Roadmap Pendidikan di Indonesia Tidak Jelas, Bongkar Pasang Mengikuti Selera Menteri
Kebijakan pendidikan berulang kali bongkar pasang. Guru dan siswa jadi korban.

Jakarta, TheStanceID - Diktum 'ganti Menteri ganti kebijakan' kerap muncul dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Tapi diktum itu tidak salah. Memang sepeti itulah esensi desain pendidikan di Indonesia --mengikuti selera menteri. Tidak ada peta jalan (roadmap) baku yang bisa dipegang. Harus siap bongkar pasang ketika ada pergantian menteri.
Kali ini desain baru (belum terlalu lama) yang akan kembali dibongkar adalah penjurusan IPA, IPS dan Bahasa di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Penjurusan ini sudah diterapkan sejak era Orde Baru dan berjalan hingga tahun 2000-an.
Lalu pada 2021, ketika Nadiem Makarim menjadi menteri, sistem penjurusan ini dihapus.
Tapi menteri pendidikan sekarang, Abdul Mu'ti, rupanya tidak sependaat. Dia akan menghidupkan lagi sistem penjurusanmulai tahun ajaran baru 2025/2026.
Alasan Penjurusan Dihidupkan kembali
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti, mengatakan alasan penjurusan dihidupkan kembali karena untuk mendukung pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan menggantikan Ujian Nasional (UN). Dalam TKA, materi yang diujikan adalah pelajaran yang biasa dipelajari para siswa.
"TKA itu nanti berbasis mata pelajaran. Sehingga itu akan membantu para pihak terutama untuk murid yang melanjutkan ke perguruan tinggi itu terlihat kemampuannya seperti apa," katanya, Jumat (11/4/2025).
"Karena tesnya berbasis mata pelajaran. Sehingga di depan ini jurusan akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada jurusan lagi. IPA, IPS dan Bahasa," tambahnya.
Mu’ti menjelaskan, siswa yang memilih jurusan bisa memilih satu mata pelajaran tambahan dalam rumpun keilmuan mereka untuk diujikan dalam TKA.
Dia mencontohkan, murid jurusan IPA bisa memilih untuk mengambil ujian tambahan di pelajaran Biologi, Fisika, atau Kimia.
“Untuk yang IPS juga begitu. Dia boleh tambahan [mengambil ujian tambahan] apa itu ekonomi, sejarah, atau ilmu-ilmu lain dalam rumpun ilmu sosial,” jelas Mu’ti.
Nantinya, murid yang memilih TKA bisa menggunakan nilai ujian tersebut untuk mendaftar ke perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Untuk itu, TKA akan dimulai pada November 2025 untuk siswa kelas XII SMA/SMK.
Mu'ti yang juga sekretaris umum PP Muhammadiyah ini berargumen, penghidupan kembali sistem jurusan dan sinkronisasi dengan pelaksanaan TKA akan menjadi landasan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Dengan demikian, dia berharap ke depannya tak ada lagi pengambilan lintas jurusan.
“Waktu kami dialog dengan forum rektor disampaikan ada mahasiswa yang dia itu IPS, tapi dia masuk fakultas kedokteran. Wah, itu bisa jadi jeblok itu. Diterima sih diterima, tapi ketika sudah her kuliah (remedial)itu bisa menjadi kesulitan tersendiri,” ujarnya.
Selain itu, kata Mu'ti, kebijakan tersebut muncul sebagai respons atas berbagai masukan dari perguruan tinggi dan dunia kerja yang mengeluhkan sulitnya menilai kompetensi spesifik lulusan SMA sejak diterapkannya Kurikulum Merdeka.
“Banyak perguruan tinggi, terutama di luar negeri, kesulitan memahami sistem kita yang tanpa penjurusan. Mereka terbiasa dengan klasifikasi yang lebih jelas,” katanya.
Jurusan Sempat Dihapus
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nadiem Makarim, sempat memutuskan menghapus jurusan IPA, IPS dan Bahasa di SMA dan menggantinya dengan Kurikulum Merdeka pada 2021.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbud Ristek, Anindito Aditomo, ketika itu berargumen jurusan SMA dihapus karena selama ini menimbulkan ketidakadilan.
Misalnya terdapat pelabelan di masyarakat, termasuk dari orang tua murid, bahwa jurusan IPA lebih unggul ketimbang IPS dan Bahasa. Selain itu, orang tua juga cenderung memasukkan anaknya ke jurusan IPA agar memiliki pilihan program studi (prodi) yang lebih luas ketika mendaftar perguruan tinggi.
“Salah satunya itu (karena orangtua rata-rata memilihkan anaknya masuk IPA). Kalau kita jurusan IPA kita bisa memilih jurusan lain,” ujar Anindito dikutip dari Kompas.com, Selasa (16/7/2024).
Dihapusnya jurusan pada jenjang SMA, diharapkan bisa membuat siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat.
“Pada kelas XI dan XII SMA, murid yang sekolahnya menggunakan Kurikulum Merdeka dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan, dan aspirasi studi lanjut atau kariernya,” katanya.
Di sisi lain, penghapusan jurusan SMA juga berguna untuk menghilangkan diskriminasi terhadap siswa non-IPA pada penerimaan mahasiswa baru.
Semua lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua prodi melalui jalur tes tanpa dibatasi oleh jurusannya ketika sekolah dengan Kurikulum Merdeka.
"Kemendikbud Ristek menilai kesempatan siswa memilih mata pelajaran sesuai minat dapat meningkatkan fokus untuk membangun basis pengetahuan yang relevan untuk minat dan rencana studi," kata Anindito.
Respon Guru
Ketua Umum Federasi Serikat Guru Indonesia, Fahmi Hatib, menilai keputusan Mendikdasmen Abdul Mu'ti terlalu tergesa-gesa.
Sebab, kurikulum merdeka yang diinisiasi oleh Nadiem belum kelihatan hasilnya sehingga tak ada alasan kuat untuk mengubahnya kembali.
"Biasanya pergantian kurikulum itu setiap sepuluh tahun, ini belum sampai tiga tahun sudah ganti lagi," katanya.
Kalau pun pemerintah benar-benar serius ingin memberlakukan sistem penjurusan di SMA, Fahmi menyarankan agar pelabelan maupun favoritisme itu dihilangkan.
Yang terpenting, kata Fahmi, pemerintah bisa meningkatkan kualitas guru serta menyediakan sarana-prasarana yang dibutuhkan oleh ketiga jurusan IPA, IPS, dan Bahasa tersebut.
Seab berkaca pada penerapan penjurusan di era lalu, mayoritas sekolah lebih mengutamakan sarana-prasarana berupa laboratorium untuk jurusan IPA.
"Seakan-akan yang membutuhkan laboratorium itu hanya IPA saja. Padahal semestinya IPS juga dibuatkan lab khusus. Begitu juga Bahasa agar mereka memahami multifungsi Bahasa," ungkapnya.
Selain itu, kurikulum harus bisa relate dengan praktek kondisi terkini, sehingga murid tidak hanya belajar dari buku pelajaran.
"Misalnya anak IPS untuk menganalisa ekonomi bisa bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk memahami situasi keuangan nasional," jelasnya.
Sarana-prasarana yang memadai untuk ketiga jurusan itu setidaknya bisa menunjukkan bahwa pemerintah serius dengan desain baru ini, tidak cuma coba-coba.
"Sebagai bukti bahwa kami tidak dijadikan kelinci percobaan, ngetes-ngetes kebijakan," katanya.
Penjurusan Tidak Sesuai dengan Kurikulum Merdeka
Pengamat Kebijakan Pendidikan UPI, Cecep Darmawan, menilai rencana Abdul Mu'ti menghidupkan kembali penjurusan IPA-IPS-Bahasa di SMA tidak sesuai dengan kurikulum merdeka. Ia mempertanyakan perubahan sistem dengan kecocokan kurikulum.
Menurut Cecep, harusnya Pemerintah mengevaluasi kurikulum terlebih dulu sebelum menentukan perlu tidaknya pembukaan kembali penjurusan.
"Dievaluasi dulu kurikulumnya seperti apa, baru ya pemerintah menentukan perlu atau tidaknya pembukaan jurusan itu. Kalau kurikulumnya seperti ini, apalagi kurikulum merdeka, itu lebih cocok non jurusan daripada ada jurusan," katanya.
"Jadi ini terbalik. Ada jurusan dulu, kurikulum diubah. Harusnya kebijakannya itu perubahan kurikulum dulu baru kemudian penjurusan. Jangan karena ada penjurusan, kurikulum yang menyesuaikan," jelasnya.
Pemerintah Tidak Konsisten pada Peta Jalan Pendidikan
Senada, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji melihat gonta-ganti kebijakan yang terbilang cepat dan tanpa ada kajian ilmiah menunjukkan Indonesia tidak punya peta jalan atau roadmap pendidikan jangka panjang.
Padahal, peta jalan itu dianggap vital untuk mengukur sejauh mana pencapaian menuju cita-cita Indonesia emas 2045, seperti yang dirancang oleh Bappenas.
Untuk diketahui pada 2024 lalu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045, sebagai bagian dari implementasi Visi Indonesia Emas 2045.
Salah satu yang disorot dalam peta jalan Bappenas itu adalah kualitas pendidikan Indonesia yang masih rendah dan berada di posisi ke-6 dari 7 negara.
Dalam hal membaca, matematika dan sains, Indonesia kalah dari Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Di peta jalan itu Bappenas mendorong percepatan wajib belajar 13 tahun (1 tahun pendidikan prasekolah dan 12 tahun pendidikan dasar dan pendidikan menengah), pemerataan akses pendidikan tinggi berkualitas dan pengembangan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics), serta pengembangan kualitas pengajaran dan pembelajaran.
Bappenas juga menganjurkan penguatan pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan berkualitas.
Namun, menurut Ubaid, selama ini apa yang dirancang dalam peta jalan pendidikan itu tidak sinkron dengan keputusan maupun program yang dikeluarkan baik menteri pendidikan maupun presiden.
"Sekarang mau ada sekolah unggulan, sekolah rakyat, makan bergizi gratis, itu ada enggak di peta jalan pendidikan Bappenas? Tidak ada. Artinya tidak ada yang dijadikan kiblat pendidikan Indonesia," jelasnya.
Padahal, kata Ubaid, agar peserta didik bisa berkualitas, maka yang pertama harus diperhatikan adalah kualitas gurunya dulu.
"Tapi yang dilupakan di situ adalah kompetensi gurunya. Itu kan PR dari kurikulum merdeka karena mengasumsikan guru sudah punya kemampuan yang tinggi dan sama di semua sekolah."
"Mau diganti-ganti [kebijakan] kalau gurunya enggak mampu ya enggak akan ada perubahan," tambahnya.
Belum lagi, kata Ubaid, sistem penjurusan belakangan menimbulkan persoalan stigma sikap "favoritisme" di masyarakat dan terutama para orang tua. Murid yang masuk jurusan IPA dianggap memiliki keistimewaan atau kemudahan saat mendaftar kuliah.
Ada juga "pelabelan" bahwa murid-murid IPA dinilai lebih pintar dari dua jurusan lainnya.
Ubaid pun menilai gonta-ganti kebijakan soal kurikulum dan penjurusan ini cuma akan merugikan guru dan siswa karena mereka seperti diperlakukan layaknya "kelinci percobaan" oleh pejabat.
"Kasihan anak-anak jadi kelinci percobaan, karena korbannya peserta didik. Tapi yang lebih serius lagi korbannya ya masa depan kualitas pendidikan di Indonesia yang terus memburuk," ujar Ubaid. (est)
Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.