Suap Hakim di Kasus CPO Buktikan Gaji Tinggi Tak Hapus Mental Korupsi
Korupsi tidak akan berhenti dengan gaji tinggi. Ini perkara mentalitas, akhlak.

Jakarta, TheStanceID - Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan mengutarakan keinginannya menaikkan kesejahteraan para hakim, agar mereka bisa bertindak jujur dan tidak tergiur melakukan korupsi.
Terakhir, dalam wawancara dengan 7 pemimpin redaksi di kediamannya di Hambalang, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025), Prabowo menyoroti banyaknya kasus suap yang melibatkan hakim yang menangani perkara korupsi, di mana kerap terjadi jual beli kasus yang meringankan hukuman koruptor.
"Jaksa agung kadang-kadang juga geram. "Pak kita sudah tangkap, kita sudah ungkap, sudah berhasil menang di pengadilan negeri" tetapi dia [koruptor] naik banding, di Mahkamah Agung, PK [peninjauan kembali], kita dikalahkan," ucap Prabowo dalam pertemuan itu.
Tapi belum juga terwujud rencana Prabowo menaikkan gaji hakim, sejumlah hakim justru kembali tersangkut kasus suap.
Terbaru, Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil membongkar kasus suap terhadap hakim yang menangani kasus ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah, yang melibatkan tiga perusahaan besar.
Tujuh orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. terdri dari empat hakim, satu panitera, dan dua pengacara.
Keempat hakim itu adalah Muhammad Arif Nuryanta (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, dan Djuyamto (DJU), yang merupakan hakim di PN Jakarta Selatan.
Tiga lainnya yakni WG (Wahyu Gunawan) selaku panitera muda perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Marcella Santoso (MS) selaku advokat, dan Ariyanto (AR) selaku advokat.
Berawal dari Vonis Lepas Korupsi Minyak Goreng
Kasus dugaan suap ini bermula ketika hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis ontslag atau lepas terhadap tiga terdakwa korporasi yang melakukan dugaan ekspor CPO.
Tiga terdakwa korporasi itu adalah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. Ketiganya divonis lepas pada 19 Maret 2025 oleh majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto sebagai ketua majelis; dan Ali Muhtarom serta Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota.
Vonis lepas itu berbeda jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum. Dalam tuntutannya, jaksa menuntut uang pengganti sebesar Rp937 miliar kepada Permata Hijau Group, Rp 11,8 triliun kepada Wilmar Group, dan Rp4,8 triliun kepada Musim Mas Group.
Namun, dari pengusutan penyidik Kejagung ternyata ada penerimaan suap kepada Ketua PN Jaksel M Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakpus. Suap diberikan melalui Wahyu Gunawan selaku panitera muda PN Jakpus.
Dua advokat, yakni Marcella Santoso dan Ariyanto, memberikan suap Rp60 miliar kepada Muhammad Arif Nuryanta melalui Wahyu Gunawan.
"Terkait putusan onslag tersebut, penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp 60 miliar," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Kejagung, Sabtu (12/4/2025).
Qohar menyebut Arif Nuryanta menggunakan jabatannya sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat saat itu untuk mengatur vonis lepas kepada tiga terdakwa korporasi kasus korupsi minyak goreng.
Penyidik juga mendapati ada 2 amplop di tas milik Arif saat melakukan penggeledahan. Pertama, amplop coklat berisi 65 lembar uang pecahan SGD 1.000 dan amplop berwarna putih berisi 72 lembar uang pecahan USD 100.
Kemudian, penyidik juga menyita dompet milik Arif. Di mana, dalam dompet itu ada ratusan uang pecahan dolar Amerika Serikat (USD), Dolar Singapura (SGD), Ringgit Malaysia (RM) hingga rupiah.
Terlacak dari Kasus Ronald Tannur
Terkuaknya kasus suap Ketua PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta cs bak kotak pandora.
Pengugkapan ini bermula dari temuan penyidik pada barang bukti kasus suap vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya, Jawa Timur yang menyeret nama mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang menjadi makelar kasus, Zarof Ricar.
Saat menggeledah ruangan Zarof, selain menemukan gepokan uang dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat yang tersimpan dengan rapi di sebuah kotak kardus, penyidik Kejaksaan Agung juga menemukan catatan bertuliskan 'buat kasasi'.
Dalam pengembangan perkara, Kejaksaan sempat menemukan banyak bukti dugaan gratifikasi. Ternyata dari sinilah Kejaksaan juga menemukan adanya petunjuk dan informasi pemberian suap dari Marcella Santoso ke para hakim yang mengadili kasus dugaan korupsi ekspor migor.
"Jadi begini. Kan penyidik setelah putusan ontslag ya tentu menduga ada indikasi tidak baik. Ada dugaan tidak murni ontslag itu tapi ketika dalam penanganan perkara di Surabaya (kasus suap terkait vonis bebas Ronald Tannur), ada juga informasi soal itu, soal nama MS (Marcella Santoso) itu," ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Harli Siregar dalam jumpa pers Sabtu, 12 April 2025.
Baca juga: Pimpinan KPK Baru: Sarat Problem Masa Lalu dan Benturan Kepentingan
Atas tuduhan itu, Zarof Ricar membantah soal kabar dirinya ikut terlibat dalam pemufakatan jahat perkara minyak goreng.
"Nggak ada, nggak ada sama sekali," kata Zarof usai menjalani persidangan kasus pemufakatan jahat vonis bebas Gregorius Ronald Tannur di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025).
Dia mengaku bahwa tidak mengenal pengacara Marcella Santoso dan menilai tuduhan dirinya terlibat di kasus itu sebagai sesuatu yang jahat.
"Nggak, cuman saya tahu namanya ya, tapi ga kenal. Jahat banget itu. Fitnahnya itu loh," tandasnya.
MA Berhentikan Sementara Hakim
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) memberhentikan sementara hakim-hakim dan panitera yang terlibat perkara suap vonis ontslag atau putusan lepas pada kasus korupsi ekspor CPO. Ketiganya adalah hakim Agam Syarif Baharudin, hakim Ali Muhtarom, dan hakim Djuyamto.
"Kita semua wajib menghormati asas praduga tak bersalah selama proses hukum berlangsung, hakim dan panitera yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan akan diberhentikan sementara," ujar juru bicara MA, Yanto, dalam konferensi pers, Senin (14/4/2025).
"Jika telah ada putusan yang berkekuatan tetap akan diberhentikan tetap," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, ia menegaskan pimpinan MA menghormati proses hukum di Kejagung. MA juga mendorong agar proses hukum dilakukan secara transparan, adil, dan akuntabel.
"Mahkamah Agung sangat prihatin atas peristiwa yang terus mendera dunia peradilan di saat Mahkamah Agung sedang berbenah dan melakukan perubahan dalam mengelola dan menjalankan Peradilan untuk mewujudkan Peradilan yang bersih dan profesional," ujar Yanto.
MAKI : Sistem Pengawasan Hakim MA Buruk
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengkritik Mahkamah Agung (MA) terutama sistem pengawasan hakim yang dinilai sangat buruk sehingga kasus suap hakim masih kembali terjadi.
"Sistem pengawasan MA sangat buruk karena nyatanya baru aja jebol Surabaya, ini jebol Jakarta, bahkan Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, karena ini tipikornya kan rangkaiannya di pusat, ternyata hakimnya sebagian dari Jakarta Selatan," kata Boyamin dalam keterangannya kepada TheStanceID.
Menurut Boyamin, kasus-kasus yang menjerat oknum MA dan petinggi peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan PN Tipikor Jakarta Pusat menunjukkan bahwa MA belum mengawasi secara efisien.
Dia meminta MA harus membuka diri selebar-lebarnya terhadap pengawasan dari Komisi Yudisial (KY). Boyamin juga ingin agar KY bisa mengawasi MA secara menyeluruh, artinya tidak sebatas mengawasi perilaku hakim di bawah MA.
"MA tidak boleh menutup diri hanya alasannya sudah diawasi badan pengawas. Itu kan bentuk menutup diri kan menurut saya yang tidak ingin berbenah, tidak ingin memperbaiki diri. Jadi ya harus membuat diri terhadap KY," tegasnya.
Periksa kembali 3 Terdakwa Korporasi
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar mendesak Kejaksaan Agung untuk memeriksa kembali 3 terdakwa korporasi yang sebelumnya mendapat vonis Lepas lewat tangan 7 tersangka itu.
Tiga terdakwa korporasi itu adalah Permata Hijau Group, Wimar Group dan Musim Mas Group.
Hal ini menyusul terbongkarnya kasus dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Fickar, pemeriksaan ini penting untuk mengungkap siapa pemberi suap dan meminta pertanggungjawaban hukum pemberi suap.
"Ya semua yang terlibat termasuk para pengusaha dan korporasinya juga harus ditetapkan sebagai tersangka. Jangan hanya stop di 7 tersangka. Perlu diusut siapa pelaku utama yang memerintahkan dilakukannya dugaan suap itu sehingga 3 terdakwa korporasi itu bisa lepas," jelasnya.
Terkait putusan pengadilan diputus oleh hakim yang menerima suap, pada dasarnya setiap putusan pengadilan harus dianggap benar atau dikenal dengan asas res judicata pro veritate habetur. Artinya, putusan hakim itu harus dianggap benar dan tidak bisa dipersalahkan, sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Untuk itu, dalam perkara pidana, jika hakim terbukti menerima suap sehingga memengaruhi putusannya, maka para pihak dalam perkara pidana dapat mengajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Kejagung Ajukan Kasasi Vonis Lepas 3 Terdakwa Korporasi
Salah satunya seperti yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung), dimana langsung mengajukan kasasi terhadap vonis lepas yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap tiga terdakwa korporasi dalam kasus korupsi persetujuan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) periode 2021-2022.
"Sudah (mengajukan kasasi) tertanggal 27 Maret 2025, sesuai Akta Permohonan Kasasi, Memori kasasi juga telah diterima Mahkamah Agung (MA) pada Rabu, 9 April 2025," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, Selasa (15/4/2025).
Harli menyebut kasus suap vonis lepas CPO dijadikan salah satu pertimbangan Kejagung dalam mengajukan pengajuan kasasi. Sebab, sesuai hukum acara pidana bahwa setidaknya ada tiga alasan mengajukan kasasi.
Seperti misalnya, hakim dalam memutus atau memeriksa perkara itu berdasarkan hukum atau tidak. Kemudian, ada pelanggaran terhadap hukum formal yang dilakukan atau ada melebihi kewenangan. Harli mengatakan dalam hal ini jaksa melihat majelis hakim dalam menyatakan perkara lepas demi hukum berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang tidak sesuai dengan hukum.
"Saya kira ini kan sudah notoire, sudah fakta yang tidak bisa terbantahkan, bahwa ini sedang disidik. Terkait dengan adanya dugaan suap maupun gratifikasi, bahwa ini nanti akan dipertimbangkan, saya kira nanti kita lihat perkembangannya," ujar Harli. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.