Nyi Iteung & Teater Angka: Dialog tentang Kepercayaan dan Kebohongan Data Ekonomi (2)
Naiknya investasi bukan rekayasa statistik. Impor mesin naik 28%, barang modal tumbuh 31%, belanja modal pemerintah bertambah 30%. Ini transaksi riil yang terverifikasi dengan dokumen bea cukai, kontrak pembelian, laporan keuangan perusahaan. Konsumsi pemerintah malah turun 0,33%.

Oleh GWS, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pernah didapuk menjadi direktur utama sebuah BUMN dan kini memimpin sebuah perusahaan teknologi. Aktif menuangkan tulisan dan pemikirannya tentang isu keindonesiaan, kebangsaan, dan kemajuan negara, meski dengan nama samaran.
Ekonom akademis mengajukan pertanyaan teknis: "Dr. Iteung, bisakah Anda menjelaskan secara rinci pembobotan yang menghasilkan angka 5,12% ini?"
"Dengan senang hati," Nyi Iteung menjawab sambil membuka laptopnya. "Mari kita bongkar dapur perhitungan PDB seperti membedah resep masakan."
Baca Juga: Nyi Iteung & Teater Angka: Dialog tentang Kepercayaan dan Kebohongan Data Ekonomi (1)
"Konsumsi rumah tangga bobotnya 57% dari total PDB—ini terbesar karena memang sebagian besar ekonomi kita digerakkan belanja masyarakat. Dia tumbuh 4,97%, didorong Hari Besar Keagamaan Nasional dan liburan sekolah. Bayangkan betapa ramenya mal, restoran, dan tempat wisata saat Lebaran dan libur panjang."
"Investasi atau pembentukan modal tetap bruto bobotnya 32%—ini uang yang dipakai beli mesin, bangun pabrik, infrastruktur. Dia tumbuh 6,99%, tertinggi dalam empat tahun. Konsumsi pemerintah cuma 8% dan malah turun 0,33%."
"Kunci penting: pertumbuhan investasi ini bukan rekayasa statistik. Impor mesin naik 28%, impor barang modal 31%, belanja modal pemerintah 30%. Ini transaksi riil yang bisa diverifikasi—ada dokumen bea cukai, ada kontrak pembelian, ada laporan keuangan perusahaan."
"Untuk penyesuaian musiman, kita pakai sistem yang disebut X-13ARIMA-SEATS—standar internasional yang dipakai negara maju. Tapi efek Ramadan kita sesuaikan manual karena tanggalnya bergeser setiap tahun, tidak seperti Natal yang selalu 25 Desember."
Dia kemudian menunjukkan laptop: "Dokumen lengkap metodologi ada 400 halaman—tersedia gratis di situs web dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Tidak ada yang dirahasiakan."
Taruhan Reputasi dalam Wacana Publik
Kemudian datang pertanyaan yang paling personal dan tajam: "Dr. Iteung, sebagai lulusan Harvard, apakah Anda tidak khawatir mempertaruhkan reputasi dengan membela data yang mungkin cacat?"
Ruangan sunyi. Nyi Iteung menatap langsung ke kamera, dengan ekspresi yang serius namun tenang. "Itu pertanyaan yang adil dan berat. Reputasi saya sebagai ekonom memang sedang dipertaruhkan di sini."
"Tapi saya tidak akan membela data yang saya tahu salah. Selama 6 tahun di Harvard, saya belajar mempertanyakan segalanya, termasuk otoritas. Kalau saya curiga ada manipulasi atau kesalahan mendasar, saya akan mengungkapnya tanpa ragu, meski harus berhadapan dengan atasan."
"Kenyataannya: 5,12% itu mengejutkan, tapi bukan mustahil. Indonesia punya keunggulan struktural—populasi muda, urbanisasi yang terus berlanjut, pembangunan infrastruktur besar-besaran. Kuartal kedua adalah pertemuan beberapa faktor positif yang kebetulan bersamaan."
Dia kemudian mengutip Carl Sagan: "Extraordinary claims require extraordinary evidence. Yang saya bawa hari ini bukan klaim luar biasa—ini data yang komprehensif, cara menghitung yang tepat, dan penjelasan yang masuk akal."
"Kalau data kuartal ketiga menunjukkan penurunan drastis, maka kita perlu menyelidiki apakah kuartal kedua memang anomali. Tapi berdasarkan bukti yang ada sekarang, 5,12% bisa dipertanggungjawabkan."
Intermezzo: Pelajaran dari Warung Kopi
Di tengah sesi yang tegang, Nyi Iteung tiba-tiba bercerita:
"Izinkan saya cerita sebentar. Di kampung saya di Lembang ada warung kopi Pak Asep. Suatu hari dia bilang omzetnya naik 50% dalam sebulan. Tetangga-tetangga pada curiga, 'Masa sih? Perasaan sepi-sepi aja.' Ternyata pas diselidiki, dia mulai jual gorengan, buka dari subuh sampai malam, dan kebetulan ada proyek jalan di depan warung jadi tukangnya pada nongkrong."
"Apakah omzetnya bener naik 50%? Ya. Apakah terlihat aneh dari luar? Ya. Apakah ada alasan logis? Ya juga."
"Ekonomi Indonesia kuartal kedua seperti warung Pak Asep itu. Ada faktor-faktor yang bersamaan: stimulus pemerintah, liburan panjang, investasi infrastruktur, dan strategi ekspor menghindari tarif Amerika. Semuanya nyata, semua terukur."
Dalam pernyataan penutup, Nyi Iteung berkata: "Mari kita bedakan antara keraguan yang sehat dan kecurigaan yang merusak. Keraguan bertanya: 'Bagaimana Anda tahu?' Kecurigaan bilang: 'Anda tidak mungkin tahu apa-apa.'"
"Data ekonomi bukan fiksi ilmiah. Ada kegiatan ekonomi nyata di belakangnya—orang bekerja, perusahaan berinvestasi, barang diproduksi, jasa dikonsumsi. Tugas kita adalah mengukur kegiatan ini seakurat mungkin."
"Aristoteles bilang: 'Ciri pikiran terdidik adalah mampu mempertimbangkan suatu gagasan tanpa harus menerimanya.' Pertimbangkanlah angka 5,12% ini. Pertanyakan, uji, validasi. Tapi jangan tolak hanya karena tidak sesuai intuisi."
Kemudian dengan senyum khas Sunda, dia mengakhiri: "Terima kasih sudah memberikan kesempatan untuk menjelaskan. Mudah-mudahan penjelasan saya cukup memuaskan rasa ingin tahu kalian. Kalau masih ada pertanyaan, pintu saya selalu terbuka. Hatur nuhun."
Epilog: Antara Keraguan dan Sinis
Apa yang kita saksikan dalam "pertunjukan" Nyi Iteung ini sebenarnya adalah gambaran kecil dari tantangan yang lebih besar: bagaimana menyampaikan kebenaran ilmiah dalam era pasca-kebenaran, di mana setiap angka bisa dipolitisasi dan setiap penjelasan bisa dicurigai sebagai propaganda.
Nyi Iteung—dengan latar belakang akademis internasional tapi kebijaksanaan lokal—merepresentasikan upaya menjembatani kesenjangan antara ketepatan teknis dan pemahaman publik.
Dia tidak sekadar membela angka, tapi membela prinsip bahwa wacana berdasarkan bukti masih mungkin dilakukan di tengah polarisasi politik.
Yang menarik dari penampilannya adalah bagaimana dia menggunakan perumpamaan universal—dari dongeng Sufi hingga teori psikologi ekonomi—untuk menjelaskan konsep yang rumit. Ini menunjukkan bahwa kecanggihan tidak harus berarti elitisme.
Pertanyaan yang tersisa: apakah masyarakat masih bisa mempercayai lembaga? Apakah cara menghitung yang tepat cukup untuk membangun kepercayaan?
Dan yang paling penting: dalam era di mana setiap narasi bisa digugat, bagaimana kita membedakan antara keraguan yang membangun dan kecurigaan yang merusak?
Jawaban Nyi Iteung sederhana tapi mendalam: "Terus bertanya, tapi terus belajar."
Refleksi: Teater Data dalam Demokrasi
Meragukan boleh, tapi jangan sampai keraguan membuat kita berhenti berpikir kritis. Dan yang terpenting, jangan biarkan kecurigaan menghancurkan kemungkinan untuk mencari kebenaran bersama.
Seperti kata pepatah Sunda: "Tatali paranti tatata, tatata paranti tatali"—segala sesuatu saling terkait.
Data ekonomi, kepercayaan publik, cara menghitung ilmiah, dan kebijaksanaan tradisional—semuanya bagian dari ekosistem yang lebih besar dalam pencarian kebenaran kolektif.
Dan mungkin inilah pelajaran terpenting dari drama ekonomi ini:
Kebenaran bukan komoditas yang bisa dibeli atau dijual, tapi proses yang harus dijalani bersama dengan kejujuran, keterbukaan, dan—yang paling penting—kerendahan hati untuk mengakui ketika kita salah.
Hatur nuhun, Nyi Iteung. Pelajaran hari ini tidak hanya soal angka 5,12%, tapi soal bagaimana kita berdemokrasi dengan data, berargumen dengan fakta, dan mencari kebenaran dengan hati nurani.***
Simak info publik, kebijakan & geopolitik dunia di kanal Whatsapp dan Telegram The Stance