Senin, 04 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

Dari Sampah Kota ke Sampah Nurani: Renungan Idulfitri di Tengah Krisis

Setiap Lebaran kita bersih-bersih rumah. Kapan terakhir kali kita bersih-bersih hati, atau kota, atau kebijakan?

By
in Soul Nutrient on
Dari Sampah Kota ke Sampah Nurani: Renungan Idulfitri di Tengah Krisis
Ilustrasi senja di kota penuh sampah yang semrawut dan tidak tertata dengan baik. (Sumber: leonardo.ai)

Harun Al-Rasyid Lubis

Oleh Harun Al-Rasyid Lubis. Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB), Chairman Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC)

Idulfitri selalu datang sebagai momen suci. Hari kemenangan. Hari kembali ke fitrah. Tapi di balik pakaian putih dan meja makan yang penuh, kita tahu: kota kita tak sedang fitri.

Jakarta masih tenggelam dalam banjir. Bandung masih bergulat dengan sampah. Macet tak berhenti, bahkan saat tak ada hari kerja.

Laut ditutup pagar beton, tanah diambil dari laut, dan warga pinggiran digeser makin jauh ke luar kota.

Idulfitri bukan hanya soal maaf-maafan, tapi soal mewartakan kembali nurani—bahwa kehidupan di kota ini semestinya adil, bersih, dan menyejukkan.

Tapi kenyataannya, ruang hidup hari ini penuh sesak—bukan hanya oleh sampah fisik, tapi juga oleh sampah kebijakan, sampah yang tak terangkut tapi diproduksi setiap hari.

Sampah tak hanya menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Ia menyumbat got, menghitamkan sungai, bahkan menghentikan aliran drainase dan memperparah banjir.

Tapi lebih dari itu: sampah adalah metafora dari cara hidup kita yang konsumtif dan serba instan.

Di kota-kota besar, kita jarang bertanya: ke mana perginya sampah yang kita buang?

Padahal jawabannya ada di setiap banjir yang datang. Ada di kehidupan para pemulung yang tak pernah dilibatkan dalam perencanaan.

Ada di proyek-proyek besar seperti waste-to-energy yang tak transparan dan justru menghilangkan sistem daur ulang berbasis warga.

Alam Marah, Tapi Kita Tak Mau Berkaca

Setiap tahun kita sibuk menyalahkan hujan. Tapi kita lupa bahwa tanah sudah disemen, air sudah tak punya tempat mengalir. Kita bikin kota seperti ember tertutup: air masuk, tapi tak bisa keluar.

Maka, tanggul dibangun. Giant Sea Wall (GSW) ingin segera dibentangkan. Tapi banjir tetap datang.

Air tidak hanya dari laut. Tapi dari daerah hulu dan juga dari kita sendiri. Dari semua pembangunan yang tak memberi pori bagi tanah untuk menyerap, bagi air untuk... berhenti sejenak.

Bukankah puasa juga begitu? Memberi waktu untuk berhenti. Untuk merenung. Untuk tidak serakah mengambil semuanya.

Kemacetan kota bukan hanya soal mobil yang terlalu banyak. Tapi juga soal keadilan ruang yang terlalu sempit.

Orang miskin tinggal jauh karena pusat kota jadi terlalu mahal. Transportasi publik tak terintegrasi. Orang-orang pindah ke pinggiran tapi masih harus ke pusat kota untuk kerja.

Kita menyalahkan motor, ojek, dan mobil. Tapi lupa bahwa yang macet sebenarnya adalah sistem perencanaan kota kita.

Di hari raya, kita sering bilang: “Maaf lahir batin.” Tapi apakah kita juga memberi maaf pada kota ini yang kita eksploitasi tanpa jeda?

Reklamasi & GSW untuk Siapa?

Kota hari ini sibuk membangun dari laut. Laut dan bibir pantai direklamasi. Bangun tanggul sepanjang pinggir laut utara Jawa masih berjalan seperti keong, tapi GSW ingin dibangun dulu. Dengan harapan investasi properti berbarengan masuk.

Baca juga: PSN Prabowo: PIK2 & Rempang Eco City Hilang, Diganti Giant Sea Wall

Tapi yang terusik warga dan nelayan yang bertahan hidup sudah lama di sana.

Kita seolah melupakan bahwa laut bukan ruang kosong. Ia punya memori. Ia punya kehidupan. Ia punya komunitas. Kita menyebut proyek ini sebagai simbol modernitas.

Tapi Idul Fitri mengingatkan kita: kemenangan bukan diukur dari tebal beton, aspal kota dan tinggi gedung, tapi dari rendahnya hati.

Idul Fitri adalah panggilan untuk kembali ke asal — ke kebersihan, ke kesadaran, ke kejujuran. Maka mari kita perluas makna fitrah:

  • Bersih bukan hanya dari dosa, tapi juga dari kerakusan terhadap ruang,

  • Suci dan bersih- bersih bukan hanya hati, tapi juga air sungai dan tanah yang dipijak, sampah dan kemiskinan perkotaan,

  • Maaf bukan hanya untuk sahabat dan keluarga, tapi juga untuk kota dan lingkungan yang sudah lama kita abaikan.

Kembali ke Kota yang Lebih Fitri

Kemenangan Idulfitri bukan tentang seberapa banyak tunjangan hari raya (THR), hampers yang kita terima, tapi seberapa besar keberanian kita mengoreksi cara hidup. Termasuk cara kita membangun kota.

Mari rayakan Lebaran dengan komitmen baru:

  • Memilah sampah dari rumah

  • Tidak lagi menyumbang banjir dengan membuang ragam sampah dan plastik ke selokan

  • Menata kota yang adil dalam akses transportasi dan ruang hijau

  • Menolak pembangunan yang menggusur, demi proyek yang hanya menguntungkan segelintir elit.

Semoga kota kita juga bisa fitri — bersih dari ketimpangan, penuh dengan keadilan.

Taqabbalallahu minna wa minkum, mohon maaf lahir dan batin.***

Untuk menikmati berita peristiwa di seluruh dunia, ikuti kanal TheStanceID di Whatsapp dan Telegram.

\