Koreksi Istana, MK Tegaskan Wamen Setara Menteri Tak Boleh Merangkap Komisaris
Hingga kini ada 30 wakil menteri (wamen), dari total 56 posisi wamen, yang merangkap jadi komisaris di sejumlah BUMN ataupun anak usaha BUMN. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa wamen adalah seperti menteri, tak boleh merangkap jadi komisaris di BUMN dan perusahaan swasta.

Jakarta, TheStanceID – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan wakil menteri tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi di BUMN maupun perusahaan swasta.
Penegasan itu disampaikan dalam sidang pembacaan Putusan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 terkait pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara), Kamis (17/7/2025).
Dalam dokumen putusan tersebut, dalil pemohon yang menilai adanya putusan MK yang melarang rangkap jabatan bagi menteri juga berlaku untuk wakil menteri, termasuk rangkap jabatan sebagai komisaris.
"Berdasarkan Pasal 23 UU 3/2008, seorang menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris, atau direksi pada perusahaan negara, atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD," demikian dalam salinan putusan perkara nomor 21, dikutip Jumat (18/7/2025).
Jabatan Menteri dan Wakil Menteri memiliki Status yang Sama
Putusan MK sebelumnya juga sebenarnya sudah menegaskan bahwa wakil menteri dilarang rangkap jabatan.
Berdasarkan putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka jelas wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebutkan dalam pasal 23 UU 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Putusan ini mengatakan, jabatan menteri dan wakil menteri sama-sama ditunjuk oleh presiden sehingga memiliki status yang sama.
"Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," tulis putusan 80/2019 itu.
Alasan pertimbangan itu dibuat MK agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu.
Gugatan terkait ini diajukan Juhaidy Rizaldy Roringkon selaku Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES). Namun dalam prosesnya, Juhaidy meninggal dunia pada 22 Juni 2025 lalu, sehingga permohonannya tidak dapat diterima.
“Dengan demikian, dikarenakan pemohon telah meninggal dunia, maka seluruh syarat anggapan kerugian yang didalilkan pemohon tidak terpenuhi oleh pemohon,” kata Wakil Ketua MK, Saldi Isra.
Meski tidak menerima gugatan Juhaidy, MK tetap mencantumkan penegasan dalam memutus perkara itu. Penegasan itu terkait dengan UU yang melarang menteri rangkap jabatan, yang menurut MK, juga berlaku bagi wakil menteri.
Istana Sempat Bersikukuh Tak Ada Larangan Wamen Rangkap Komisaris
Sebelumnya, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi bersikukuh bahwa wakil menteri Kabinet Merah Putih yang menjadi Komisaris di BUMN tak melanggar aturan.
Hasan mengaku mengacu pada Putusan MK Nomor 80 tahun 2019, dimana tak ada larangan bagi Wakil Menteri merangkap jabatan sebagai Komisaris di BUMN.
"Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear. Di pertimbangan ada kata-kata yang seperti itu, tapi dalam putusan tidak ada," kata Hasan di Kantor PCO Jakarta Pusat, Selasa (3/6/2025).
"Jadi apa yang dilakukan hari ini tidak melanggar putusan MK. Tidak menyelisihi putusan MK," sambungnya.
Menurutnya, larangan rangkap jabatan di BUMN berlaku untuk posisi tertentu seperti, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) dan Menteri Sekretaris Negara. Sementara itu, wakil menteri diperbolehkan rangkap jabatan sebagaimana putusan MK.
"Karena dalam putusan (MK) momor 80 tahun 2019 itu, tidak ada pernyataan bahwa wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan," klaim Hasan Nasbi.
30 Wakil Menteri Rangkap Jabatan
Hingga kini, tercatat 30 wamen dari 56 wamen yang ada merangkap jabatan sebagai komisaris di sejumlah perusahaan ataupun anak usaha BUMN.
Beberapa nama yang baru saja ditunjuk untuk menduduki jabatan tersebut ialah Wamen Pemuda dan Olahraga Taufik Hidayat; Wamen Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie; Wamen Luar Negeri Arif Havas Oegroseno; dan Wamen Koperasi Ferry Juliantono.
Selain itu, sudah ada sejumlah wamen lain yang jauh lebih dahulu memperoleh jatah kursi komisaris. Sebagian besar merupakan para wamen yang juga berstatus sebagai kader partai politik yang tergabung dalam koalisi pendukung pemerintah.
Dari Partai Gerindra, misalnya, terdapat sosok-sosok seperti Wamen Komunikasi dan Digital Angga Raka Prabowo, Wamen Pertanian Sudaryono, Wamen Desa dan Pembangunan Ahmad Riza Patria, hingga Wamen Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer.
Banyaknya wakil Menteri yang menduduki jabatan sebagai komisaris di BUMN ini pun menuai sorotan publik. Bahkan dalam sebuah kesempatan, dengan nada berkelakar, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar mengaku tergiur untuk ditawari jabatan serupa.
"Nah, gara-gara wamen-wamen jadi komisaris, kita ngiler juga, kan. Jadi mikir, kira-kira bisa seperti mereka enggak nasib ini?” ujar sosok yang akrab disapa Cak Imin saat memberikan sambutan dalam acara pengukuhan Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) periode 2025-2030, di Jakarta, Senin (14/7/2025).
Wamen Harus Mundur dari Komisaris BUMN
Guru Besar Hukum Tata Negara Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Prof. Dr. Juanda mengatakan, putusan MK yang melarang rangkap jabatan wakil menteri sudah jelas dan tak perlu diperdebatkan.
Mahkamah Konstitusi (MK), kata Prof Djuanda, telah mengeluarkan putusan penting yang menegaskan larangan rangkap jabatan bagi Wakil Menteri (Wamen), sebagai bentuk penguatan terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
“Ketika sudah ada aturannya, ya dipedomani,” tegas Prof Djuanda, dikutip dari tayangan Sapa Pagi KompasTV, Jumat (18/7/2025).
Menurutnya, ada dua jalur penyelesaian terhadap pelanggaran rangkap jabatan oleh wamen ini.
Pertama, pejabat yang melakukan pengangkatan harus memberhentikan wamen dari jabatan komisaris sebagai bentuk koreksi atas putusan MK. Kedua, Wamen yang sedang rangkap jabatan secara ksatria harus mundur atau memilih salah satu jabatan.
“Tidak usah malu-malu demi bangsa dan negara. Beri contoh kepada rakyat Indonesia. Dengan keteladanan itu, pemerintah akan punya wibawa,” jelasnya.
Juanda juga mengajak para pejabat untuk meneladani budaya politik negara maju seperti Jepang, di mana pejabat akan langsung mengundurkan diri jika terjadi kesalahan, bahkan meskipun bukan karena kesalahan langsung mereka.
“Jangan memperlihatkan kerakusan mengejar jabatan. Etis tidak kira-kira? Mau sejalan atau tidak sejalan, prinsipnya tidak boleh melanggar undang-undang,” pungkasnya.
Politik Balas Budi Rugikan Fiskal dan Kinerja BUMN
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Wahyudi Askar, menyoroti praktik rangkap jabatan wamen sebagai komisaris BUMN merupakan politik balas budi presiden terpilih pada pendukungnya pada masa kampanye.
“Setelah Pilpres, presiden tidak mungkin memberikan uang tunai kepada mereka. Maka, digunakanlah instrumen negara yakni kursi komisaris di BUMN untuk membayar jasa-jasa tersebut,” kata Wahyudi, Jumat (18/7/2025).
Wahyudi melihat ada dua bentuk kerugian yang ditanggung negara akibat praktik ini.
Pertama, kerugian fiskal, karena anggaran negara digunakan untuk membayar jabatan politik yang tidak melalui proses seleksi berbasis kompetensi.
“Gaji guru dan PNS di pelosok Papua hanya sekitar Rp5 juta. Sementara komisaris yang ditunjuk secara politis mendapatkan gaji besar hanya untuk rapat, tanpa jaminan kontribusi nyata dan tanpa melalui sistem seleksi yang fair,” paparnya.
Kedua, kerugian kinerja BUMN, sebab individu yang ditunjuk belum tentu memiliki latar belakang atau kapasitas profesional yang sesuai dengan bidang usaha BUMN terkait.
“Ini fakta menyedihkan di tengah situasi ekonomi yang menantang. Rangkap jabatan ini jelas mengorbankan efektivitas BUMN,” tambahnya.
Baca juga: Langgar Undang-Undang, Rangkap Jabatan Wakil Menteri dan Komisaris Terus Berlanjut
Selain potensi konflik kepentingan akibat tumpang tindih peran antara pejabat kementerian dan pengawasan BUMN, menurut Wahyudi, praktik rangkap jabatan juga turut merusak kepercayaan investor, baik domestik maupun internasional terhadap integritas dan tata kelola korporasi BUMN Indonesia.
“Bagaimana BUMN kita mau go global kalau hal receh seperti ini saja masih melanggar hukum dan tidak menerapkan prinsip akuntabilitas yang benar?” ujarnya.
Sebagai solusi, Wahyudi pun mengusulkan, penerapan sistem gaji tunggal bagi pejabat negara agar tidak memiliki dua sumber penghasilan dari APBN dan BUMN. Selain itu, perlu dibentuk tim evaluasi independen oleh DPR dan KPK untuk mendeteksi potensi konflik kepentingan dalam jabatan ganda wamen ini.
“Harus ada reformasi tata kelola dan keberanian politik untuk membersihkan praktek balas jasa seperti ini. Negara tidak boleh terus dirugikan karena kompromi politik,” pungkas Wahyudi. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.