Jakarta, TheStanceID – Sidang tahunan MPR tahun ini punya pemandangan berbeda: joget. Sejumlah anggota DPR RI tampak berjoget ria di sela rangkaian sidang yang berlangsung Jumat (15/8/2025).
Dalam rekaman yang viral, para wakil rakyat itu terlihat asyik menari mengikuti irama lagu Sajojo dan Fa Mi Re.
Momen joget kembali muncul dalam acara kenegaraan dua hari kemudan, yaitu Peringatan Detik-Detik Proklamasi di lapangan Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (17/8/2025). Bahkan, Prabowo ikut berjoget.
Salah satunya saat momen lagu berjudul 'Tabola Bale' dinyanyikan, yang mendadak membuat heboh suasana, Pasukan TNI dan Polri di lapangan juga kompak berjoget.
Berbagai momen joget itu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian menganggapnya sebagai hiburan semata. Namun tidak sedikit yang menilai joget para pejabat negara itu tidak pantas, tidak menunjukkan empati pada situasi rakyat yang masih menghadapi kesulitan ekonomi.
Joget Ekspresi Sukacita
Menanggapi kontroversi itu, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir. menyebut para anggota DPR berjoget setelah acara inti selesai. Dia juga mengatakan tiap tahun selalu ada musik selepas sidang tahunan.
"Ya di masa sidang kemarin kan di akhir acara ya. Kebetulan pas acara inti sudah selesai, pidato-pidato kenegaraan sudah selesai," kata Adies di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
"Mungkin saat itu lagu-lagunya cukup bersemangat, membuat kawan-kawan terbawa emosinya dengan lagu tersebut," tambahnya.
Meski demikian, Adies memastikan sidang tetap berjalan khidmat dan lancar.
Hal yang sama pun, kata Adies, berlaku usai upacara HUT RI ke-80 di Istana. Dia mengatakan pihak-pihak yang berjoget tak hanya dari pejabat, tapi juga tamu undangan dan masyarakat.
"Saya rasa ini ungkapan rasa sukacita, rasa gembira, bahwa Indonesia telah mencapai usia kemerdekaan yang ke-80 dan harus dihadapi dengan optimis, sukacita, dan juga kerja keras yang sangat maksimal," katanya.
Joget Hal Normal
Ketua MPR, Ahmad Muzani, mengatakan para anggota DPR itu berrelaksasi dengan berjoget di akhir acara sidang tahunan.
"Saya kira itu kan untuk merelaksasi suasana, baik saat sidang paripurna, atau saat setelah selesainya upacara detik-detik proklamasi," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Dia menilai tak ada masalah dengan hal tersebut.
"Menurut kami itu sesuatu yang tidak ada masalah, karena peletakannya di luar acara formal," tambahnya.
Selain itu, dia melihat para anggota yang bergoyang merupakan reaksi normal ketika seseorang mendengarkan musik.
“Apakah kepala, tangan, kaki, atau bahkan badan. Itu sesuatu yang wajar saja kalau kita mendengar lagu, kemudian tubuh kita bergoyang atau bergerak, sesuatu yang normal dan biasa saja,” jelasnya.
Mulai Joget Sejak Era Jokowi
Dalam catatan The Stance, upacara peringatan kemerdekaan sebelumnya selalu berlangsung fomal.
Perubahan drastis dimulai pada 2022 di era Jokowi.
Ketika itu pada upacara peringatan RI ke-77 di istana, di penghujung upacara diselenggarakan konser dangdut koplo dengan lagu ‘Ojo Dibandingke’ yang lagi viral, dibawakan penyanyi Farel Prayoga yang ketika iitu berusia 12 tahun.
Ketika itu Ibu Negara Iriana, para menteri, hingga masyarakat pun ikut berjoget.
Konser dangdut koplo itu di luar kebiasaan, karena lagu-lagu yang dibawakan biasanya lagu mars atau pop bernuansa nasionalisme.
Lagu "Ojo Dibandingke" bertema kegagalan dalam percintaan karena dibandingkan dengan sosok lain yang lebih baik, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan peringatan kemerdekaan.
Ketika itu banyak pengamat menilai acara joget-joget tersebut merupakan bagian dari politik pencitraan Jokowi, yang dicitrakan sebagai sosok presiden merakyat, sederhana, dan jauh dari kesan keprotokoleran ketat.
Politik yang Terputus dari Realitas Sosial
Pengamat budaya Hikmat Darmawan memberi tilikan menarik. Menurutnya persoalan utama bukan sekadar soal pantas atau tidak berjoget dalam forum resmi negara. Itu harus dilihat terkait konteks politik yang melingkupinya.
Dia menjelaskan terutama sejak dua tahun terakhir, politik Indonesia makin berbasis pada populisme, dengan strategi komunikasi yang dikemas dalam bentuk hiburan populer seperti joget gemoy dan sejenisnya. Penekanannya pada emosi, bukan substansi.
"Orang diajak joget-joget, tidak membicarakan substansi atau kebijakan," katanya.
Resiko pendekatan itu, kata Hikmat, politik pun berubah menjadi semacam 'panggung' yang hanya bermain di ranah citra dan emosi, hingga lama-lama terputus dari realitas sosial yang dihadapi masyarakat.
Politisi pun menjadi tone deaf, alias tidak peka dengan situasi masyarakat.
"Padahal rakyat tidak sedang mencari hiburan murah di layar politik. Mereka butuh kepastian hidup. Mulai dari harga pangan yang terjangkau, pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses, serta jaminan pekerjaan yang layak." jelasnya.
Mantan Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini lalu mencontohkan RAPBN 2026 sebagai bentuk keterputusan dari realitas sosial itu.
Dia menjelaskan kalau RAPBN itu banyak dikritik karena ada pemangkasan pelayanan publik, sementara belanja militer dan polisi tetap tinggi. Parahnya lagi ada kenaikan tunjangan anggota DPR. "Jadi kalau dirayakan dengan joget, seakan-akan mereka merayakan [tunjangan naik], bukan menjawab kebutuhan masyarakat," katanya.
Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2021-2023 ini menilai sikap tersebut menunjukkan keterputusan elite dari kenyataan sosial. APBN yang seharusnya menjadi cermin keprihatinan di tengah kesulitan ekonomi justru diperlakukan sebagai pesta.
"Jadi mereka menari diatas bangkai masyarakat itu namanya," kritik Hikmat.
Dia mencontohkan hal lain lagi, yaitu program makanan bergizi gratis. Ketika muncul laporan kasus keracunan, respons pejabat cenderung meremehkan dengan alasan manfaat program yang lebih besar. Padahal, kata Hikmat, satu kasus keracunan pun sudah seharusnya menjadi perhatian serius.
"Betapa jauhnya jarak antara pejabat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari sehingga terjadilah tone deaf itu," jelasnya.
“Hasilnya, kita tidak hidup dalam kenyataan, melainkan diajak halusinasi bareng-bareng. Sementara kenyataan yang dihadapi masyarakat sehari-hari adalah lapar, menganggur, dan masa depan suram,” katanya. (est)
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.