
Oleh Abdullah Hehamahua, aktivis dan politikus Islam Indonesia yang menjabat sebagai Ketua Majelis Syuro Partai Masyumi, pernah menjadi penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (2005–2013) dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam periode 1978–1981.
Kumasuki ruang Unit Gawat Darurat (UGD) sekitar pukul 14.00, 31 Oktober 2025 di salah satu rumah sakit swasta, daerah Cisalak, Depok. Dokter pun segera melakukan tindakan terhadap diriku.
Tetiba, sekitar sejam kemudian, terdengar tangis seorang isteri pasien sambil memanggil perawat. Dokter jaga dan para perawat bertindak cepat.
Rupanya pasien tersebut terkena serangan jantung. Pasien itu diletakkan di sampingku yang hanya dibatasi gorden. Olehnya, aku dapat mendengar dan menyaksikan tindakan yang dilakukan dokter dan perawat. Isterinya tetap menangis.
Kuingat salah satu pesan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam (SAW), bahwa, sesama muslim yang meski tidak kenal, jika saling mendoakan, maka doanya diizabah Allah subhanahu wa ta'ala (SWT).
Aku pun berdoa, “Ya Allah jika Engkau telah tetapkan ajal pasien ini sekarang, maka mudahkan sakratul mautnya. Ampunilah dosa-dosanya, terima amal ibadahnya, dan masukkan beliau ke dalam surga-Mu.
Masyaa Allah! Sekitar sejam kemudian, kudengar abangnya mengucapkan “inna lillahi wa inna ilayhi raji’un.” Sayangnya, keluarga yang berada di sekeling pasien tidak menuntunnya untuk mengucapkan kalimat “la ilaha illalah.”
Padahal, Rasullulah SAW bersabda, barang siapa yang mengakhiri ajalnya dengan kalimat “la ilaha ilallah", maka dia masuk surga.
Baca Juga: Perjalanan Jordan; Menemukan Ketenangan Setelah Menolak Parpol
Besok paginya, di ruangan perawatan, dokter yang lain memeriksa kondisiku. Ternyata, dokter itu baru sembuh dari demam. Isteriku yang ada di samping, spontan berkata, “dokter juga sakit?”
Beliau hanya tersenyum kecil. Kedua peristiwa ini memotivasiku untuk menulis artikel ini.
Manusia Tidak Boleh Sombong
Aula Institut Islam Memba’ul ‘Ulum (IIM), Surakarta, 13 Oktober 2025, penuh dengan ratusan mahasiswa. Pembantu Rektor (purek), dan belasan dosen, juga hadir.
Mereka menghadiri acara bedah salah satu bukuku, Indonesia Berkah 2045. Aku, dalam ceramah, terlanjur mengatakan, “saya sekarang sudah berumur 78 tahun, tapi bisa keliling Sumatra dan Jawa dengan mengendarai bus berhari-hari.”
Bahkan, kukatakan, “saya bisa ceramah dari pagi sampai petang.”
Maksud ucapanku tersebut sebagai motivasi bagi mahasiswa agar mereka serius belajar dan beraktivitas agar bisa menjadi sarjana yang berkapasitas ulul albab.
Namun, Allah SWT langsung menegurku dengan satu sentilan kecil “kun fayakuun” (jadilah, maka jadilah ia) (QS Yasin: 82).
Isteri menjemputku di stasiun kereta api Gambir, Jakarta, menuju rumah di Depok. Aku mulai menggigil selama di dalam mobil. Akhirnya masuk rumah sakit sepekan kemudian dan dirawat selama 18 hari.
Masyaa Allah, betapa dahsyatnya kekuasaan Allah SWT. Kusadari, usiaku mencapai 78 tahun itu karena iradah (kehendak) dan rahmat Allah SWT.
Kusadari, ilmu yang kumiliki selama ini hanya atas iradah dan rahmat Allah SWT. Kusadari, kemampuan menumpang bis berhari-hari di Sumatera dan Jawa karena iradah dan rahmat Allah SWT.
Simpulannya, saya, pembaca, manusia, bahkan seluruh makhluk di alam ini tidak boleh sombong. Sebab, hanya Allah SWT Yang berhak Sombong. (Bersambung)***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.