Oleh Muhammad Syarkawi Rauf, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Hasanuddin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2015-2018, pernah menjadi Direktur Utama BERDIKARI dan Komisaris Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI/IX dan kini aktif sebagai Chairman of Asian Competition Institute (ACI).
Demonstrasi, pengrusakan dan penjarahan dalam beberapa hari terakhir mereflesikan ketidakpuasan publik terhadap institusi ekonomi, politik dan hukum.
Terjadi krisis kelembagaan yang disebabkan oleh mandegnya proses transformasi kelembagaan dari institusi ekstraktif yang eksploitatif menuju institusi demokratis yang inklusif.
Institusi ekonomi, politik dan hukum nasional bersifat ekstraktif yang memberikan privilege (keistimewaan) kepada sekelompok elit nasional dan lokal. Hal ini, menghasilkan ketimpangan, baik antar pendapatan per kapita maupun antar wilayah.
Fenomena ini merupakan bahaya laten, yaitu risiko tersembunyi yang dapat menyebabkan krisis multidimensi jika dipicu oleh pernyataan dan sikap pengelola negara yang tidak menunjukkan empati kepada publik.
Hal ini sejalan dengan pendapat ekonom Inggris Joan Violet Robinson yang mengakui bahwa penjajahan terhadap negara lain itu biadab.
"Tetapi bisa dibayangkan bagaimana kondisi negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin tanpa adanya penjajahan. Negara-negara tersebut akan hidup dalam institusi ekonomi dan politik ekstraktif yang eksploitatif.”
Pandangan Robinson sejalan dengan pemikiran tiga pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2024, yaitu: Daron Acemoglu dan Simon Johnson dari Massachusetts Institute of Technology, Cambridge dan James A. Robinson dari University of Chicago.
Ketiganya berpandangan bahwa institusi yang inklusif dan ekstraktif di banyak negara sebagai warisan penjajah. Penjajah mentransformasi insitusi ekonomi, hukum dan politik di negara jajahan dari ekstraktif menjadi inklusif.
Tergantung Kepentingan Penjajah
Penjajah Eropa membangun institusi ekonomi, politik, dan hukum inklusif jika penjajah (imigran) yang datang ke negara jajahan berjumlah besar. Hal ini bertujuan untuk memberikan insentif bagi pendatang dari Eropa berinvestasi di negara jajahan.
Sebaliknya, penjajah membangun institusi ekonomi ekstraktif di negara jajahan jika terdapat resistensi tinggi terhadap penjajah. Dalam situasi ini, penjajah mengeksploitasi penduduk setempat dan mengambil Sumber Daya Alam (SDA) untuk keuntungan penjajah.
Di negara jajahan berpopulasi besar tapi menerima arus imigran lebih sedikit (jumlah penjajahnya sedikit), penjajah Eropa mengembangkan institusi ekonomi, politik dan hukum ekstraktif yang hanya menguntungkan elit lokal.
Bahkan, hak politik masyarakat lokal dibatasi.
Sebagai perbandingan dapat dilihat pada potret penjajahan Inggris di India, Australia dan Selandia Baru.
Penjajah Inggris di India menghadapi resistensi tinggi. Akibatnya, jumlah penjajah Inggris di India lebih sedikit sehingga institusinya didesain menjadi ekstraktif yang ditandai oleh penegakan hukum (rule of law) yang lemah.
Sebaliknya, penjajah Inggris di Australia dan New Zealand menghadapi resistensi rendah dengan jumlah penduduk di dua negara tersebut yang kecil.
Akibatnya, jumlah imigran Inggris di Australia dan New Zealand lebih besar yang mendorong penjajah Inggris membangun institusi ekonomi, politik dan hukum yang inklusif.
Sama-Sama Koloni, Indonesia Beda dari Australia
Pola yang sama dilakukan oleh penjajah Belanda di Indonesia yang menghadapi resistensi tinggi dari masyarakat lokal dengan jumlah populasi besar.
Hal ini mendorong penjajah Belanda menerapkan model kelembagaan ekonomi, politik dan hukum yang ekstraktif, hanya menguntungkan sekelompok elit nasional dan lokal.
Singkatnya, sejalan dengan Acemoglu, Robinson dan Johnson peraih hadiah nobel ekonomi 2024 yang berpandangan bahwa “institutions as a fundamental cause of long-run growth.”
Implikasinya, negara jajahan dengan institusi inklusif mampu mentransformasi ekonominya dari negara miskin menjadi negara kaya (developed country), seperti Australia dan New Zealand.
Sebaliknya, negara jajahan dengan institusi ekonomi yang ekstraktif, dalam jangka panjang, gagal mentransformasi ekonominya dari developing country menuju developed country, seperti India, Indonesia dan lainnya.
Negara-negara tersebut menghadapi bahaya laten ketimpangan ekonomi yang seketika dapat menjadi krisis multidimensi.
Lalu, apa yang dapat dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto?
Kata kunci mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi dalam jangka panjang adalah melakukan transformasi kelembagaan secara radikal dan revolusioner dari yang ekstraktif, hanya menguntungkan segelintir elit, menjadi kelembagaan inklusif yang memberikan benefit kepada semua kelompok masyarakat.
Reformasi Pasar Mendesak Dilakukan
Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi, solusi yang segera dapat dilakukan oleh pemerintahan Prabowo adalah mengatasi tingginya konsentrasi (dominasi) dalam perekonomian nasional melalui “market reform.”
Reformasi pasar difokuskan pada tiga hal, yaitu: regulatory review, perubahan struktur pasar termasuk implementasi hubungan sub-kontrak, dan perubahan perilaku dengan menginternalisasi budaya persaingan.
Regulatory review adalah menilai ulang seluruh undang-undang, peraturan presiden (perpres), peraturan menteri (permen)) dan peraturan daerah (perda) yang menciptakan hambatan masuk (barrier to entry) bagi pelaku usaha baru di tiap sektor ekonomi strategis.
Regulatory review tidak dilakukan secara ad hoc ketika terjadi masalah saja, melainkan dilakukan terlembaga yang berbasis pada tiga pilar, yakni persaingan sehat, pelayanan publik, dan tata pemerintahan yang baik.
Secara kelembagaan, regulatory review langsung berada di bawah pengawasan presiden karena bersifat lintas sektor.
Agenda kedua adalah reformasi struktur pasar yang diarahkan untuk mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru di setiap sektor strategis.
Tidak untuk mematikan pelaku usaha yang sudah ada. Tetapi mewajibkan hubungan kemitraan yang dilindungi oleh sub-contract law, seperti pengalaman Jepang dan Korea Selatan (Korsel).
Agenda ketiga adalah membangun competition culture bagi pelaku usaha melalui kegiatan internalisasi nilai-nilai persaingan usaha yang sehat. Agenda ini menekankan pada pencegahan tanpa mengabaikan penegakan hukum.
Tindakan pencegahan dilakukan melalui advokasi kebijakan dengan prinsip, yaitu mencegah terjadinya pelanggaran lebih baik dibanding menghukum, tanpa melupakan penegakan hukum terhadap mereka yang terbukti bersalah.
Baca Juga: Penjarahan, Ketimpangan Ekonomi dan Prabowonomics
Akhirnya, Presiden Prabowo diharapkan menjadikan momentum saat ini untuk melakukan perubahan kelembagaan (institusi).
Ingat! peringatan World Health Organisation (WHO) dan pengalaman negara tetangga, Thailand pada periode 2002–2021 yang tidak sempat menjadi negara kaya sebelum penduduknya menua.
Bangsa Indonesia tidak memiliki banyak waktu, bangsa Indonesia harus menjadi negara kaya sebelum menjadi tua, memasuki fase “ageing population” pada 2045. Sekali lagi, kita hanya punya waktu 20 tahun sebelum memasuki fase “ageing crisis.”***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.