MK Perintahkan SD-SMP Negeri dan Swasta Gratis, Pemda Dituntut Kreatif Kelola Fiskal
Pertanyaan terbesar adalah bagaimana implementasi putusan ini. Mendikdasmen menilai implementasi kebijakan ini tergantung kemampuan fiskal pemerintah daerah.

Jakarta, TheStanceID – Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai membuat keputusan penting dan menjadi tonggak penting dalam dunia pendidikan Indonesia.
Dalam sidang pengujian Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), MK memutuskan bahwa pendidikan dasar harus diselenggarakan tanpa biaya, tidak hanya di sekolah negeri, tapi juga di sekolah swasta.
Uji materi ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama tiga pemohon lainnya, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas sendiri berbunyi "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya".
Pemohon menilai frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya.
Dalam pembacaan amar putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 pada Selasa (27/5/2025), Ketua MK, Suhartoyo, menyampaikan bahwa frasa "tanpa memungut biaya" harus dimaknai berlaku bagi seluruh satuan pendidikan dasar, baik negeri maupun swasta. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan daerah diminta menjamin akses pendidikan dasar gratis secara merata.
MK Masih Bolehkan Sekolah Swasta Tertentu Pungut Biaya
Putusan MK ini memang tidak sepenuhnya melarang sekolah atau madrasah swasta tertentu memungut biaya dari peserta didik.
Sekolah swasta tertentu yang dimaksud MK masih diperbolehkan memungut biaya, antara lain, sekolah swasta yang menawarkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional dan sekolah swasta yang selama ini tidak menerima bantuan anggaran dari pemerintah.
Mereka yang memilih bersekolah di sekolah swasta dengan kurikulum tersendiri, tidak sepenuhnya didasarkan atas ketiadaan akses terhadap sekolah negeri, melainkan lebih kepada alasan preferensi, diianggap menyadari konsekuensi adanya biaya.
“Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah/madrasah tertentu,” jelas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
MK pun menekankan, terkait dengan bantuan pendidikan untuk siswa sekolah swasta. diberikan kepada sekolah swasta yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Terlebih, kemampuan fiskal pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi sekolah swasta yang berasal dari APBN dan APBD diakui masih terbatas.
Respon Pemerintah
Merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti Mu'ti mengatakan, pihaknya memaknai putusan MK bahwa pasal yang digugat yakni Pasal 34 Ayat 2 memang negara harus membiayai pendidikan dasar baik negeri ataupun swasta.
Namun, Mu'ti menilai, itu tergantung dan menyesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah.
"Inti dari putusan itu memang menyatakan bahwa Pasal di UU Sisdiknas harus dimaknai punya kewajiban untuk membiayai pendidikan dasar, bukan hanya sekolah negeri, tapi juga sekolah atau madrasah swasta," kata Mu'ti, Selasa (27/5/2025).
Selain itu, ia juga masih memahami bahwa sekolah swasta tetap dapat memungut biaya pendidikan dari masyarakat meski ada bantuan pembiayaan dari pemerintah.
Saat ini, pihaknya masih menunggu salinan putusan resmi dari MK untuk bisa dibahas secara formal dan memutuskan kebijakan apa yang akan diambil Pemerintah pasca putusan MK tersebut.
Berakhirnya Diskriminasi Pembiayaan Pendidikan
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyambut baik putusan MK dan menyebutnya sebagai hari bersejarah bagi dunia Pendidikan Indonesia.
“Hari ini adalah hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia! MK telah menunjukkan keberanian dan kebijaksanaan dalam menafsirkan konstitusi untuk keadilan pendidikan,” kata Ubaid dalam keterangannya, pada Selasa (27/5/2025).
Ubaid menekankan bahwa putusan MK juga menjadi monumental terhadap hak asasi manusia atas pendidikan dan penegasan bahwa negara wajib hadir memastikan pendidikan dasar yang berkualitas, inklusif, dan bebas biaya, tanpa memandang status sekolah apakah negeri maupun swasta.
Lebih lanjut, Ubaid menekankan saat ini yang lebih penting disoroti adalah agar pemerintah proaktif dalam menyediakan daya tampung yang cukup bagi para siswa.
"Katakanlah menurut data pemerintah ada 1.000 anak yang mau sekolah, tapi ternyata sekolah negeri cuma bisa mampu menampung 300. Nah, 700 bangku sisanya harus disediakan oleh pemerintah daerah dengan bekerjasama dengan sekolah swasta," ujarnya.
Oleh karena itu, Ubaid setuju dengan putusan MK yang masih memperbolehkan sekolah swasta yang ingin mempertahankan kurikulum dan pembiayaan mandiri untuk tidak bergabung dalam skema ini.
"Putusan ini enggak bisa memaksa sekolah itu untuk program pemerintah," tutur Ubaid.
Di sisi lain, Ubaid mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) serta Pemerintah Daerah untuk segera mengintegrasikan sekolah swasta dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Online.
"Pemerintah wajib segera mengintegrasikan sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar ke dalam SPMB berbasis online yang dikelola pemerintah. Ini memastikan transparansi, kesetaraan akses, dan implementasi nyata dari putusan MK bahwa pendidikan dasar bebas biaya juga mencakup sekolah swasta," pungkas Ubaid.
Lantas, apakah putusan MK ini realistis untuk dilaksanakan ?
Problem Sekolah Swasta di Indonesia
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, mengingatkan pentingnya peran sekolah swasta di sejumlah daerah di Indonesia.
Apalagi, berdasarkan data Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), terdapat 241 kabupaten dan kota di Indonesia yang kekurangan daya tampung SMP negeri dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Artinya, terdapat lebih dari 40% dari total 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang menghadapi masalah ini.
"Akibatnya, (anak-anak yang tidak masuk sekolah negeri karena terbatas) harus ke sekolah swasta, kan? Artinya, peran pendidikan swasta itu tidak lagi hanya sebagai pilihan pribadi," ujar Nisa dalam keterangannya.
Disisi lain, Pemerintah juga harus mengatasi problem disparitas antara sekolah swasta dengan sekolah negeri dalam hal anggaran dan kualitas, sehingga orangtua berminat memasukkan anaknya ke sekolah swasta.
"Ada sekolah swasta elit, tapi ada juga yang rendah sekali. Kalau negara membiayai siswa untuk sekolah ke situ, artinya negara menyekolahkan anak di sekolah yang kualitasnya tidak layak. Negara harus bisa menjamin kelayakan sekolah-sekolah yang ditunjuk," ujar Nisa.
Nisa menyebut program Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Bersama di DKI Jakarta yang memungkinkan siswa bersekolah di sekolah swasta secara gratis dapat dijadikan contoh.
Meski harus diakui, kemampuan anggaran DKI Jakarta yang cukup besar mungkin tidak bisa disandingkan dengan kemampuan sejumlah daerah.
"Di daerah-daerah lain, anggaran benar-benar terbatas sekali dan banyak yang habis untuk penggajian guru gitu Jadi kalau misalnya digratiskan sekolah swasta di daerah-daerah apakah itu realistis? Saya enggak mau bilang enggak, tapi memang berat,"ungkapnya.
Sebagai informasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bakal menjalankan uji coba program sekolah swasta gratis mulai tahun ajaran 2025-2026, yang dijadwalkan bergulir pada Juli mendatang. Nantinya, siswa yang masuk ke sekolah itu akan dibebaskan dari biaya apapun.
Pemprov DKI telah menjaring sebanyak 40 sekolah swasta dari jenjang SD, SMP, hingga SMA yang akan mengikuti program ini.
Pemda Harus Lebih Kreatif Mendanai Pendidikan
Sementara itu, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto menilai dengan putusan MK ini, seharusnya mendorong pemerintah daerah untuk "lebih kreatif" demi mendorong pendapatan mereka.
"Yang jelas, anak-anak yang harus masuk ke sekolah swasta itu harus ditanggung APBD," ujar Totok.
Sebagai langkah awal, agar implementasi kebijakan pendidikan gratis ini dapat tepat sasaran, Pemerintah daerah bisa memprioritaskan anak-anak yang terpaksa bersekolah di swasta karena keterbatasan sekolah negeri, dan hanya melibatkan sekolah swasta yang terjamin kualitasnya.
"Jadi intinya kita berharap sekolah swasta tuh benar-benar pilihan. Tidak yang elite sekali, tapi juga bukan yang kualitasnya rendah," ujar Nisa.
Totok juga mengingatkan, potensi munculnya sekolah swasta yang kurang berkualitas jika aspek ini tidak dijaga.
"Kalau tidak nanti, banyak sekolah swasta abal-abal yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Orang-orang ramai-ramai mendirikan sekolah semata-mata untuk menampung dana dari pemerintah itu," jelasnya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.