Situasi Seperti Inilah yang Bikin Prabowo Jiper Pukulratakan PPN 12%
Tahun ini adalah tahun pertaruhan bagi Prabowo membuktikan kecakapannya menjaga ekonomi. Bukan meruntuhkannya.

Jakarta, TheStanceID - Ekonomi Indonesia diprediksi bisa tumbuh ke angka 5% pada 2025, dengan tiga syarat utama: daya beli masyarakat, ekspor dan investasi meningkat. Penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pun jadi tak realistis.
Mantan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menilai target pertumbuhan ekonomi 5% tidaklah mudah dicapai. Pemerintah harus bisa menjaga daya beli masyarakat, sekaligus mendorong investasi besar.
Hal itu disampaikan dalam diskusi “Tantangan Ekonomi dan Bisnis 2025” yang digelar secara daring, pada Senin malam (30/12/2024). Pada malam yang sama, tim internal Kementerian Keuangan menggodok persiapan kenaikan tarif PPN menjadi 12% sebelum menggelar Rapat Tutup Kas 2024 sehari kemudian.
Bambang menilai 2025 adalah tahun yang krusial bagi perekonomian Indonesia, sekaligus menjadi pertaruhan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, untuk mengukur kecakapannya dalam memimpin ekonomi nasional.
“Memang tahun depan atau tahun 2025 ini menjadi tahun yang menarik ya dari sisi domestik, karena ini adalah boleh dibilang tahun pertamanya Pak Prabowo selaku presiden,” ujar Bambang.
Menurutnya, sejumlah tantangan muncul tidak hanya dari dalam negeri, melainkan juga dari luar negeri. Semuanya berisiko menjegal upaya pemerintahan Prabowo untuk mencapai target pertumbuhan 5% pada tahun 2025 dan 8% pada tahun 2028.
Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini mengaku pesimistis dengan target pertumbuhan 8% pada tahun 2028, mengingat kondisi perekonomian nasional dan global yang sedang sangat menantang.
Jika ingin ekonomi benar-benar tumbuh di kisaran tersebut, Didik mensyaratkan Prabowo mengangkat industri nasional dan memperkuat pasar ekspor. Ia berkaca pada industri China yang mampu tumbuh dengan melakukan ekspor secara luar biasa.
"Strateginya dibuka tidak hanya di pasar dalam negeri karena tentu daya belinya kan terbatas. Kalau pasar luar negeri maka market-nya akan berganda atau double dan kalau kita bersaing di pasar internasional otomatis kita menang di domestik," ujarnya.
Tantangan Ekonomi Global
Hanya, ekonomi global sedang sangat menantang usai terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), yang memberikan dampak jauh berbeda dari kepemimpinan presiden AS sebelumnya dari Partai Demokrat.
“Donald Trump sangat dikenal dengan kebijakan politik yang proteksionis. Otomatis Trump akan lebih mementingkan ekonomi Amerika Serikat ketimbang negara lain. Apalagi terhadap negara yang meninggalkan defisit perdagangan bagi AS,” jelas Bambang.
Oleh karena itu, dia memperkirakan perekonomian global pada 2025 tidak akan mengalami kemajuan signifikan. Dia merujuk pada laporan dari Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Kedua lembaga tersebut memperingatkan bahwa ekonomi dunia akan mengalami penurunan pada tahun 2025, dengan proyeksi yang lebih buruk dibandingkan kondisi saat ini maupun masa lalu.
“Artinya prospek ekonomi ke depan tidak akan lebih baik dari kondisi hari ini maupun kondisi sebelumnya,” katanya.
Daya Beli Menurun
Sementara itu, tantangan ekonomi dalam negeri datang dari jumlah kelas menengah dalam negeri yang terus menurun sejak pandemi Covid 19 seiring dengan penurunan daya beli kelas menengah.
Bambang memperkirakan pola pengeluaran masyarakat Indonesia akan semakin defensif. "Masyarakat kelas menengah hanya fokus pada konsumsi barang-barang yang esensial seperti makanan, kesehatan, dan rumah tangga."
Meskipun pemerintah telah memberikan stimulus, seperti PPN nol persen untuk kebutuhan pangan dan diskon listrik, dampaknya hanya bersifat sementara. Program ini dinilai belum cukup untuk mengatasi penurunan daya beli secara menyeluruh.
"Untuk menengah ke bawah dan mereka yang berada di ambang kemiskinan [near poor] merasakan tekanan yang jauh lebih berat, di mana daya beli mereka terdampak," ujar Mantan Menristek/Kepala BRIN ini.
Dari PHK Jatuh ke Pinjol
Kondisi ini semakin diperberat dengan tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Akibatnya, banyak masyarakat beralih ke usaha mikro dadakan, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sayangnya, sebagian besar usaha ini masuk ke sektor informal yang menghadapi kendala akses pendanaan. Hal ini diakui Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Erik Hidayat.
"Ketiadaan akses pendanaan formal memaksa sebagian besar pelaku usaha beralih ke pinjaman online [pinjol], yang sering kali memberatkan," ujarnya.
Untuk itu, Erik berharap pemerintah memberikan “karpet merah” bagi pelaku usaha dalam negeri. Dengan keberpihakan yang jelas, pengusaha lokal diyakini mampu bersaing dan mendukung ekonomi nasional secara berkelanjutan.
Bergantung Program Andalan
Bambang yang juga Penasehat Khusus Presiden Bidang Ekonomi ini berharap program unggulan Presiden Prabowo pada tahun 2025 seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan program 3 juta rumah bisa menjadi solusi agar ekonomi bisa tetap tumbuh.
"Misalnya makan bergizi gratis, meskipun anggaran mencapai Rp71 triliun tapi yang kita harapkan dampak dari program ini distribusi logistik dan produksi MBG ini bisa menghidupkan ekonomi lokal dan bisa memberikan pekerjaan, menghidupkan sektor pertanian, dan juga menghidupkan sektor-sektor di dalam distribusi," kata Bambang.
Selain itu, hilirisasi sekitar 28 komoditas diharapkan bisa menghasilkan produk bernilai tinggi. Misalnya, industri pengolahan nikel yang bisa menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, seperti baterai kendaraan listrik atau produk turunan lainnya.
"Kenapa hilirisasi strategis? Karena ujungnya ke sektor manufaktur. Misalnya, pertanian dan pertambangan itu adalah hulunya dan melahirkan komoditas dan dengan teknologi bisa menghasilkan produk bernilai tinggi," jelasnya.
Jangan Ulangi Kegagalan Jokowi
Didik yang juga ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Indonesia harus ramah investasi, agar angka pertumbuhan 8% tidak sekadar menjadi angan-angan semata, seperti pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Salah satu yang perlu dibenahi adalah lewat deregulasi dan debirokratisasi sehingga investasi lebih mudah. "Kuncinya ya investasi, dan investasi itu harus ramah. Kalo belum-belum udah dipajakin, ya.. " ujar Didik.
Senada, Bambang yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengingatkan pemerintah untuk mendorong investasi besar-besaran dari dalam dan luar negeri agar target pertumbuhan bisa tercapai.
"Dengan pendekatan yang ramah investasi dan fokus pada program-program yang strategis, diharapkan Indonesia tidak hanya pulih dari dampak pandemi, tetapi juga mampu menciptakan kesejahteraan yang lebih merata,” ujar Bambang.
Kebijakan Ekonomi Pro-Lokal
Erik Hidayat sepakat bahwa investasi asing diperlukan, tetapi harus diimbangi dengan kepastian hukum dan perlakuan yang adil bagi pengusaha lokal.
“Kami bukan anti-asing, tapi kami ingin ada keberpihakan. Jangan sampai pemerintah memberikan banyak fasilitas bagi asing, sementara pengusaha lokal tidak mendapatkan hal serupa,” ujar cicit pahlawan nasiona H.O.S Cokroaminoto ini.
Apalagi, kondisi ekonomi Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan besar pasca pandemi Covid-19. Mulai dari biaya tinggi dalam sektor transportasi dan logistik, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga banjirnya barang impor.
"Stabilitas kelas menengah sangat vital mendorong konsumsi domestik. Kita menghadapi guncangan ekonomi yang besar, termasuk UMKM," jelas Erik.
Mungkin karena menyadari faktor itu, Presiden Prabowo tiba-tiba membuat drama di awal tahun dengan membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% terhadap semua barang dan jasa, dan membatasi pengenaannya hanya untuk barang mewah.
Sungguh drama yang merepotkan, dan menunjukkan adanya lubang komunikasi antar pengambil kebijakan. Tetapi, setidaknya mereka masih berada di jalur yang tepat. (est)
Untuk menikmati berita cepat dari seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.