Lari, dari Insting Purba ke Gaya Hidup Modern
Lari adalah olahraga murah yang bisa meningkatkan kesehatan. Finlandia mengampanyekan lari ke dalam sistem kesehatan mereka, dan hasilnya terjadi penurunan angka kematian akibat penyakit jantung hingga 70%.

Jakarta, TheStanceID - Sejak zaman purba, manusia berlari untuk bertahan hidup—memburu mangsa atau menghindari predator. Seiring waktu, lari berevolusi menjadi olahraga kompetitif, dimulai dari Olimpiade pertama di Yunani pada 776 SM.
Saat itu, lomba lari sepanjang 192 meter itu jadi satu-satunya cabang yang dipertandingkan. Pemenangnya, Koroibos, seorang tukang roti, hanya menerima mahkota daun zaitun sebagai tanda kehormatan.
Kini, lari tak sekadar ajang adu cepat, tetapi telah menjadi bagian dari gaya hidup. Dengan dukungan teknologi dan media sosial, masyarakat semakin sadar akan manfaat lari untuk kesehatan, sosial, dan mental.
Komunitas-komunitas lari pun tumbuh. Klub lari pertama kali terbentuk pada abad 19 yaitu Thames Hare and Hounds di London. Merekalah yang memelopori lari lintas alam (cross-country).
Hanya, ketika itu lari masih menjadi olahraga kaum bangsawan. Dari Inggris, lari menyebar ke Amerika dan Eropa. Di Amerika Serikat, kompetisi besar seperti Boston Marathon mulai digelar pada 1897.
Lari pun tak lagi dipandang sebagai aktivitas terbatas kaum elit, melainkan olahraga yang bisa diikuti masyarakat dari berbagai lapisan.
Pada tahun 1960 hingga 1970-an, terjadi fenomena “running boom” di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS).
Gelombang minat terhadap lari ini dipicu oleh berbagai faktor, antara lain buku Jogging karya pelatih legendaris Bill Bowerman pada 1966, meningkatnya kesadaran hidup sehat, serta popularitas pelari seperti Steve Prefontaine, pelari legendaris AS yang tak terkalahkan di kelas 10 kilometer.
Fungsi Bergeser, Kian Beragam
Pada periode ini fungsi klub lari mulai bergeser. Jika mereka sebelumnya lebih berorientasi pada prestasi, kini mulai menekankan unsur rekreasi, kesehatan, dan gaya hidup.
Memasuki era tahun 2000-an, klub lari menjelma menjadi komunitas yang inklusif dan memiliki berbagai fungsi.
Fokus mereka tidak lagi hanya pada performa atletik, tetapi juga mencakup kebugaran, kegiatan sosial, pemulihan mental (healing), hingga penggalangan dana untuk kegiatan kemanusiaan.
Di Indonesia, tren serupa tumbuh melalui komunitas seperti klub lari IndoRunners, New Balance Run Club (NBRC), Runhood, Jakarta Trail Runners, dan berbagai klub lain yang biasanya berada di perkotaan.
TheStanceID sempat menjajaki salah satu klub lari yang aktif berlatih di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta, yakni New Balance Run Club (NBRC) Indonesia.
Klub yang didirikan pada 2022 ini awalnya hanya beranggotakan sepuluh orang, lalu ini berkembang secara organik hingga kini memiliki lebih dari 500 anggota.
Latihan di NBRC dirancang sistematis, mencakup strength training, teknik, dan track run—terbuka bagi semua kalangan.
“Awalnya cuma bertiga saya sebagai coach dan dua kapten. Anggota pertama kami hanya sepuluh orang, tujuh di antaranya adalah klien-klien saya yang memang tertarik ikut race,” ujar pelatih lari NBRC Indonesia Naraulia Intifadhah pada TheStanceID.
New Balance adalah perusahaan yang memproduksi pakaian dan sepatu olahraga asal Amerika. Mereka adalah perusahaan multinasional dan berdiri sejak 1906.
Baca Juga: Belajar Determinasi dari Dewi, Anak Sopir yang Jadi Doktor Termuda UGM
Masuknya korporasi besar ke dalam komunitas lari memang salah satu tren abad 20. New Balance (NB) bukan satu-satunya yang melakukan. Produsen perlengkapan olahraga lain seperi Nike, Adidas dan lainnya, juga melakukannya.
Ini sering menimbulkan kritik bahwa lari kembali menjadi olahraga mahal. Sekadar contoh, harga sepatu sneaker NB misalnya berkisar Rp2,5 juta.
Mengenai penggunaan perlengkapan, Naraulia menegaskan bahwa tidak ada keharusan untuk memakai sepatu New Balance bagi yang ingin bergabung.
Namun, ia mengakui banyak anggota akhirnya memilih produk New Balance karena mendapat rekomendasi positif dari sesama pelari, serta kemudahan dalam mendapatkan diskon sebagai bagian dari komunitas.
“Dulu New Balance belum terlalu dikenal untuk sepatu lari. Sekarang, branding-nya kuat, desainnya menarik, dan store-nya edukatif. Sudah bisa kasih saran sepatu mana yang cocok untuk pemula, mana yang buat performa,” katanya.
Dari segi prestasi, sebagian anggota klub juga menunjukkan peningkatan. "Dulu ada yang lari 3 kilometer saja sudah terengah-engah. Sekarang dia sudah ikut maraton internasional. Bahkan ada yang akan kami kirim ke New York Marathon November (2025) ini,” kata Naraulia.
Lari dalam Perspektif Kesehatan
Menurut Dr. Dicky Budiman, ahli kesehatan global, lari adalah olahraga murah, mudah, dan efektif menurunkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.
Selain itu, lari juga bermanfaat untuk kesehatan mental dengan memicu hormon endorfin dan serotonin, yang membantu mengurangi depresi dan kecemasan.
Namun, keterbatasan infrastruktur kota seperti ruang hijau, trotoar layak, dan kualitas udara menjadi kendala. Dicky mendorong pemerintah untuk menciptakan kota yang mendukung gaya hidup aktif—misalnya lintasan lari di atap gedung atau stasiun MRT.
“Kita perlu pendekatan kota sehat, minimal 10% lahan kota harus diperuntukkan untuk ruang terbuka hijau, termasuk di kawasan permukiman,” ujarnya.
Dia juga menekankan pentingnya dukungan kebijakan, seperti jam kerja fleksibel, insentif perusahaan, serta integrasi lari dalam sistem kesehatan nasional.
Dicky mencontohkan beberapa negara seperti Jepang, Singapura, serta negara-negara Skandinavia yang telah berhasil mengintegrasikan lari ke dalam sistem kesehatan nasional mereka.
“Di Finlandia, kampanye olahraga sejak tahun 1970-an mampu menurunkan 70% angka kematian akibat penyakit jantung,” katanya. (par)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram TheStanceID.