Dulu Belajar dari Indonesia, Ini Rahasia Jepang Jadi Godzila Sepak Bola

Jepang pernah belajar dari Galatama tahun 1990-an. Kini mereka jadi "Godzila" Sepak Bola, meninggalkan kita.

By
in Pop Culture on
Dulu Belajar dari Indonesia, Ini Rahasia Jepang Jadi Godzila Sepak Bola
Pemain sepak bola Jepang Takumi Minamino melakukan selebrasi usai mencetak gol ke gawang tim Indonesia di laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 di GBK, Jakarta pada Jumat (15/11/2024). Sumber: https://www.jfa.jp/

Jakarta, TheStanceID –  Timnas Sepak bola Indonesia dipecundangi 0-4 oleh tim godzilla (raksasa) Jepang di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jumat malam (15/11/2024). Dulu mereka belajar sepak bola dari Indonesia, kini giliran Indonesia yang perlu ke Jepang untuk meniru pengembangan sepak bola mereka.

Dalam pertandingan Jumat kemarin, Jepang meraih empat skor yang satu di antaranya didapatkan dari gol bunuh diri pemain naturalisasi Indonesia yakni Justin Hubner. Tiga gol lainnya dicetak pemain Jepang yaitu Takumi Minamino, Hidemasa Morita, dan Yukinari Sugawara.

Hasil ini membuat Jepang kokoh di tempat teratas klasemen sementara Grup C Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia dengan 13 poin. Dari lima laga, Jepang menang empat kali dan imbang hanya sekali.

Sementara itu, Timnas Indonesia berada di posisi buncit dengan tiga poin. Dari lima laga, Skuad Garuda belum pernah menang. Sebanyak tiga laga berakhir imbang dan dua laga berakhir kalah.

Harus diakui bahwa timnas Indonesia masih kalah kelas dari tim Jepang yang bermain rapi, disiplin, dan sangat tenang. Hasil ini semakin membuktikan bahwa timnas sepak bola Jepang adalah raksasa sepak bola Asia yang sulit dilawan.

Di level Asia, Jepang menduduki peringkat pertama Konfederasi Sepak bola Asia (AFC). Tim Negeri Matahari Terbit ini membuktikan dominasinya dengan meraih empat gelar Piala Asia pada tahun 1992, 2000, 2004, dan 2011.

Di peringkat FIFA per Oktober 2024, Jepang berada di peringkat ke-15 dunia.

Sejak debut Piala Dunia 1998, sepak bola Jepang terus berkembang dan selalu tampil di tujuh laga akhir Piala Dunia. Prestasi terbaiknya adalah mencapai babak 16 besar, yang diraih sebanyak empat kali pada Piala Dunia 2002, 2010, 2018, dan 2022.

Kemajuan Jepang dalam waktu singkat pun menjadi inspirasi tentang bagaimana mengelola sepak bola. Faktor apa yang membuat timnas Jepang begitu berkembang? Berikut ulasannya.

Belajar dari Indonesia

Sebelum lolos Piala Dunia 1998, tim sepak bola Jepang bisa dibilang cecemere di Asia dan levelnya masih jauh dari tim kuat Eropa dan Amerika Selatan. Sepak bola Jepang baru sepenuhnya profesional pada 1990-an setelah belajar dari Indonesia.

Ya benar, Jepang ternyata pernah berguru ke Indonesia pada tahun 1991 saat masih membenahi liganya yang saat itu masih semi profesional.

Disebut semiprofesional karena para pemain klubnya misal Matsushita (sekarang Gamba Osaka), pemainnya diambil dari pegawai perusahaan Matsushita, bukan atlet bola luar yang memang dikontrak karena skill-nya.

Legenda Timnas Indonesia Ricky Yacobi menjadi saksi sejarah bahwa Jepang pernah belajar sepak bola dari Indonesia, sebagaimana dikutip dari Jawa Pos.

Yacobi yang pernah dikontrak klub Jepang, Matsushita pada musim 1988-1989 ini menceritakan, pengurus sepak bola Negeri Sakura kala itu mempelajari Galatama (Liga Sepak bola Utama), kompetisi profesional Indonesia yang lahir pada 1979.

Mereka mencatat sistem pendidikan pelatih dan cara membentuk akademi di bawah klub-klub profesionalnya agar menjadi inti pembenahan Asosiasi Sepak Bola Jepang (JFA).

Dari situ, lahirlah kompetisi professional pertama di Jepang, yakni J-League, pada tahun 1993.

Turnamen SMA Berkembang

Tiga dekade sejak J-League dan tim sepak bola profesional Jepang terbentuk di hampir setiap prefektur, sepak bola amatir di tingkat sekolah tetap memiliki tempat khusus di hati publik Jepang.

Ini membuat sepak bola Jepang begitu unik.

Beberapa tim sekolah pun berkembang dengan lebih dari 100 anggota. Persaingan di dalamnya sangat ketat, dan turnamen antar sekolah senantiasa dipenuhi penonton.

Bahkan, ada banyak pemain Jepang yang memilih bergabung dengan tim sekolah. Salah satu contoh yang paling mengejutkan adalah legenda Jepang Keisuke Honda, yang justru tampil menonjol di SMA daripada di akademi sepak bola.

Honda memilih bermain di SMA Seiryo di Prefektur Ishikawa karena tak bisa menembus tim U-18 Gamba Osaka.

Di sana, ia mengasah keterampilan dan menempa karirnya sebelum berhasil menembus klub J-League dan berkelana di sejumlah klub Eropa.

Kampus Jadi Kawah Candradimuka

Selain SMA, kompetisi antar universitas menjadi metode untuk meng-upgrade level permainan setiap pemain. Standar kompetisinya pun sangat tinggi, hampir menyentuh level semiprofesional.

Beberapa nama pemain top Jepang saat ini seperti Kaoru Mitoma (Brighton) dan Kyogu Furuhashi (Celtic) muncul ketika berkiprah di tingkat universitas. Sekarang, mereka bermain di Eropa dan tim nasional.

Yang menarik, sembilan pemain dari skuad Piala Dunia 2022 berasal dari kompetisi SMA dan kampus. Salah satunya Winger Timnas Jepang, Junya Ito.

Alih-alih masuk akademi sepak bola, ia justru memilih masuk tim universitas. Dari situ, dia menandatangani kontrak dengan Ventforet Kofu dari J-League untuk memulai karir profesionalnya.

Kenapa Ito dkk lebih memilih bermain di kampus ketimbang di kompetisi J-League? Jam terbang.

Turnamen kampus memberi mereka jam untuk merumput lebih tinggi, dengan level permainan hampir setara dengan kompetisi antar tim di J-League 2 dan J-League 3.

Pakar Sepak Bola

Kaoru Mitoma menjadi puncak gunung es fenomena bola berbasis Pendidikan di Jepang. Pemain yang kini bermain untuk tim Liga Premier Inggris, Brighton & Hove Albion itu menolak tawaran kontrak klub papan atas Kawasaki Frontale di tahun 2016.

Dia mengabaikan tawaran ribuan yen itu, padahal saat itu dia baru berusia 19 tahun. Dia memilih sekolah dulu, dengan berkuliah di Universitas Tsukuba, kampus yang terkenal karena menjadi almamater bagi atlet kenamaan Jepang.

Awalnya, banyak yang menganggap keputusan Mitoma itu keliru. Tapi, dia yakin bahwa bermain di universitas memungkinkannya mendalami dan mengembangkan skill sepak bolanya dengan tanpa beban.

“Saya pikir akan lebih baik untuk pergi ke universitas sebelum menjadi pesepak bola profesional. Jadi saya mempelajari banyak hal termasuk kepelatihan, olahraga, dan nutrisi. Intinya, saya belajar banyak hal,” ucap Mitoma seperti dikutip dari Eurosport.

Mitoma menempuh bidang studi Pendidikan Jasmani selama 4 tahun dan membuat tugas akhir sebagai bagian dari kuliahnya. Dari sana, ia merancang skripsi tentang aspek-aspek yang lebih rinci dalam hal menggiring bola.

Ia melakukan penelitian dengan melakukan sejumlah ujicoba dan praktek pada sejumlah pemain untuk membuktikan hipotesisnya tentang teknik menggiring bola yang lebih efektif.

Hasilnya, Mitoma bukan hanya mendapatkan keuntungan dari riset dan dukungan rekan satu timnya. Dunia akademik membantu sang pemain tak hanya menjadi pemain sepak bola, tetapi juga pakar sepak bola.

Mitoma menjadi contoh sukses Universitas Tsukubia, bersama alumni lainnya seperti Sawao Kato (peraih medali emas Olimpiade Senam delapan kali) dan Saki Kumagai (pemenang Piala Dunia Wanita dan kapten tim Bayern Munich saat ini).

Pentingnya Institusi Pendidikan

Dengan demikian, di Jepang bisa dibilang bahwa olah raga sepak bola menempel dengan institusi pendidikan. Baik di tingkat SMA atau universitas, institusi pendidikan jadi lembaga penyedia landasan penting bagi kelangsungan olahraga tersebut.

Para calon pemain timnas memiliki waktu merenungkan jalan hidup yang akan dipilih, menetapkan tujuan dan area yang perlu ditingkatkan. Di pendidikan formal tersebut, mereka bisa mengasah skill bola bukan dari lapangan tapi juga dari pengetahuan.

Kemauan Jepang belajar dan melewati fase-fase pembelajaran itu mestinya ditiru Indonesia. Sayang, hal itu justru hilang dari persepak bolaan Indonesia tiga dekade belakangan.

Ricky Yacobi menilai, salah satu prasyarat yang harus dilalui untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia adalah kompetisi tingkat yunior. Mungkin prosesnya panjang, tapi hasilnya bisa dinikmati di masa mendatang.

Berkaca dari fakta bahwa Jepang pernah berguru ke Indonesia dan sepak bolanya kini berkembang pesat meninggalkan Indonesia, sudah waktunya Indonesia yang berguru ke Jepang. (est)