan PP No. 28/2024 dan UU Kesehatan No. 17/2023, yang menyebut transportasi umum sebagai KTR yang otomatis memposisikan KAI sebagai pelopor transportasi sehat.

"Menghidupkan kembali gerbong khusus merokok justru menjadi langkah mundur yang menghancurkan reputasi baik yang telah dibangun sejak era Bapak Ignasius Jonan, ketika reformasi KAI dijalankan dengan visi modernisasi, keselamatan, dan kenyamanan publik," ujar Manik.

Belajar dari Tragedi

Manik Marganamahendra

Manik menekankan bahwa pemerintah harus belajar dari tragedi yang pernah terjadi. Pada 1973, pesawat Varig 820 jatuh karena puntung rokok, yang menewaskan 123 orang. Kejadian itu menjadi dasar larangan merokok di penerbangan.

Tahun ini, publik Indonesia juga dikejutkan dengan kasus penumpang yang nge-vape di kabin pesawat Garuda, hingga meresahkan penumpang lain.

Kasus serupa juga kerap ditemui di peron stasiun, di mana masih banyak aktivitas merokok sehingga partikulat rokok menempel di baju penumpang lain, termasuk anak-anak dan warga lanjut usia (lansia), lalu terbawa masuk ke dalam gerbong.

“Membiarkan rokok di ruang transportasi umum adalah bom waktu. Sejarah sudah membuktikan bahwa tragedi bisa terjadi hanya karena puntung rokok,” tuturnya.

DPR, kata dia, seharusnya belajar dari sejarah, dan bukannya mengulang kebodohan. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok di Indonesia sudah sangat nyata

Berdasarkan studi Soewarta Kosen, pada tahun 2015, kerugian ekonomi akibat rokok diperkirakan mencapai hampir Rp600 triliun, atau lebih dari empat kali lipat nilai cukai rokok yang diterima negara pada tahun yang sama.

“Oleh karena itu, menambah gerbong khusus untuk merokok di kereta hanya akan menambah beban negara, bukan memberikan keuntungan,” Tutur Manik.

Manik juga menyampaikan bahwa di tingkat internasional sekalipun, tidak ada praktik penyediaan ruang khusus perokok.

Bahkan sekelas Jepang saja, yang awalnya menyediakan ruang khusus merokok di Shinkansen sudah menghapus total ruang khusus merokoknya sejak 2024. Hal ini juga sejalan dengan kesadaran hidup sehat masyarakat Jepang.

“Bapak Nasim Khan bukan hanya ketinggalan kereta, tapi juga ketinggalan zaman dan pemikiran yang maju” tambahnya.

Menambah Beban KAI

Daniel Beltsazar Jacob

Senada dengan Manik, Advocacy Officer IYCTC, Daniel Beltsazar Jacob menekankan bahwa gerbong perokok akan langsung membebani PT KAI. Dari sisi operasional, jika gerbong rokok itu sampai diakomodir, justru akan menambah cost bagi KAI.

Lebih rinci, PT KAI jadi perlu membersihkan residu asap dan puntung rokok di ruang tertutup bukan pekerjaan sederhana. Kursi, dinding, lantai, hingga sistem pendingin harus disterilisasi rutin.

Kemudian juga biaya perawatan melonjak, umur peralatan jadi lebih pendek, dan KAI harus mengeluarkan anggaran tambahan hanya untuk melayani adiksi, bukan pelayanan publik.

“Ujungnya, beban ini bisa berujung ke penumpang lewat kenaikan tarif, atau ke negara lewat subsidi.” lanjut Daniel.

Terakhir, Nalsali Ginting, pengurus harian IYCTC menilai transportasi publik harusnya mencerminkan kepentingan masyarakat, bukan sebaliknya.

Jika KAI dapat merancang kereta untuk pedagang dan petani demi mendukung ekonomi masyarakat, maka menciptakan gerbong khusus rokok jelas tidak memiliki urgensi sosial. Itu hanya sekadar mengakomodasi adiksi, bukan kebutuhan rakyat.

“DPR seharusnya tidak membandingkan layanan yang mendorong produktivitas dengan layanan yang memperparah ketergantungan,” ujarnya.

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.