Jakarta, TheStanceID - Rencana presiden terpilih Prabowo Subianto membangun jutaan unit hunian murah bertujuan positif, salah satunya untuk mengatasi stunting. Tapi jika dijalankan gegabah, justru bisa memicu stunting massal secara nasional.
Program yang masuk dalam visi-misi Asta Cita Prabowo-Gibran ini bakal menyediakan 2 juta rumah di pedesaan dan 1 juta rumah di kota per tahun. Total, Prabowo punya target membangun 3 juta hunian per tahun.
Diharapkan, masalah backlog perumahan alias kesenjangan antara rumah terbangun dengan warga yang memerlukan di Indonesia dapat teratasi dengan program ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023 angkanya mencapai 12,7 juta unit, naik dari 2022 di level 11 juta unit. Angka ini menunjukkan kesenjangan hunian berisiko meningkat jika tak diintervensi.
Sebagai bentuk keseriusan, Prabowo pun berkomitmen “menghidupkan” kembali Kementerian Perumahan untuk menjalankan program tersebut.
"Kita mau bikin 3 juta setiap tahun, 15 juta [rumah dalam 5 tahun]," kata Ketua Satgas Perumahan presiden terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo dalam acara Propertinomic Exclusive Dialogue di Hotel Grand Sahid, Kamis (10/10/2024).
Dikutip dari Detik, Adik kandung Prabowo Subianto ini memastikan pembangunan rumah di desa akan dibangun oleh tenaga lokal. "Prabowo ingin 2 juta unit (rumah) di desa dibangun oleh kontraktor kecil, UMKM, koperasi, BUMDes," tuturnya.
Tujuannya, agar dampak bergulir program tersebut dirasakan masyarakat luas, sehingga kontraktor besar atau dari kalangan konglomerat hanya boleh ikut serta di perkotaan.
Pendanaan Sudah Disiapkan
Sementara itu, sumber dana untuk program tiga juta rumah akan melalui beberapa instrumen: seperti program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera)--yang banyak diprotes kaum pekerja itu, pembiayaan Bank Tabungan Negara (BTN), dan fasilitas pendanaan perusahaan pelat merah seperti PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).
Prabowo juga disebut akan menggandeng pemerintah daerah (Pemda) untuk pembangunan 1 juta unit hunian di kota.
“Kami sudah masukkan angka kepada RAPBN kita tahun depan. Angka waktu kita tetapkan Rp53 triliun untuk mulai, dan Pak Prabowo sudah setuju, kita akan mendirikan Kementerian Perumahan seperti dulu,” ucap Hashim.
Sektor perumahan mendapat perhatian utama pemerintahan Prabowo-Gibran karena dinilai memiliki peran dalam menekan angka stunting dan memberantas kemiskinan.
Hashim mengklaim beberapa negara berminat untuk ikut membangun 1 juta hunian di perkotaan seperti Qatar dan China. Salah satunya adalah perusahaan konstruksi terbesar dunia yaitu China State Construction Engineering Corporation.
Tulang Punggung Ekonomi
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto tentu saja menyambut gembira program tersebut, karena menjadi pendongkrak industri perumahan nasional di masa mendatang.
“Kami dari REI komit mendukung program yang sangat mulia ini,” ujar Joko di Jakarta, Kamis (10/11) dikutip dari Antara.
Apalagi, kata Joko, angka backlog pasokan rumah yang sebesar 12,7 juta unit tidak banyak mengalami perubahan dalam 10 tahun terakhir. Mengikuti logika Joko, pemerintahan Jokowi selama dua periode bisa dibilang gagal mengatasi persoalan backlog perumahan.
Sektor properti, dalam catatan REI, menyumbang ekonomi nasional, atau istilahnya Produk Domestik Bruto (PDB), sebesar 14%. Demikian juga menyumbang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 9%.
Sumbangan ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) rata-rata antara 35-55% di setiap provinsi, dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 13-19 juta orang secara nasional. Sektor ini juga berperan dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar 8%.
Menurut Joko, karena memiliki keterkaitan dengan hampir 185 industri lainnya di sektor riil, sektor properti jelas memiliki dampak besar bagi perekonomian. Wajar saja, properti memang membutuhkan bahan baku dari berbagai industri: baja, semen, kayu, dlsb.
Benarkah Properti Tekan Stunting?
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mutia Citrawati Lestari, yang menyusun laporan “Analysis of the Relationship Between Self-Help Housing Assistance Programs and the Reduction of Stunting in Indonesia” (2023), mengiyakan.
Dia membandingkan data prevalensi stunting dan data Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di kabupaten/kota tahun 2016-2021. BPSPS adalah bantuan renovasi rumah dari pemerintah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
Hasilnya, ada korelasi antara program tersebut dengan pengurangan stunting di kota/kabupaten terkait.
"Berdasarkan hasil regresi, dapat disimpulkan bahwa Program BSPS 2016-2021 sebagai variabel independen menunjukkan hubungan negatif dan signifikan dengan penurunan stunting di 514 kabupaten/kota di Indonesia,” tulisnya.
Oleh karena itu, lanjut dia, program penyediaan hunian yang layak bagi MBR mesti terus didorong karena berdampak positif langsung dalam menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat, serta berkontribusi pada penurunan angka stunting di Indonesia.
Hati-Hati Alih Fungsi Lahan
Kepada TheStanceID, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai program 3 juta rumah yang digagas presiden terpilih Prabowo Subianto justru berpotensi meningkatkan ancaman krisis pangan.
Program ini berpotensi menimbulkan percepatan alih-fungsi lahan yang semula adalah basis produksi usaha pertanian, menjadi kawasan properti. Jika krisis pangan terjadi karenanya, maka lonjakan harga pangan pun muncul dan bisa memicu stunting massal.
Saat ini saja, banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi properti karena bertani dianggap tak lagi bisa menjadi sumber penghidupan. “Tanpa ada program 3 juta rumah per tahun, lahan pertanian sudah makin terdesak sekarang,” kata Bhima.
Pemerintah pun diminta mengkaji lebih dalam mengenai lokasi pembangunan jutaan rumah agar tidak mengganggu kegiatan pertanian. Dengan demikian, tidak membuat pasokan pangan terganggu yang memicu krisis pangan, dan stunting.
“Kalaupun terpaksa menggunakan lahan pertanian, pemerintah harus mengganti lahan pertanian tersebut di lokasi lain yang sepadan,” ujar Bhima.
Menurut dia, pemerintah seharusnya melakukan revitalisasi bangunan apartemen dan rumah-rumah subsidi yang saat ini mangkrak, atau kosong, serta tidak laku karena berbagai hal, dibandingkan membuka ruang baru untuk bangunan properti.
“Jangan loncat-loncat ke pembangunan rumah baru. Lebih baik lakukan revitalisasi bangunan yang sudah ada,” pungkas Bhima.
Turunkan Harga Rumah
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal, berharap Prabowo lebih mengatasi persoalan keterjangkauan harga rumah.
Persoalan utama yang memicu backlog perumahan bukanlah di sisi suplai, melainkan di sisi demand, di mana masyarakat yang sangat membutuhkan rumah tidak mampu masuk ke pasar properti karena harganya kian melambung tinggi.
“Artinya dari sisi suplai harus melihat ceruk ini terutama, ceruk masyarakat menengah ke bawah. Di situ kebutuhannya tinggi, tapi perlu ada insentif dan strategi bagaimana supaya diringankan,” kata Faisal, Rabu (9/10/2024).
Faisal berharap program tiga juta rumah era Prabowo tidak mengulang kesalahan program rumah murah Jokowi.
Meski berhasil membangun perumahan murah, Jokowi tak mempertimbangkan aspek lokasi rumah subsidi sehingga masyarakat kurang menyambut. Maka angka backlog perumahan tetap bandel.
Mestinya, kata Faisal, lokasi rumah subsidi dibangun dekat dengan tempat kerja atau sentra perekonomian. Jika lokasinya jauh, rakyat dipaksa mengeluarkan biaya lebih besar untuk transportasi.
“Jadi harga rumahnya terjangkau, tapi dari sisi harga biaya transportasi yang dikeluarkan [mahal], kemudian juga waktu yang habis hilang karena terlalu jauh,” ujarnya.
Tanpa kebijakan publik yang tepat, terbukti bahwa proyek properti bisa berakhir ironi. Di era Jokowi, proyek rumah subsidi bagi MBR malah mencekik mereka dari sisi pengeluaran transportasi.
Prabowo perlu berhati-hati: jangan sampai proyek tiga juta rumah pencegah stunting malah bikin stunting meledak akibat alih-fungsi lahan pertanian dalam skala masif. (est)