Jakarta, TheStance – Setidaknya 10 orang kehilangan nyawa selama rangkaian demonstrasi di pekan terakhir bulan Agustus 2025. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat mayoritas meninggal karena kekerasan, diduga oleh aparat.

Para pegiat hak asasi manusia dan masyarakat sipil pun mendesak pengusutan terhadap aparat yang terlibat, termasuk menyerukan reformasi kepolisian.

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan 10 orang korban yang meninggal dunia saat demo tersebar di banyak wilayah. Mereka ialah Affan Kurniawan, (Jakarta), Sarina Wati, Saiful Akbar, Muhammad Akbar Basri, Rusdamdiansyah (Makassar).

Kemudian Sumari (Solo), Rheza Sendy Pratama (Yogyakarta), Andika Lutfi Falah (Jakarta), Iko Juliant Junior (Semarang), dan Septinus Sesa (Manokwari).

Anis mengungkapkan mayoritas korban meninggal dalam aksi demonstrasi yang terjadi sepekan terakhir diduga kuat akibat kekerasan oleh aparat keamanan.

“Ada indikasi kuat ke arah sana,” ucap Anis dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM di Jakarta Pusat, Selasa (02/09/2025).

Komnas HAM, kata Anis, masih menyelidiki dugaan keterlibatan aparat dalam meninggalnya para korban.

Sedangkan, untuk korban luka dalam aksi demonstrasi angkanya mencapai ratusan orang. Komnas HAM, kata Anis, telah melakukan identifikasi ke sejumlah rumah sakit baik di Jakarta maupun di Solo.

“Ada sejumlah data yang sudah kami dapatkan, sebagian di rawat inap, sebagian rawat jalan, tetapi juga penting dalam identifikasi luka yang dialami oleh para peserta aksi ini karena apa. Apakah karena kekerasan oleh aparat atau karena sebab lain, ini juga sedang kami identifikasi.” ujarnya.

Kekerasan Aparat Mewarnai Represi Demo

Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM

Komnas HAM mencatat sebanyak 1.683 masyarakat ditangkap kepolisian selama unjuk rasa se-Tanah Air sejak 25 Agustus 2025. Berdasarkan temuan Komnas HAM, banyak masyarakat ditangkap kepolisian diikuti kekerasan.

"Beberapa peserta aksi yang kami temui di beberapa kantor kepolisian itu mereka mengalami luka-luka yang cukup serius, karena pendekatan aparat yang tidak humanis dalam proses pengamanan aksi," ungkap Anis.

Data korban tewas versi Komnas HAM serupa dengan yang dimiliki Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Lewat data yang dikumpulkan dari LBH-LBH di daerah, selain korban tewas, ada 3.337 demonstran yang ditangkap di 20 kota, dan 1.042 orang dilarikan ke rumah sakit diduga karena kekerasan aparat, baik kekerasan fisik maupun efek gas air mata.

Angka itu, menurut YLBHI, tidak termasuk mereka yang disiksa ketika ditangkap polisi.

Anis menyebut situasi saat ini mengkhawatirkan, terutama karena kekerasan aparat yang terus terjadi sepanjang aksi unjuk rasa.

"Aksi yang terjadi ini merupakan akumulasi karena ruang dialog yang sangat sempit. Ketika masyarakat ingin menyampaikan persoalan yang dihadapinya dengan kesulitannya, ruang seperti ada tersedia tapi tidak mudah diakses," ujarnya.

Komnas HAM sudah menerima 28 aduan warga yang menjadi korban kekerasan aparat saat aksi unjuk rasa sejak 25 Agustus 2025. Aduan tersebut diperoleh Komnas HAM setelah membuka posko pengaduan korban kekerasan aparat mulai 29 Agustus 2025.

"Kami menerima 28 aduan masuk ke Komnas HAM. Mayoritas adalah mereka yang ditangkap scara sewenang-wenang oleh aparat, sedang kami tindaklanjuti aduan-aduan tersebut," kata Mantan Direktur Eksekutif Migrant Care ini.

KontraS Catat 8 Orang Masih Hilang Pasca Demo

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis data terbaru terkait laporan orang hilang pasca unjuk rasa di DPR RI pada 25 Agustus 2025 yang berujung kerusuhan di berbagai wilayah.

Tercatat sebanyak 33 aduan orang hilang masuk ke Posko Orang Hilang KontraS, hingga 3 September 2025 pukul 18.00 WIB. KontraS mencatat masih terdapat delapan orang hilang dari rentetan aksi unjuk rasa akhir Agustus per Rabu (3/9/2025).

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, memerinci delapan orang tersebut tersebar di sejumlah wilayah Jabodetabek. Mereka antara lain, Delta Surya Sindu Atmaja lokasi terakhir di Bogor.

Enam orang lainnya terakhir dilaporkan di Jakarta Pusat antara lain Ahmad Baihaqi, Miftakhul Huda, Muhammad Farhan Hamid, Reno Syahputradewo, Romi Putra Prawibowo, dan Salman Alfarisi. Satu orang tak diketahui lokasi hilangnya yaitu Heri Susanto.

"Jumlah keseluruhan orang yang masih dinyatakan hilang adalah sebanyak delapan orang," kata Dimas, dalam keterangan yang diterima TheStance.

Dimas menjelaskan sebelumnya terdapat sejumlah masyarakat terutama yang terlibat dalam aksi unjuk rasa kemudian hilang kontak ditemukan di sejumlah kantor kepolisian.

"Mereka yang telah ditemukan ada yang sebelumnya mengalami hilang kontak, ada pula yang ditahan di beberapa kantor kepolisian seperti Polda Jawa Barat, Polda Metro Jaya, Polda Metro Jakarta Barat, Polda Metro Jakarta Timur, dan Polres Jakarta Timur," jelas Dimas.

Kontras membuka layanan laporan bagi orang hilang atau yang menemukan informasi melalui layanan hotline di nomor 089635225998. Yang ingin menyampaikan pengaduan orang hilang disampaikan melalui formulir bit.ly/PoskoOrangHilang.

Pegawai PBB Ikut Bersuara

Ravina Shamdasani

Sebelumnya, Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti peristiwa aksi unjuk rasa yang berujung pada vandalisme dan penjarahan di Indonesia yang terjadi pada 25-31 Agustus 2025.

Juru bicara Kantor HAM PBB Ravina Shamdasani mengatakan pemerintah dan DPR sebagai pihak berwenang harus menjunjung tinggi hak berserikat, berkumpul, dan kebebasan berpendapat dengan mempertimbangkan norma ketertiban internasional.

“Kami mengikuti dengan cermat rangkaian kekerasan di Indonesia dalam konteks protes nasional atas tunjangan DPR, langkah-langkah penghematan, dan dugaan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan oleh aparat keamanan," ujar Ravina melalui keterangan videonya, Senin (1/9/2025).

Pihak berwenang tersebut, kata Ravina, termasuk aparat kepolisian dan militer yang menjaga aksi demonstrasi di depan umum.

“Semua aparat keamanan, termasuk militer ketika dikerahkan dalam kapasitas penegakan hukum, harus mematuhi prinsip dasar penggunaan kekuatan dan senjata api oleh aparat penegak hukum,” katanya.

Selain itu, PBB juga mendorong investigasi menyeluruh terhadap dugaan penggunaan kekuatan berlebihan aparat yang menewaskan setidaknya 10 orang dalam aksi demonstrasi tersebut.

Investigasi secara mendalam diperlukan agar memberikan kejelasan terkait penyebab kematian para korban. "Penting juga agar media massa diizinkan meliput secara bebas dan independen."

Respons Pemerintah

Hasan nasbi

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menegaskan, arahan Presiden Prabowo Subianto sudah sejalan dengan apa yang jadi perhatian Kantor HAM PBB.

"Presiden kan memang sudah arahkan, kalau yang tindakan-tindakan yang tidak terukur, tindakan-tindakan yang melampaui kewenangan itu harus diperiksa," ucap Hasan, Selasa (2/9/2025).

Menurut Hasan, perintah ini juga sedang dijalankan aparat kepolisian dengan memeriksa tindakan-tindakan personil yang berlebihan dan tidak terukur.

Ia memastikan pemerintah memberi atensi terkait soal ini tanpa perlu ada surat desakan dari PBB. "Tanpa surat itu pun sudah memberikan atensi, jadi bukan karena surat itu, tanpa surat itu pun pemerintah sudah memberikan atensi."

Sebelumnya, Prabowo dalam beberapa hari terakhir mengulang perintahnya agar aparat "menindak tegas" pendemo yang dianggap anarkis. Dia mengaitkan pula unjuk rasa itu dengan tuduhan makar dan terorisme.

"Kepada pihak Kepolisian dan TNI, saya perintahkan untuk ambil tindakan setegas-tegasnya, terhadap perusakan fasilitas umum, penjarahan rumah individu, dan sentra-sentra ekonomi, sesuai hukum yang berlaku," kata dia.

Meski begitu, Prabowo mengakui aparat kepolisian dapat berbuat khilaf saat bertugas menegakkan hukum, termasuk dalam menangani aksi unjuk rasa.

"Saya datang karena polisi kadang-kadang... Iya, namanya menegakkan hukum, kadang-kadang ada yang khilaf, kadang-kadang ada yang keterpaksaan," kata Prabowo usai menjenguk 17 polisi dan masyarakat yang menjadi korban demo ricuh di Rumah Sakit Polri, Jakarta Timur, Senin (1/9/2025).

Untuk itu, Polri, kata Prabowo, bakal menindak tegas polisi-polisi yang berbuat kesalahan. Namun, ia mengingatkan bahwa selain polisi yang berbuat salah, ada juga polisi yang berkorban untuk menjaga keamanan di berbagai daerah.

“Saya sampaikan ke Kapolri, saya minta semua petugas dinaikkan pangkat luar biasa karena bertugas di lapangan, membela negara, membela rakyat. Kalau demonstran murni yang baik justru oleh aparat harus dilindungi,” imbuh Prabowo.

Negara Memilih Pendekatan Otoriter dan Represif

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyayangkan bertambahnya jumlah korban tewas dan penangkapan sejumlah orang dalam sejumlah aksi unjuk rasa.

Dia menyebut hal ini menunjukkan negara memilih pendekatan otoriter dan represif daripada demokratik dan persuasif.

"Tuduhan pun memakai pasal-pasal karet yang selama ini dikenal untuk membubuhkan kritik. Ini harus dihentikan. Bebaskanlah mereka," kata Usman Hamid kepada TheStance.

Padahal, menurut Usman, negara seharusnya mengoptimalkan pendekatan demokratis, persuasif, dan dialog dengan pengunjuk rasa sebagaimana saran Kantor HAM PBB. Ancaman hukuman hanya memicu eskalasi ketegangan kepolisian dan pengritik.

"Itu adalah hak asasi manusia. Sekali lagi, kami mendesak Polri membebaskan Delpedro, Syahdan, dan ratusan pengunjuk rasa lainnya yang ditangkap hanya karena bersuara kritis sejak 25 Agustus," tegasnya.

Untuk diketahui, Polda Metro Jaya sudah menetapkan 38 orang sebagai tersangka atas dugaan melakukan aksi anarkis selama unjuk rasa yang terjadi di Jakarta pekan lalu. Para tersangka sudah dilakukan penahanan.

Salah satunya adalah aktivis yang juga Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen Rismansyah.

Bersama lima orang lainnya, ia telah ditetapkan sebagai tersangka di kasus dugaan ajakan aksi anarkis. Lokataru merupakan organisasi nirlaba masyarakat sipil yang berfokus pada isu seputar hak asasi manusia.

Baca Juga: Media Direpresi dalam Liputan Demonstrasi 25 Agustus

Lebih lanjut, Usman juga mengritik pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang memunculkan label “anarkis”, “makar” atau bahkan “terorisme” saat terjadi aksi unjukrasa.

Padahal, menurutnya, seharusnya negara hadir untuk mengevaluasi kebijakan sosial dan ekonomi yang merugikan hak masyarakat, termasuk memastikan akuntabilitas polisi.

"Pelabelan “anarkisme”, “terorisme” maupun “makar” berpotensi mengeskalasi pendekatan keamanan dan membenarkan penggunaan kekuatan yang lebih represif dan eksesif lagi," tambahnya. (est)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.