Ada Pulau Kecil di Bali dan NTB Isunya Milik Orang Asing, Nusron Lempar Wacana
Tiap hari kita disuguhkan isu global. Laut Cina Selatan. Kapal Israel. Rudal Iran. Tapi tiba-tiba, yang bikin kita lemas bukan konflik Timur Tengah, tapi gosip pulau kecil di tanah sendiri yang katanya sudah dikuasai bule. Bahkan, sempat viral bahwa bule Israel sedang membangun villa di Bali.

Oleh Muhammad Fawaid, seorang akademisi pemerhati sosial dan ekonomi, dosen di Institut Sains dan Teknologi NU (STINUBA) Denpasar, yang juga Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali. Kini aktif menciptakan konten melalui akun Tiktok @m..fawaid.al.
Seruput dulu kopi pahitnya, Bli. Karena kisah kali ini bukan soal wisata bahari atau promo villa di Instagram.
Tapi, soal sesuatu yang lebih absurd dari harga mie instan di bandara: bagaimana caranya sebuah pulau kecil di Indonesia bisa bikin ribut dua pejabat besar, dan bikin rakyat kecil jadi bingung itu pulau milik siapa, ya?
Tiap hari kita disuguhkan isu global. Laut Cina Selatan. Kapal Israel. Rudal Iran. Tapi tiba-tiba, yang bikin kita lemas bukan konflik Timur Tengah, tapi gosip pulau kecil di tanah sendiri yang katanya udah dikuasai bule.
Plot twist-nya makin seru ketika Gubernur Bali, I Wayan Koster, buka suara: “Enggak ada yang dimiliki asing. Paling cuma vila.”
Lalu kita bertanya dalam hati, “Jadi kalau seluruh pulau isinya vila orang asing, itu masih milik kita? Hmmm…”
Sementara di ujung sana, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dengan santai bilang: “Kita akan cek legal standing-nya. Tiba-tiba dikuasai asing.”
Tiba-tiba, katanya. Seolah pulau itu hilang dari peta dan pindah ke Google Maps versi investor Swiss.
Nah, di sinilah pertanyaannya: Apa arti sebuah pulau kecil?
Kalau menurut hukum, pulau itu bagian dari kedaulatan. Kalau menurut pariwisata, pulau itu daya tarik. Kalau menurut para investor, pulau itu properti.
Dan kalau menurut rakyat biasa? Pulau itu tempat pancing, tempat berdoa, tempat mencari napas saat hidup daratan makin sesak oleh beton.
Mudahnya Menjual Tanah
Tapi Bli, kisah ini bukan sekadar soal siapa yang benar: Koster atau Nusron. Ini tentang betapa mudahnya kita menjual tanah surga, dengan cara yang kadang sah secara hukum, tapi tetap bikin sakit hati secara nurani.
Bayangkan begini: Ada pulau kecil. Masih alami. Masih asli. Lalu datanglah proposal investasi bernilai miliaran. Ditanami vila, restoran, kolam renang infinity, dan tempat yoga. Warga lokal disuruh jadi tukang parkir atau staf kebersihan.
Tapi katanya, pulau itu masih milik kita. Karena suratnya, belum dijual, hanya “dikuasai.” Apakah kita terlalu polos dalam membaca kata “investasi”? Atau terlalu kreatif dalam mengartikan “penguasaan”?
Kalau orang asing punya vila, restoran, dermaga, dan helipad di satu pulau tapi bukan punya pulaunya berarti dia cuma numpang nginap?
Dan yang lebih lucu, ketika ada masalah di lapangan, biasanya jawabannya adalah: “Kami akan membentuk tim koordinasi lintas kementerian.”
Kalau pulau bisa hilang diam-diam, apakah mungkin nanti kita bangun tidur. Pulau Serangan sudah jadi bagian dari resor internasional? Atau Pulau Menjangan berubah jadi “Menjangan Private Island by The Maldives Group”?
Baca Juga: Arya Wiraraja: Raja Tanpa Mahkota, Pejabat Tanpa Drama
Tapi santai, Bli. Karena seperti kata Gubernur Koster: “Kalau tidak sesuai prosedur, akan ditertibkan.”
Semoga bukan seperti penertiban baliho kampanye: rajin pas awal, lupa pas viral. Maka biarlah artikel ini jadi pengingat: Pulau kecil itu bukan sekadar tanah, tapi identitas.
Ia bukan cuma tempat investasi, tapi warisan leluhur. Ia bukan barang dagangan, tapi bagian dari perut Ibu Pertiwi.
Dan kalau hari ini kita bisa bilang: “Masih milik kita kok, cuma dipakai orang asing” maka jangan salahkan generasi mendatang kalau besok mereka cuma bisa bilang: “Dulu pernah milik kita, tapi sudah jadi milik siapa-siapa."***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.