Dirugikan Karena Ditipu Ayam Goreng Widuran, Begini Cara Gugat Mereka
Status non-halalnya ayam goreng Widuran baru terkuak setelah lebih dari 50 tahun berdiri. Berulangnya kasus produk non halal yang dikemas halal menunjukkan adanya persoalan sistemik dalam pengawasan makanan. Terkait itu, konsumen bisa mengajukan gugatan.

Jakarta, TheStanceID – Ayam Goreng Widuran, salah satu kuliner legendaris di kota Solo Jawa Tengah menjadi perbincangan khalayak. Bukan karena review positif, tapi karena status non halalnya yang disembunyikan 50 tahun lebih. Lalu gimana dong?
Padahal, status halal atau non halal vital bagi pelanggan dari kalangan umat Islam. Sesuai syariat islam, haram hukumnya mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung unsur non-halal.
Sebagai informasi, Ayam Goreng Widuran adalah rumah makan legendaris yang berdiri sejak 1973 di Jebres, Solo, Jawa Tengah. Menu andalannya adalah ayam goreng kampung dengan bumbu kremes yang disajikan dengan sambal dan lalapan.
Status non halalnya rumah makan tersebut baru diketahui publik setelah akun @pedalranger di fitur Thread di media sosial Instagram, mengungkap penggunaan minyak babi di rumah makan itu.
Padahal, menurut dia selama ini tidak ada pemberitahuan ke publik terkait penggunaan minyak babi dari pihak rumah makan.
Setelah diprotes sejumlah akun media sosial dan menjadi sorotan publik, restoran tersebut menuliskan keterangan 'Non Halal' pada Instagram dan Google Review.
Selain itu, pemilik pun mengunggah permohonan maaf di akun Instagram tempat usahanya pada Jumat (23/5/2025).
Konsumen Bisa Ajukan Gugatan
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) Tulus Abadi, menilai fenomena berulangnya kasus produk non halal dalam makanan ini menunjukkan persoalan sistemik, khususnya dari aspek pengawasan baik sebelum maupun setelah pemasaran.
"FKBI mendesak MUI dan Badan Penjamin Produk Halal (BPPH) untuk meningkatkan pengawasan di lapangan," tegasnya. Tulus juga menyoroti persoalan regulasi yang menjadi celah pelanggaran produk halal oleh pelaku usaha.
Yang membuat persoalan menjadi kompleks, Undang-Undang Cipta Kerja memungkinkan sertifikasi halal dilakukan secara self declaration, khususnya untuk pelaku usaha level UKM-UMKM.
"Self declaration sangat potensi disalahgunakan oleh sektor usaha, dan karena itu model seperti ini sangat lemah dari sisi perlindungan konsumen, dan publik secara luas. Apalagi di era digital ekonomi seperti sekarang ini," ungkap Tulus.
Sementara, kata Tulus, konsumen selama bertahun-tahun justru dirugikan baik materiil maupun non materiil.
Untuk itu, Tulus mengingatkan, bagi konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi produk yang tidak sesuai standar bisa mengajukan gugatan baik perdata maupun pidana. Termasuk dalam kasus konsumen ayam goreng Widuran Solo.
"Secara diametral yang dilakukan manajemen ayam Widuran adalah melanggar berbagai produk hukum, khususnya UU Perlindungan Konsumen, UU tentang Pangan, dan UU Jaminan Produk Halal, dan masuk kategori penipuan," jelasnya.
Baca Juga: Politisasi Agama No, Dana Agama untuk Program Politik Yes?
Selain itu, menurut Tulus, upaya penegakan hukum juga bisa dilakukan oleh kepolisian.
Apalagi di kasus ayam goreng Widuran ditemukan unsur "kelalaian" dinas terkait, seperti Dinas Perdagangan dan Dinas Kesehatan, karena "tidak melakukan pengawasan."
Restoran Ditutup Sementara, Bagaimana Menggugatnya?
Imbas skandal kuliner non halal ini, Wali Kota Solo Respati Ahmad Ardianto telah menutup sementara warung Ayam Goreng Widuran yang ada di sejumlah titik di kota Solo.
Sama seperti pelanggan lainnya, Respati mengaku kecewa restoran legendaris ini tak menyematkan label keterangan non halal sejak lama. Padahal, banyak konsumen muslim yang membeli ayam goreng kremes di resto tersebut.
Penutupan sementara ini, kata Respati, bertujuan agar pemilik melakukan asesmen ulang kehalalan dan demi menjaga kerukunan umat dan perlindungan konsumen.
"Perlindungan konsumen itu yang paling penting. Konsumen itu dilindungi haknya untuk mengetahui barang apa yang dijual sesuai dengan keterangannya," tegasnya.
Analis Kebijakan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BKN) Ade Cahyadi Setyawan menegaskan konsumen berhak untuk mencari keadilan ketika dirugikan dalam kasus Ayam Goreng Widuran.
Namun demikian proses gugatan tetap bisa diajukan selama memenuhi syarat dan prosedur pengajuan gugatan. Selain mencari bantuan tenaga hukum, warga juga harus menyiapkan kelengkapan yang sepele tetapi penting yakni kwitansi.
"Saran dari saya sih, konsumen untuk menyimpan bukti transaksi minimal 1 bulan. Atau sekarang sudah banyak struk digital, nah itu jangan dihapus dulu. Misalnya ada insiden konsumen bisa sebagai salah satu bukti," tuturnya.
Pemilik Ayam Goreng Widuran terbukti melanggar UU No 8/1998 tentang Perlindungan Konsumen, karena tak jujur. Pasal 7(C) mengatur kewajiban pelaku usahamemperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Terancam Diberikan Sanksi
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan pelaku usaha yang produknya berasal dari bahan tak halal, wajib mencantumkan keterangan secara jelas. Jika tidak, pelaku usaha tersebut dikenai sanksi.
Selain itu, pelaku usaha juga wajib menarik produknya dari peredaran serta pencantuman keterangan non halal. Hal itu mengacu pada Pasal 185 Peraturan Pemerintah 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
"Bagi pelaku usaha yang tidak mencantumkan keterangan tidak halal diberikan sanksi peringatan tertulis," kata Wakil Kepala BPJPH Afriansyah Noor, Selasa (27/5/2025).
Sementara, bagi pelaku usaha yang produknya berasal dari bahan yang diharamkan juga wajib mencantumkan keterangan non halal. Hal ini mengacu pada Pasal 110 PP 42/2024.
Selanjutnya, setelah dijatuhi sanksi tertulis, pihaknya akan mengumumkan itu kepada publik lewat media massa maupun media sosial.
"BPJPH mengumumkan kepada masyarakat produk yang dikenai sanksi melalui media elektronik, media sosial dan/atau media cetak," ujarnya.
Terkait kasus ayam goreng widuran, Afriansyah menyebut BPJPH tengah berkoordinasi dengan satgas halal dan pemerintah setempat agar restoran itu mencantumkan label non halal.
Ditemukan Produk Berunsur Babi Pakai Logo Halal
Terkuaknya kasus ayam goreng Widuran yang tidak mencantumkan label non halal tentu merugikan masyarakat.
Tapi yang lebih membuat geram, di lapangan masih ditemukan adanya produk makanan/minuman mengandung unsur babi, tapi di kemasannya tertera sertifikat halal.
Ironisnya lagi, dari daftar produk tersebut, kebanyakan justru jajanan yang biasa dikonsumsi anak-anak dan dijual bebas seperti manisan kenyal atau marshmallow.
BPOM bersama BPJPH merilis temuan sembilan produk pangan olahan yang mengandung unsur babi pada Senin (21/5/2025). Temuan ini didasarkan pada hasil pengujian laboratorium terhadap parameter uji DNA dan/atau peptida spesifik babi/porcine.
Kepala BPJPH, Ahmad Haikal Hasan saat itu mengungkapkan, dari sembilan produk itu ada tujuh produk yang justru sudah bersertifikat halal.
“Dari sembilan produk tersebut, terdapat sembilan batch dari tujuh produk yang sudah bersertifikat halal, serta dua batch dari dua produk yang tidak bersertifikat halal,” kata Haikal.
Pencantuman logo “Halal” pada produk tersebut telah mengecoh banyak pihak, hingga akhirnya panganan olahan itu dikonsumsi anak-anak.
Temuan ini menjadi ironi karena BPJPH merupakan otoritas utama penyelenggara jaminan produk halal di Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Berdasarkan aturan, BPJPH punya kewenangan merumuskan dan menetapkan kebijakan Jaminan Produk Halal (JPH), menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH, serta menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal.
Penyebab Ditemukannya Unsur Babi pada Produk Berlabel Halal
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengungkap temuan unsur babi dalam produk makanan halal bisa saja disebabkan oleh adanya kekeliruan dalam proses pengujian laboratorium saat sertifikasi awal.
Selain itu, kemungkinan lainnya yakni ada perubahan formula yang tidak dilaporkan oleh produsen. Dengan demikian, ketika diuji ditemukan zat lainnya, yang bertentangan dengan syariat Islam.
Untuk itu, Eliza menekankan soal perlunya pengujian atau inspeksi acak berkala. Pengujian seharusnya tidak dilakukan saat mau disertifikasi saja, agar keamanan pangan tetap terjaga.
“Sertifikasi halal meski tetap berlaku terus, harus tetap ada audit berkala untuk memastikan yang disertifikasinya itu tidak melakukan perubahan apapun,” jelas Eliza.
Menurut dia, BPOM dan BPJPH kewalahan untuk melakukan inspeksi atau audit berkala, sehingga perlu pelibatan industri untuk memastikan itu.
Di tengah kondisi demikian, di mana regulator pun masih sering kebobolan, publik perlu memperkuat kesadaran hak dan perlindungan hukum. Gugatan menjadi salah satu cara untuk melindungi diri-mereka ke depannya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.