Jimmy Carter, Warisan 100 Tahun yang Penuh Warna
Kebijakan luar negerinya mengubah dunia: lebih damai di satu belahan dan lebih kompleks di belahan lain.

Jakarta, TheStanceID - James Earl Carter Jr. atau lebih dikenal sebagai Jimmy Carter meninggal dunia pada Minggu (29/12/2024) di usia 100 tahun. Kebijakan luar negerinya mengubah dunia: lebih damai di satu belahan dan lebih kompleks di belahan lain.
Carter dikenal sebagai presiden yang berdedikasi tinggi akan nilai-nilai kemanusiaan. Pada 2002, ia meraih penghargaan Nobel Perdamaian karena perannya dalam mengritik rencana Invasi Iraq pemerintahan George W. Bush Jr.
Lahir dan dibesarkan di Plains, Georgia, Carter lulus dari Akademi Angkatan Laut AS pada tahun 1946 dan bergabung dengan dinas kapal selam Angkatan Laut AS.
Ia lalu menikah dengan Rosalynn Smith. Setelah menyelesaikan dinas militernya, Carter pulang kampung dan menghidupkan kembali bisnis pertanian kacang milik keluarganya.
Awal karir politik Carter dimulai saat ia aktif bergerak menentang kebijakan segregasi rasial, Carter mendukung gerakan hak-hak sipil dan memutuskan bergabung dengan Partai Demokrat.
Ia lantas menjadi anggota Senat dari Georgia dan kemudian menjabat sebagai gubernur Georgia.
Karir politiknya yang mulus menghantarkan dirinya maju sebagai presiden. Sebagai kandidat kuda hitam yang tak terlalu dikenal di luar Georgia, ia memenangkan nominasi calon presiden dari Partai Demokrat.
Tiket kemenangan itu tak disia-siakan. Dalam pemilihan presiden tahun 1976, Carter sukses mengalahkan presiden petahana, Gerald Ford dari Partai Republik, dengan kemenangan tipis.
Sepak Terjang di Luar Negeri
Selama menjabat sebagai presiden, Carter berupaya meredakan berbagai konflik di dunia, terutama di Timur Tengah melalui penandatanganan Kesepakatan Camp David. Melalui Kesepakatan Camp David, Carter menengahi konflik Arab–Israel.
Setelah gagalnya upaya penyelesaian konflik ini melalui konferensi Jenewa tahun 1973 dan 1977, Carter mengundang Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin ke Camp David pada September 1978.
Meskipun kedua pihak tidak sepakat mengenai penarikan Israel dari Tepi Barat, negosiasi menghasilkan pengakuan resmi Mesir terhadap Israel dan pembentukan pemerintahan terpilih di Tepi Barat dan Gaza, mengakhiri perang Mesir-Israel.
Carter jugalah yang mengembalikan Terusan Panama kepada Panama dan menandatangani perjanjian pengurangan senjata nuklir SALT II dengan pemimpin Uni Soviet, Leonid Brezhnev.
Pilih China Ketimbang Soviet
Perjanjian SALT II merupakan perjanjian penting yang dibuat Carter untuk menciptakan perdamaian dunia. Dia berhasil merundingkan perjanjian pengendalian senjata nuklir yang disebut Perjanjian Pembatasan Senjata Strategis II (SALT II).
Perjanjian ini dia tandatangani di Wina pada 18 Juni 1979 bersama Leonid Brezhnev. dan dianggap sebagai pencapaian penting dalam upaya menjaga stabilitas perdamaian selama Perang Dingin.
Masa pemerintahan Carter juga ditandai dengan beberapa langkah penting namun kontroversial terkait kebijakan luar negeri Amerika di Asia. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan China, yang sudah dirajut sejak pemerintahan Nixon.
Kedua negara semakin dekat untuk menyaingi Uni Soviet, dan pemerintahan Carter secara diam-diam memberikan persetujuan terhadap invasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ke Vietnam.
Pada tahun 1979, Carter memberikan pengakuan diplomatik resmi kepada RRT untuk pertama kalinya. Keputusan ini memicu lonjakan perdagangan Amerika dan RRT, yang di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping sedang mereformasi ekonomi.
Rekam Jejak Buruk di Asia
Meski dikenal sebagai presiden pejuang hak asasi manusia (HAM), tangan Carter terhitung masih bersimbah darah karena dukungannya kepada pemerintahan militer di beberapa negara Asia, seperti Korea Selatan (Korsel) dan Indonesia.
Di Korea misalnya, pada 1980, Carter secara tak langsung berperan dalam Pembantaian Gwangju, setelah Jenderal Chun Doo-hwan menggulingkan pemerintahan, serta mendirikan kediktatoran.
Kudeta ini memicu mahasiswa dan warga di kota Gwangju, Provinsi Jeolla, bangkit melawan rezim militer baru tersebut dan menuntut demokrasi.
Takut akan kehilangan sekutunya di Asia, terlebih pasca kekalahan Amerika di Perang Vietnam, Carter memberikan dukungan kepada Chun untuk mengerahkan militer dan menindas Pemberontakan Gwangju, yang menewaskan ratusan orang.
Carter juga memberikan dukungan militer bagi rezim diktator Soeharto di Indonesia. Penguasa yang bermukim di Cendana ini didukung karena kebrutalannya menentang komunisme yang jadi momok Amerika.
Pemerintahan Carter terus memberikan dukungan kepada rezim Soeharto, meskipun terdapat kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk invasi dan pendudukan Timor Timur pada Desember 1975.
Berkhidmat pada Isu Palestina
Pasca menjabat sebagai presiden, Carter terus bergerak di bidang diplomasi dan kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan di Timur Tengah. Carter memiliki perhatian khusus dalam penyelesaian konflik di Palestina.
Carter menilai Israel sebagai negara apartheid yang memerkosa hak warga Palestina, dan menjalankan praktik segregasi yang lebih parah dari apa yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Presiden Amerika pertama, dan terakhir, yang secara formal menilai konflik Palestina-Israel secara berimbang ini telah mangkat di usia satu abad.
Namun, sikapnya yang tertuang dalam buku Palestine: Peace Not Apartheid menjadi rujukan akademisi dan praktisi hukum internasional dalam menimbang aksi genosida Israel di Gaza saat ini. (mfp)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.