Arya Wiraraja: Raja Tanpa Mahkota, Pejabat Tanpa Drama
Bukan sekadar om-nya Raden Wijaya, dia adalah aktor intelektual di balik berdirinya Majapahit, seorang teknokrat berdedikasi, dan manajer krisis nasional.

Oleh Muhammad Fawaid, seorang akademisi pemerhati sosial dan ekonomi, dosen di Institut Sains dan Teknologi NU (STINUBA) Denpasar, yang juga Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali. Kini aktif menciptakan konten melalui akun Tiktok @m..fawaid.al.
Saya ingin mengajak follower melek sejarah untuk diingat bahwa bangsa kita besar dan penuh peradaban di masa lalu. Agar terang melihat sejarah, yuk seruput dulu kopi pahitnya, Bli!
Karena kalau pakai sirup manis, nanti kita gagal paham, dikira sejarah itu isinya cuma pesta, takhta, dan cinta segitiga. Padahal, ada pahit getir yang jadi fondasi berdirinya Majapahit.
Dan dari balik tirai sejarah itu, muncullah satu nama yang tidak main TikTok, tidak bikin podcast, tapi efeknya terasa sampai hari ini: Arya Wiraraja.
Siapa beliau?
Bukan, bukan sekadar "Om-nya Raden Wijaya". Tapi aktor intelektual, teknokrat berdedikasi, dan manajer krisis nasional, semua dalam satu paket tanpa perlu disumpah jabatan tiap lima tahun.
Mari kita flashback ke abad 13, ketika politik Singasari sudah seperti DPR masa reses, panas, riuh, dan penuh drama. Arya Wiraraja, pejabat tinggi Singasari, tiba-tiba disingkirkan gara-gara beda selera politik.
Alih-alih bikin orasi atau ngadu ke Mahkamah Sejarah, beliau pindah ke Madura, jadi Adipati Sumenep, dan diam-diam mulai membangun basis kekuatan.
Dan ketika Singasari tumbang disikat Jayakatwang, serta Raden Wijaya lari pontang-panting seperti caleg gagal saat pemilu. Siapa yang jadi tempat pelarian? Bukan elit ibu kota, bukan partai pengusung, tapi Arya Wiraraja!
Membantu Strategi hingga Pasukan
Beliau bukan cuma memberi tempat berteduh, tapi juga memberi strategi, pasukan, dan legitimasi, tiga hal yang hari ini sayangnya lebih sering dicari di WhatsApp grup daripada di kantor pemerintahan.
Coba bandingkan dengan zaman sekarang, berapa banyak pejabat yang mau membantu tanpa minta fee proyek? Berapa banyak pemimpin daerah yang rela membesarkan orang lain tanpa memikirkan elektabilitas sendiri?
Arya Wiraraja bukan tipe yang nempel di baliho sambil senyum tiga jari.
Beliau kerja diam-diam, tapi hasilnya: Majapahit!
Bahkan setelah Majapahit berdiri, Arya Wiraraja tidak minta kursi, tidak ngotot minta jabatan menteri, tidak marah-marah di TV karena nggak diajak reshuffle.
Beliau memilih kembali ke Lamajang, membangun wilayah timur dengan tenang. Satu tahun setelah Majapahit berdiri, beliau menjadi raja Lamajang Tigang Juru, kerajaan besar yang membawahi Madura, Blambangan, Panarukan, hingga Bali.
Powerful tapi tidak tamak. Pemimpin, bukan pemimpi.
Dan lihatlah regenerasinya. Mpu Nambi, Ranggalawe, Mpu Sora, semua anak dan kerabat Arya Wiraraja, diangkat ke posisi strategis karena kapasitas, bukan karena nepotisme.
Baca Juga: Belajar dari Perang Bhatoro Katong dan Ki Agung Kutu
Beda jauh dengan zaman sekarang, ketika kursi empuk lebih sering diwariskan lewat pertemanan sekolah atau grup arisan keluarga.
Pelajaran Keras bagi Bangsa Indonesia
Maka, kisah Arya Wiraraja adalah pelajaran keras bagi negeri ini.
Bahwa untuk membangun kekuatan bangsa, kita butuh lebih banyak orang seperti beliau, yang ikhlas kerja tanpa spotlight, yang mementingkan rakyat daripada jabatan.
Dan, yang paham bahwa membangun negara tidak bisa dilakukan sendirian di istana, harus lewat kolaborasi lintas wilayah dan loyalitas tanpa drama.
Jika sekarang kita ribut soal Ibu Kota Nusantara (IKN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan pengangkatan pejabat yang tidak relevan dengan latar belakangnya, maka mungkin kita butuh sejenak menengok masa lalu.
Bukan untuk bernostalgia, tapi untuk belajar: bahwa kadang, tokoh paling penting dalam sejarah bukan yang paling bersuara tapi yang paling bekerja.
Jadi, sebelum kau tunjuk siapa calon pemimpinmu, tanyakan dulu, "Apakah dia punya jiwa seperti Arya Wiraraja? Atau cuma haus kamera?"
Seruput lagi kopi pahitnya, Bli. Karena manisnya Majapahit takkan pernah ada tanpa pahitnya perjuangan di Madura.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.