Sabtu, 09 Agustus 2025
Term of Use Media Guidelines

RKUHAP Belum Lindungi Keadilan Masyarakat Adat

Jika negara mengakui hukum adat sebagai sumber hukum, maka pengakuan terhadap peradilan adat sebagai institusi formal dan sah juga harus diatur secara eksplisit dalam hukum acara pidana, di RKUHAP. Pemerintah menawarkan aturan terpisah, dengan menyiapkan RUU Masyarakat Adat.

By
in Headline on
RKUHAP Belum Lindungi Keadilan Masyarakat Adat

Jakarta, TheStanceID - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dinilai belum sepenuhnya mengakomodasi keberadaan hukum dan peradilan adat sebagai bagian dari sistem keadilan di Indonesia.

Guru Besar Bidang Hukum Pidana Adat Universitas Sultan Agung Tirtayasa, Rena Yulia, menilai meski pengakuan terhadap hukum adat telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), hal serupa belum ada di rancangan KUHAP.

Menurut dia, rancangan KUHAP tersebut perlu memperjelas pelaksanaan kewajiban adat, kewenangan peradilan adat, serta mekanisme penyelesaian perkara adat dalam kerangka restorative justice.

Ia menekankan berbagai kerancuan dan ketidaktepatan justru berpotensi melemahkan keberadaan peradilan adat yang selama ini hidup dan dijalankan oleh masyarakat adat, sebagaimana dicontohkan dalam praktik hukum adat di Badui.

Dia menyoroti living law dalam KUHP, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Living Law, Peraturan Daerah (Perda) Tindak Pidana Adat, Pemenuhan Kewajiban Adat, dan mekanisme Restorative Justice yang masih samar. Demikian juga prinsip keadilan bagi masyarakat adat.

“Sebelumnya, dalam KUHP yang merupakan hukum materiil telah diatur mengenai hukum yang hidup di dalam masyarakat, yaitu hukum adat. Maka, KUHAP sebagai hukum formil perlu mengakomodasi aspek tersebut agar selaras,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “RKUHAP: Situasi dan Tantangan bagi Perempuan, Anak, Disabilitas, Masyarakat Adat, dan Kelompok Pengaturan Khusus”, Rabu (6/8/2025).

Dasar Pemberlakuan Hukum Adat

Meski KUHP baru telah mengakui eksistensi hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar pemidanaan, RKUHAP belum menyediakan mekanisme hukum acara yang memadai untuk mendukung pemberlakuan hukum adat.

“Bagaimana mungkin hukum adat dijadikan dasar untuk memidana seseorang, tetapi mekanisme peradilannya tidak diatur?” ujarnya. Ia menilai hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam cara berpikir para perumus KUHP dan RKUHAP.

Pasal 2 KUHP yang akan berlaku pada tahun 2026 menyebutkan bahwa seseorang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat, bahkan jika perbuatannya tidak diatur dalam undang-undang.

Namun Pasal 2 ayat (2) juga mencantumkan syarat bahwa hukum adat hanya berlaku di wilayah di mana hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang KUHP, serta harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia (HAM), dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Ia menilai pembatasan dalam pasal tersebut yang menyebutkan bahwa hukum adat berlaku hanya jika tidak diatur dalam KUHP dikhawatirkan menutup ruang keberlakuan hukum pidana adat secara penuh.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa hukum pidana adat tak bisa disamakan dengan mekanisme restorative justice dalam hukum positif. Peradilan adat memiliki dimensi kultural, spiritual, dan sosial yang jauh lebih kompleks dibanding sekadar pemulihan dalam kerangka hukum pidana konvensional.

Ia mencontohkan praktik hukum adat di masyarakat Badui, di mana penyelesaian perkara seperti pembunuhan melibatkan ritual pembersihan kampung sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban adat.

“Apakah ini bisa diganti dengan denda atau ganti rugi? Menurut saya tidak masuk akal,” tegasnya.

Hukum Adat Belum Terakomodasi

Siti Aminah TardiDiskriminasi hukum masyarakat adat dalam RKUHAP pernah ditekankan Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resouces Center Siti Aminah Tardi. Dia menilai bahwa RKUHAP tidak sepenuhnya menjamin hak-hak secara fundamental masyarakat adat.

"RUU KUHAP sebagai hukum formil untuk menegakkan KUHP nasional seharusnya mengakui dan menjamin hak masyarakat hukum adat sebagai pemangku hukum pidana adat itu sendiri,” kata perempuan yang akrab disapa Ami ini.

Dia menegaskan bahwa masyarakat adat yang terlibat perkara pidana—baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun korban perlu diperlakukan khusus yang mempertimbangkan bahasa, budaya, dan mekanisme penyelesaian sengketa sesuai hukum adat.

Proses hukum pidana adat idealnya diselesaikan melalui mekanisme adat, dengan pengadilan berperan sebatas mengesahkan dalam bentuk penetapan.

Di sisi lain, Badan Pengurus ILRC, Renata Arianingtyas, menyoroti Pasal 108 RUU KUHAP yang dinilai belum berpihak pada adat, karena hanya melarang penggeledahan saat ibadah atau upacara keagamaan, tapi tidak mencakup larangan saat upacara adat.

Lebih rinci, dalam pasal tersebut berisikan bahwa penyidik dilarang melakukan Penggeledahan pada:

  1. Ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

  2. Ruang yang di dalamnya sedang berlangsung ibadah dan/atau upacara keagamaan; atau

  3. Ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang pengadilan.

“Bagi penganut agama leluhur, ritual adat adalah bagian dari keyakinan. Maka harus ada penegasan frasa ‘upacara adat’ agar perlakuannya setara dengan tujuh agama yang diakui,” ujarnya.

Absennya Identitas Adat di RKUHAP

Renata Arianingtyas

Renata juga mengritisi absennya istilah ‘kepercayaan’ dalam beberapa pasal terkait identitas dan sumpah hukum. Penghilangan ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan ketentuan dalam UU Administrasi Kependudukan, yang menjamin hak penganut kepercayaan untuk dicantumkan dalam identitas resmi.

“Klausul ‘kepercayaan’ harus ditambahkan agar perlakuan negara tidak diskriminatif,” tegasnya.

Tirtayasa menyerukan beberapa rekomendasi yang perlu diakomodasi dalam RKUHAP, antara lain penegasan kewenangan peradilan adat dan pengadilan negeri dalam perkara tindak pidana adat

Selain itu, pengakuan terhadap putusan peradilan adat yang bersifat final dan tidak dapat diajukan upaya hukum ke pengadilan negeri, dan larangan penggantian pemenuhan kewajiban adat dengan pidana lain/

Demikian juga dengan pelibatan tokoh adat dalam proses peradilan di pengadilan negeri, dan pentingnya memetakan komunitas adat yang masih menjalankan peradilan adat secara aktif.

Tirtayasa menegaskan bahwa tindak pidana adat tidaklah sama dengan tindak pidana ringan atau pemeriksaan cepat. Menurutnya, penyederhanaan seperti ini tidak hanya tidak tepat, tetapi juga melecehkan nilai-nilai dalam masyarakat adat.

Jika negara mengakui hukum adat sebagai sumber hukum, maka pengakuan terhadap peradilan adat sebagai institusi formal dan sah juga harus diatur secara eksplisit dalam hukum acara pidana, di RKUHAP.

Tanpa integrasikan peradilan adat ke dalam sistem hukum acara pidana, pengakuan terhadap hukum adat hanya akan bersifat simbolik dan tidak berdampak nyata dalam proses penegakan hukum dan keadilan.

RKUHAP seharusnya menjadi ruang bagi negara untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya bersumber dari teks hukum nasional, tetapi juga dari nilai-nilai lokal yang hidup dan dijalankan oleh masyarakat adat.

Dijamin dengan RUU Terpisah

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa Kementerian Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KemenHAM RI) mendorong percepatan pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.

“Kami telah menemui sejumlah tokoh masyarakat adat dan tokoh-tokoh lainnya dari berbagai wilayah. Dari pertemuan tersebut, kami sampaikan bahwa percepatan pembahasan tersebut sangat penting guna memberi kepastian hukum bagi masyarakat adat di Indonesia,” kata Pigai saat konferensi pers, di Jakarta, Kamis (17/07/2025).

Dalam konteks ini, Pigai menekankan pentingnya untuk memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat tersebut agar tidak ada lagi kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Hal itu dilakukannya, lantaran sejak dahulu Indonesia telah memiliki keberagaman suku, bahasa, ras, agama, dan budaya.

Di dalamnya, terdapat berbagai unsur seperti hukum, tata nilai, kesatuan organisasi, pemerintahan adat, dinamika demokrasi, dan penyelesaian masalah. Termasuk hak-hak lainnya berupa hak atas tanah, hutan, dan sumber daya alam di dalamnya.

Namun begitu, RUU Masyarakat Adat dipastikan tidak akan menggantikan RKUHAP. Kedua regulasi tersebut memiliki lingkup dan fungsi yang berbeda, meski sama-sama berpotensi bersinggungan dalam praktik hukum di lapangan.

RKUHAP mengatur prosedur dan tata cara penegakan hukum pidana di Indonesia, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga eksekusi putusan.

Aturan ini berlaku bagi seluruh warga negara tanpa membedakan latar belakang atau status adat, meski dalam beberapa ketentuan dapat memuat pengakuan terhadap kekhususan hukum adat dalam proses tertentu.

Baca Juga: RUU KUHAP: Mengejar Waktu, Cenderung Mengorbankan Substansi

Sementara itu, RUU Masyarakat Adat berfokus pada pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat seperti hak atas tanah ulayat, pengelolaan sumber daya alam, pelestarian budaya, dan mekanisme penyelesaian sengketa adat.

Beberapa pasalnya mengatur pengakuan hukum pidana adat atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, namun sifatnya komplementer, bukan pengganti KUHAP maupun RKUHAP.

Dengan demikian, RKUHAP tetap menjadi payung hukum acara pidana nasional.

Adapun RUU Masyarakat Adat diharapkan memberi ruang agar hukum acara nasional menghormati dan mengakomodasi praktik peradilan adat, sepanjang tak bertentangan dengan prinsip HAM dan ketentuan hukum nasional yang berlaku. (par)

Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance.

\