Hobinya Hakim, Profesinya Pengusaha: 1 Jam bersama Wildan Suyuthi

Di kalangan rekan-rekan sejawatnya di Mahkamah Agung, Mas Wildan mendapat julukan "hobinya hakim, profesinya pengusaha". Selain moncer bisnis jaringan kos-kosan dan jual beli properti, dia juga dikenal sebagai penulis buku yang jadi rujukan bagi praktisi, peneliti dan mahasiswa hukum.

By
in Human of Change on
Hobinya Hakim, Profesinya Pengusaha: 1 Jam bersama Wildan Suyuthi
Buku Biografi 67 tahun Wildan Suyuthi : perjuangan pengabdian pemikiran

Dwiki Setiyawan 2

Oleh Dwiki Setiyawan, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Solo, kini aktif sebagai Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Nasional Korps Alumni HMI (MN KAHMI) 2022-2027.

Senin kemarin, 26 Mei 2025, saya diundang dan bertandang ke kediaman Mas Wildan Suyuthi. Di komplek perumahan Mahkamah Agung (MA), Pejaten Jakarta Selatan.

Hanya diundang makan siang. Lalu sesi foto, lanjut ngobrol. Sekira 1 jam durasi waktunya.

Rumah Pejaten tersebut hanyalah griya singgah. Ditempati sementara, kala ia mengurus bisnis, atau keperluan lain. Lantaran sehari-sehari ia tinggal dan menetap di Kota Solo Jawa Tengah.

Di Kota Bengawan itu pula, tahun 1991 saya menemui dan berkenalan dengan Mas Wildan pertama kali. Kala itu, beliau Ketua Pengadilan Agama Surakarta masa bakti 1988-1995.

Lantas, ada keperluan apa? Biasa, sebagai aktivis mahasiswa zaman itu: ngajukan proposal dana untuk kegiatan perkaderan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Saya pun tahu Mas Wildan, diinfo senior HMI Wati Solo, Mbak Duroh Abdullah Baraja yang kebetulan juga hakim pengadilan agama setempat.

"Dik, ini Ketua Pengadilan Agamanya alumni IAIN (kini UIN). Dulu tahun 1970-an, tokoh HMI dan Dewan Mahasiswa di Jogja," ujar Mbak Duroh.

Sejak 1991 itulah, jalin berkelindan pertemanan antara saya dengan Mas Wildan. Persahabatan yunior-senior Hijau Hitam. Tak lekang karena panas, maupun tak lapuk lantaran hujan. Lebih dari tiga puluh tahun lamanya.

Ditarik ke Mahkamah Agung

Mahkamah Agung

Usai 7 tahun di Solo, Mas Wildan dimutasi sebagai Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat. Lantas ditarik ke Mahkamah Agung (MA).

Di lembaga tinggi negara yudikatif itulah, salah satu cabang trias politika, karier Mas Wildan cerlang cemerlang alias moncer. Di MA, jabatan puncaknya adalah Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Kapusdiklat).

"Mengapa tidak sampai Hakim Agung, Mas Wildan?" selidik saya.

Ia pun menjawab diplomatis, "Secara kualifikasi dan kompetensi, sebenarnya saya memenuhi syarat. Tetapi ada klausul dalam seleksi hakim agung saat itu yakni calon (pendaftar) harus sudah pernah memutus perkara dalam 2 tahun terakhir. Saya kan di struktural, bukan lagi hakim,".

Di kalangan rekan-rekan sejawatnya di Mahkamah Agung, Mas Wildan mendapat julukan bernada canda "hobinya hakim, profesinya pengusaha."

Dan benar adanya.

Sejak ia memulai profesi hakim pengadilan agama di Wonogiri Jawa Tengah 1976 (dua tahun setelah lulus IAIN Suka Jogja), ia kerja sambilan jual-beli tanah.

Naluri bisnis yang diwariskan orang tuanya yang berada dan terpandang, di daerah Genteng Banyuwangi Jawa Timur. Tanah tumpah darahnya.

Menjadi Juragan Kos

Ketika Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo berdiri pada 1976, ia sudah punya feeling bisnis jauh ke depan. Ia beli sedikit demi sedikit tanah di sekitaran kampus UNS Kentingan. Lalu, didirikan kos mahasiswa. Dari sedikit menjadi bukit.

Hasilnya, ia kini memiliki jaringan kos berlabel "La Tanza" di Solo, Yogyakarta, Jakarta, serta Bekasi. Tak hanya kos mahasiswa atau karyawan, ia juga jual beli dan memiliki rumah antik, bangunan kuno.

Salah satunya "Omah Kauman" di Solo, yang didirikan pada 1829 dengan luas 516 meter persegi. Letaknya tak jauh dari Jl. Slamet Riyadi dan Kraton Kasunanan Solo.

"Coba Dwiki tawarkan Omah Kauman Solo itu kepada jaringannya yang punya dana lebih. Komisinya nanti lumayanlah itu," ujar Mas Wildan yang juga Sekjen Dema IAIN Suka Jogja 1971-1974 itu.

Tak lama, foto-foto eksterior dan interior Omah Kauman itu, terkirim di WhatsApp saya.

Di birokrasi pemerintahan, kariernya diakhiri sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang, pada 2012. Dua tahun setelahnya ia pensiun.

Semangat belajarnya layak diacungi jempol. Tahun 2013, satu tahun sebelum pensiun, ia meraih gelar doktor (S3) dari Universitas Islam Bandung.

Baca Juga: Suap Hakim di Kasus CPO Buktikan Gaji Tinggi Tak Hapus Mental Korupsi

Buku-buku yang ditulis dan diterbitkan semasa berkarier di Pengadilan Agama maupun Mahkamah Agung pun cukup banyak. Bertema tak jauh dari hobinya, eh kariernya sebagai hakim.

Buku yang tak hanya berfaedah bagi praktisi, tapi juga berguna bagi peneliti dan mahasiswa konsentrasi hukum.

Tiga buku diantaranya, bertajuk: Kode Etik Hakim, Sita dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, dan Panitera Pengadilan Tugas Fungsi dan Tanggung Jawab.

Rasanya sudah cukup panjang, saya menggoreskan pena di ponsel warna gelap ini. Asa pun menyelinap, dari (ponsel warna) gelap akan melukis warna bagi pembacanya.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\