Minggu, 20 Juli 2025
Term of Use Media Guidelines

Krisis Tata Negara: Tolak Putusan MK soal Pemilu, Parpol Ancam Revisi UU MK

Wacana revisi UU MK ditengarai sebagai serangan balasan DPR setelah beberapa produk legislasi mereka dibatalkan di MK karena bermasalah dalam aspek tata negara. Lembaga yudikatif ini dituding mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang menjadi ranah DPR dan pemerintah.

By
in Headline on
Krisis Tata Negara: Tolak Putusan MK soal Pemilu, Parpol Ancam Revisi UU MK
Suasana sidang Mahkamah Konstitusi (Sumber : www.mkri.id)

Jakarta, TheStanceID – Partai politik di DPR ramai-ramai menentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pelaksanaan pemilu daerah dan nasional.

Saat ini, sejumlah partai politik tengah mengkosolidasikan sikapnya terhadap putusan tersebut. Mayoritas partai yang menolak menilai putusan MK tersebut telah bertentangan dengan konstitusi dan menyalahi Undang-Undang Dasar 1945.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irma Lidarti.

Putusan ini membuat penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional mencakup pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD. Sementara itu, pemilu daerah terdiri atas pemilihan kepala daerah, anggota DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Putusan MK Potensi Timbulkan Deadlock Constitutional

Nasdem

Partai Nasdem tercatat menjadi parpol pertama yang menyatakan sikap penolakan terhadap putusan MK tersebut.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem Lestari Moerdijat alias Rerie menyebut lewat putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu, MK telah mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan ranah DPR dan Pemerintah.

"MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi," ujarnya dalam konferensi pers di NasDem Tower, Senin (30/6/2025).

Selain itu, Putusan MK itu juga bertentangan dengan pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Kondisi tersebut, kata dia, berpotensi menimbulkan krisis bahkan deadlock constitutional karena dapat melanggar konstitusi.

"Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR, DPD, Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD RI 1945. Karena itu, Putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional," tuturnya.

PKB Usul Pilkada lewat DPRD

Sementara itu, Fraksi PKB di DPR belum menyampaikan sikap tegas soal putusan MK tersebut. Namun, mereka mengkritik MK yang terlalu ikut campur pada urusan legislasi yang mestinya menjadi ranah DPR dan pemerintah.

Ketua Fraksi PKB di DPR, Jazilul Fawaid menilai putusan MK juga berpotensi pada perpanjangan kepala daerah dan DPRD.

"Berapa rumitnya ketika di sana ada masa transisi untuk anggota DPRD. Ini bagaimana kalau diganti pejabat sementara, kan tidak mungkin. Bisa bertentangan dengan UUD '45," katanya, Jumat (4/7/2025).

Meski begitu, Jazilul mengusulkan pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun kabupaten kota dipilih lewat DPRD lewat revisi UU Pemilu atau RUU Politik Omnibus Law yang kini tengah diwacanakan DPR.

Berpotensi Menimbulkan Masalah

Mahfud MD

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md mengakui putusan MK yang memberikan jeda waktu 2 sampai 2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal berpotensi menimbulkan masalah. Potensi itu terjadi dalam masa transisi pemilihan DPRD.

Hal ini disebabkan belum ada peraturan yang mengatur pengganti anggota DPRD yang habis masa jabatannya. Berbeda dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Dalam Undang-Undang, bila masa jabatan mereka habis, masih bisa diganti seorang penjabat sampai dilakukan pilkada.

"Problemnya, kalau menunda pemilihan gubernur, bupati, wali kota 2,5 tahun, ya bisa diatasi dengan mengangkat penjabat. Tapi kalau DPRD kan enggak bisa pakai penjabat," kata Mahfud dalam keterangannya, Minggu (6/7/2025).

Meski putusan MK menimbulkan masalah dan kerumitan tata hukum, menurut Mahfud, dalam putusannya MK juga mencantumkan solusi untuk mengatasinya. Salah satunya, dengan dibuat undang-undang baru.

"Kerumitan itu harus diatur, istilah resminya, masa transisi yang rumit itu harus diatur dengan undang-undang. Artinya dituntut ada pembuatan undang-undang baru, " kata Menko Polhukam itu.

Selain itu, menurut Mahfud, putusan MK ini berpeluang membuat DPR mengatur pilkada tidak langsung atau dipilih oleh DPRD. Sebab, MK mengizinkan DPR untuk memilih mengadakan pilkada langsung atau tidak langsung.

"Kalau pilpres harus langsung. Kalau pilkada boleh langsung dan boleh tidak langsung. Dan DPR memilih pemilihan langsung pada waktu itu, " kata dia.

Namun, kata Mahfud, semua itu tergantung permainan politik dalam DPR. "Kalau tiba-tiba, lalu dibuat undang-undang sekarang, enggak ada pilkada langsung. Pemilihan bisa kembali ke DPRD, " ungkapnya.

Kepentingan Parpol Terganggu Pasca Putusan MK

Bivitri Susanti

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mensinyalir parpol yang tidak terima atas putusan MK disebabkan faktor ceruk ekonominya bakal yang terganggu.

Ia menyinggung adanya dugaan praktik pengumpulan uang untuk calon legislatif (caleg), apalagi mereka yang ingin mengantongi nomor urut atas.

Di lain sisi, parpol ingin memastikan kampanye besar-besaran bagi calon presiden yang mereka usung. Ini pada akhirnya membuat para caleg hanya terbebani tugas mengampanyekan ide dan gagasan capres yang diusung parpol.

"Nah, pola itu tidak mau diubah karena ya menguntungkan. Jadi, (capres) sekalian nebeng gitu ibaratnya, bisa nebeng kampanye pada calon-calon legislatif DPRD. Apakah benar? Itu kan dugaan, hipotesis, silakan nanti dipelajari lebih lanjut," paparnya.

Alasan lain yang menurut Bivitri membuat Parpol panik adalah upaya meloloskan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung menjadi terganggu. Bivitri menduga kuat, ada niat agar para kepala daerah itu ditunjuk langsung DPRD, bukan dipilih rakyat melalui pilkada.

"Secara fundamental tidak ada yang keliru. Apakah MK berhak untuk membuat putusan seperti ini? Berhak! Sudah usang itu soal positif-negatif legislator ... Harusnya kerjaan mengevaluasi segala macam, mengubah lagi (undang-undang) supaya lebih baik, siapa? DPR dan pemerintah. Tapi kan DPR dan pemerintah tidak kunjung melakukan itu karena sistemnya menguntungkan bagi mereka," jelas Bivitri.

Konsekuensi Jika DPR Abaikan Putusan MK

Surat suara

Lebih lanjut, Bivitri mengingatkan putusan MK itu final dan mengikat. Untuk itu, Putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal harus dipatuhi dan dilaksanakan.

Lantas, apa konsekuensi jika DPR mengabaikan putusan MK yang memisahkan pemilu?

"Hal itu bisa memicu krisis konstitusional," ujar Bivitri.

Dia menilai, pandangan bahwa penyelenggaraan pemilu lokal selanjutnya yang akan melewati jadwal lima tahun dan perpanjangan jabatan anggota DPRD menjadi tujuh tahun sebagai inkonstitusional itu keliru. Alasannya, hal itu bersifat sementara sebagai masa transisi.

”MK memiliki kewenangan untuk membuat norma sementara demi kelancaran transisi. Jadi, tujuh tahun itu transisi yang diperlukan. Nanti pemilu selanjutnya sudah menjadi lima tahun lagi,” ujarnya.

Wacana Revisi UU MK Jadi Serangan Balasan DPR

Muhammad Khozin

Di tengah polemik Putusan MK soal Pemisahan Pemilu, DPR membuka kembali peluang merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, mengakui, secara yuridis, pintu untuk mengubah UU MK selalu terbuka. Hal ini lantaran RUU Perubahan UU MK masuk dalam daftar kumulatif terbuka Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang artinya bisa dihahas sewaktu-waktu sesuai dengan tingkat urgensinya.

”Perubahan UU Mahkamah Konstitusi pada dasarnya memang masuk dalam daftar RUU kumulatif terbuka dalam prolegnas kita. Artinya, sewaktu-waktu dapat dibahas oleh DPR jika memang dinilai memiliki urgensi,” kata Khozin, dikutip dari Kompas, Sabtu (5/7/2025).

Sebagai catatan, perubahan keempat UU MK sebenarnya sudah pernah dibahas oleh DPR periode 2019-2024. DPR dan pemerintah bahkan sudah menyelesaikan pembahasan tingkat I revisi keempat UU MK.

Namun, dalam rapat paripurna 30 September 2024, DPR sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan ke tingkat II, yakni pengesahan RUU.

Total ada tiga poin revisi dalam RUU MK yang disepakati pada pembahasan tingkat I, 13 Mei 2024, yakni Pasal 23A, Pasal 27A, dan Pasal 87. Pasal 23A dan 87 mengatur ulang masa jabatan hakim konstitusi, sedangkan Pasal 27A terkait komposisi Majelis Kehormatan MK.

Namun, revisi itu menuai penolakan dari publik. Lebih dari 20 pakar hukum tata negara dan pakar hukum administrasi negara mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani yang intinya menolak keras revisi keempat UU MK tersebut. Scara substansi, revisi UU MK itu dinilai mengancam prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi, dan independensi MK.

Hendri Pandiangan

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Hendri Jayadi Pandiangan khawatir wacana revisi UU MK menjadi semacam serangan balasan dari DPR setelah beberapa produk legislasi mereka, termasuk UU Pemilu, diputus oleh MK untuk diubah. Karena itu, usulan revisi di tengah polemik tersebut sangat bernuansa politis.

”Ada beberapa (anggota) pemerintah (dan) DPR juga pernah menyampaikan bahwa kami sudah capek-capek untuk membuat undang-undang, tiba-tiba dibatalkan,” ujar Hendri.

Ketimbang merevisi undang-undang secara reaktif, Hendri pun menyarankan agar DPR dan pemerintah mengoptimalkan mekanisme yang sudah ada untuk harmonisasi. Lagi pula, dalam setiap sidang uji materi di MK, termasuk soal UU Pemilu, DPR dan pemerintah selalu dipanggil untuk memberikan argumentasi dan menghadirkan ahli.

”Kesempatan itu sebetulnya digunakan untuk berargumentasi. Berargumentasi-argumentasi yang cerdas. Saya yakin MK juga memahaminya,” saran Hendri. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.

\