Pimpinan KPK Baru: Sarat Problem Masa Lalu dan Benturan Kepentingan

Sosok model ‘Bisalah Kita Cari Duit’ dipilih jadi pimpinan KPK, masa depan pemberantasan korupsi kian suram.

By
in Headline on
Pimpinan KPK Baru: Sarat Problem Masa Lalu dan Benturan Kepentingan
Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di gedung KPK, Jakarta. Sumber: KPK

Jakarta, TheStanceID – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memilih lima orang pimpinan dan anggota dewan pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (21/11/2024). Problematik, integritasnya dipertanyakan.

Mereka adalah Komjen Pol Setyo Budiyanto (polisi/Irjen Kementan), Johanis Tanak (Komisioner KPK saat ini), Fitroh Rohcahyanto (jaksa yang sempat menjadi Direktur Penuntutan KPK), Agus Joko Pramono (mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan/BPK), dan Ibnu Basuki Widodo (hakim Pengadilan Tinggi Manado).

Dari nama-nama tersebut, Komisi III DPR memilih Setyo Budiyanto sebagai Ketua KPK. Setyo mendapat 45 suara.

Di kursi Dewas, DPR memilih Chisca Mirawati (Founder & Managing Partner CMKP Law), Benny Mamoto (mantan Ketua Harian Kompolnas), Wisnu Baroto (jaksa), Sumpeno (hakim Pengadilan Tinggi Jakarta), dan Gusrizal (Ketua Pengadilan Tinggi Samarinda).

Menanggapi hasil pemilihan ini, sejumlah elemen masyarakat sipil dan akademisi menilai KPK periode 2024-2029 bakal rawan intervensi dalam aksinya memberantas korupsi, mengingat mayoritas di antaranya adalah pimpinan di institusi penegak hukum lain.

Seleksi Cuma Basa-Basi

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Transparency International Indonesia (TII) kompak menuding pimpinan KPK baru sudah dikondisikan.

Di tengah krisis integritas, seharusnya DPR memilih sosok pimpinan dan Dewas KPK dengan rekam jejak baik. Namun yang terjadi justru sebaliknya sehingga proses seleksi hingga uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dinilai tak serius.

"Basa-basi seleksi, pengondisian calon pimpinan KPK yang bisa kompromi korupsi," ujar Julius Ibrani dari PBHI melalui keterangan tertulis, pada Jumat (21/11/2024).

Dia menduga panitia seleksi (pansel) memilih calon yang terafiliasi dengan rezim Joko Widodo (Jokowi). Dalam praktiknya, KPK melakukan pengusutan terhadap kasus korupsi di masa lalu (yang sudah terjadi) dan di masa kini (yang masih berjalan).

Tidak heran, banyak calon yang memiliki rekam jejak cukup baik dan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi justru dijegal di tahap awal. Sebaliknya, Pansel malah meloloskan nama-nama dengan rekam jejak buruk.

OTT Berisiko Dihapus

Salah satu yang problematik adalah Johanis Tanak. Saat menjabat komisioner, dia berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite, yang tersangkut kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) di Kementerian ESDM.

Percakapan berisi 'bisalah kita cari duit' itu sempat viral di media sosial.

"Selain itu, dalam paparannya saat fit and proper test, Johanis Tanak menegaskan akan menghapus OTT KPK karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHAP [Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana] yang berlaku," kata Julius.

Ironisnya, pernyataan Tanak ini justru menuai tepuk tangan dari sebagian anggota Komisi III DPR, dan dia termasuk yang mendapatkan suara terbanyak.

Minim Representasi Perempuan

Aspek lain yang menjadi perhatian dalam proses seleksi pimpinan dan Dewas KPK adalah minimnya representasi Perempuan. Tidak ada perempuan yang terpilih sebagai pimpinan KPK.

Berdasarkan catatan TheStanceID, dua sosok perempuan pernah menjadi pimpinan KPK. Mereka adalah Basaria Panjaitan (periode 2015-2019) dan Lili Pintauli Siregar (periode 2019-2024).

Menanggapi itu, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan tidak ada aturan yang mengharuskan adanya keterwakilan perempuan atau latar belakang tertentu dalam pemilihan pimpinan KPK.

“Kalau perempuan, itu dia, makanya itulah hasil suara dari teman-teman,” ujar politikus Partai Gerindra tersebut.

Sebenarnya ada dua figur perempuan yang mengikuti fit and proper test pada Senin-Selasa lalu. Mereka adalah Poengky Indarti dan Ida Budhiati. Namun dalam voting, Poengky hanya mendapat 2 suara sementara Ida meraih 8 suara.

Habiburokhman menegaskan bahwa proses voting dilakukan secara rahasia, sehingga keputusan sepenuhnya berdasarkan pertimbangan masing-masing anggota Komisi III DPR.

Di Ketiak DPR

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai DPR secara tidak langsung ingin mengontrol KPK melalui penempatan aparat penegak hukum dari institusi lain di posisi pimpinan KPK.

Hal ini terlihat dari konfigurasi pimpinan KPK yang diisi personel polisi, jaksa, hakim, hingga auditor. Artinya, KPK dijadikan sebagai 'sekretariat bersama' aparat penegak hukum di institusi lain—yang semestinya jadi target KPK untuk dibersihkan.

Konfigurasi pimpinan KPK ini dikhawatirkan memicu loyalitas ganda. Karena berasal dari institusi penegak hukum yang memiliki 'semangat korps', benturan kepentingan tersebut sangat rawan terjadi sekalipun mereka sudah pensiun.

Kondisi ini diyakini menggerus independensi KPK, lantaran ada benturan kepentingan di tingkat pimpinannya yang terkooptasi oleh institusi penegak hukum asalnya. Intervensi juga rawan terjadi, oleh oknum korup mantan kolega pimpinan KPK di institusi penegak hukum asalnya.

Karenanya, Zaenur pesimistis para pimpinan KPK baru tersebut mau menangani kasus korupsi yang muncul di institusi asal mereka yang hingga kini terindikasi sarat korupsi yakni kejaksaan, kepolisian, Mahkamah Agung (MA) dan BPK.

"Saya tidak melihat dengan konfigurasi pimpinan KPK yang seperti ini, KPK akan kembali menjadi lembaga negara yang bisa independen. Dengan konfigurasi lima orang ini, KPK akan semakin ditundukkan," kata Zaenur dikutip CNN Indonesia, Kamis (21/11/2024).

Desakan Mundur

Melihat komposisi pimpinan KPK sekarang, Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mendesak pimpinan KPK terpilih periode 2024-2029 mengundurkan diri dari instansi asalnya.

"ICW mendesak agar pimpinan KPK terpilih yang berasal dari penegak hukum tidak hanya mengundurkan diri dari jabatannya, melainkan juga mengundurkan diri dari instansi asal, baik kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung," ujar peneliti ICW Diky Anandya melalui siaran pers, Kamis (21/11/2024).

Apalagi, kata Diky berdasarkan Undang-Undang KPK, salah satu subyek dari proses hukum di KPK adalah aparat penegak hukum. "Apakah pimpinan dapat bertindak obyektif dan imparsial jika pada masa mendatang KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya?"

Kompetensi pimpinan KPK terpilih juga dipertanyakan. "Dia [Ibnu Basuki Widodo] memberikan contoh mengenai penyadapan yang disebut harus dilakukan atas seizin Dewan Pengawas terlebih dulu. Ibnu dalam konteks ini tidak memahami," jelas Diky.

Pasalnya, kewenangan Dewas untuk memberikan izin penyadapan sudah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 70/PUU-XVII/2019 yang keluar sejak tahun 2021.

Calon pimpinan KPK tidak memahami aturan KPK, tapi dipilih pula bersama calon pimpinan lain yang pernah menemui tersangka korupsi. Mengutip istilah Anthony Budiawan: selamat datang di negara para bandit! (est)

\